23 Juni 2023
19:17 WIB
Editor: Fin Harini
JAKARTA – Mangrove dan lamun merupakan ekosistem karbon biru terbesar di Indonesia. Tak hanya bermanfaat mendukung keanekaragaman hayati pesisir dan kesejahteraan masyarakat, keduanya juga berperan dalam penyerapan karbon.
Karena itu, pemerintah mendorong perlindungan ekosistem pesisir dan laut (ekosistem karbon biru) sebagai aksi mitigasi dan berkontribusi terhadap pencapaian target penurunan emisi gas rumah kaca nasional secara global.
“Langkah utama untuk memastikan bahwa ekosistem dilindungi dengan baik dan dikelola secara berkelanjutan adalah dengan mengalokasikan ruangnya dalam rencana tata ruang laut,” ungkap Direktur Pendayagunaan Pesisir dan Pulau-pulau Kecil Ditjen Pengelolaan Ruang Laut KKP, Muhammad Yusuf melalui siaran pers, Jumat (23/6).
Baca Juga: Indonesia Bisa Simpan 17% Cadangan Blue Carbon Dunia
Hal tersebut juga diungkapkan Yusuf dalam Ocean and Climate Change Dialogue on Coastal Ecosystem Restoration Including Blue Carbon di Bonn, Jerman beberapa hari lalu.
Menurutnya, saat ini Indonesia juga sedang melakukan pemetaan ulang ekosistem lamun serta mendorong makin banyaknya penelitian lamun sebagai dasar bagi penghitungan persediaan Gas Rumah Kaca.
“Indonesia percaya bahwa pengurangan emisi Gas Rumah Kaca dari lamun bisa berkontribusi pada target Nationally Determined Contribution (NDC) Indonesia berikutnya,” lanjut Yusuf.
Sebelumnya, KKP memperkirakan total potensi penyerapan karbon di ekosistem pesisir Indonesia mencapai 3,4 GT (gigaton). Jumlah yang sangat besar ini kira-kira sebesar 17% dari total karbon biru dunia.
Indonesia memiliki 3,36 juta hektare mangrove. Hasil hitungan awal, ekosistem mangrove dapat menyerap 11 miliar ton karbon dengan perkiraan nilai moneter US$66 miliar.
Sementara itu, lamun yang saat ini belum terlalu diperhatikan, diperkirakan memiliki kemampuan menyerap 790 juta ton karbon dengan nilai moneter mencapai US$35 miliar. Luas padang lamun Indonesia diperkirakan mencapai 1,8 juta hektare.
Karena itu, KKP berupaya memasukkan sektor karbon biru (kelautan) dalam dokumen NDC ke-2 pada tahun 2025 dan implementasi NEK untuk karbon biru, khususnya lamun.
Tak hanya itu, melalui kerja sama dengan UNDP Indonesia, KKP juga telah merancang aksi mitigasi perubahan iklim sektor kelautan untuk mendukung pencapaian target NDC Indonesia, salah satunya adalah ekosistem karbon biru.
Tindakan berbasis laut melalui optimalisasi karbon biru dari ekosistem mangrove, lamun dan rawa payau untuk pengendalian perubahan iklim dinilai penting dilakukan.
Hal ini mengingat keberadaannya yang tak hanya berperan dalam peningkatan ketahanan masyarakat pesisir dan pulau-pulau kecil, namun ekosistem ini juga dapat mengurangi emisi gas rumah kaca 4-5 kali lebih besar dibanding ekosistem darat.
Penangkapan Ikan Terukur
Sementara berkaitan dengan fisheries and food security, Yusuf mengatakan Indonesia telah mengidentifikasi potensi aksi mitigasi sektor kelautan selain karbon biru, seperti pada perikanan tangkap, perikanan budidaya dan pengolahan hasil perikanan.
Selain itu, melalui KKP, Indonesia juga telah memiliki kebijakan dan strategi ekonomi biru yang sejalan dan terintegrasi dengan upaya aksi iklim laut, yakni penangkapan ikan terukur berbasis kuota dan pengembangan perikanan budidaya di laut, pesisir dan darat yang berkelanjutan.
Baca Juga: LHK Nilai Ekosistem Pesisir Potensi Karbon Biru
“Indonesia mendorong para pihak untuk berpikir secara global dan bertindak secara lokal serta menerjemahkan aksi iklim laut secara sederhana sehingga dapat dilakukan juga di tingkat lokal,” pungkas Yusuf.
Menteri Kelautan dan Perikanan Sakti Wahyu Trenggono dalam berbagai kesempatan selalu menekankan pentingnya menciptakan laut yang sehat, aman, tangguh dan produktif bagi kesejahteraan bangsa melalui diplomasi maritim serta kerja sama dengan berbagai negara untuk mewujudkan strategi pembangunan ekonomi biru (blue economy) yang menitikberatkan pada pertimbangan ekologi dan ekonomi pada aktivitas yang menetap di ruang laut.