c

Selamat

Minggu, 19 Mei 2024

EKONOMI

24 November 2022

19:03 WIB

Negara Hanya Penuhi 11% Dana EBT, Blended Finance Jadi Solusi

Indonesia ingin mencapai target Nationally Determined Contribution (NDC) untuk menurunkan emisi karbon sebesar 31,89% dengan upaya sendiri dan 43,20% dengan bantuan internasional pada 2030

Editor: Faisal Rachman

Negara Hanya Penuhi 11% Dana EBT, <i>Blended Finance</i> Jadi Solusi
Negara Hanya Penuhi 11% Dana EBT, <i>Blended Finance</i> Jadi Solusi
Petani memikul Kubis melintasi instalasi Pembangkit Listrik Tenaga Panas bumi (PLTP) PT Geo Dipa Energi di dataran tinggi Dieng, Banjarnegara, Jateng, Sabtu (14/8/2021). Antara Foto/Anis Efizudin

JAKARTA – Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) menyatakan, pemerintah hanya dapat memenuhi 11% dari total kebutuhan pendanaan pengembangan energi baru dan terbarukan (EBT). Karena itu, pembiayaan yang melibatkan pihak swasta  dan Industri Jasa Keuangan (IJK) alias blended finance jadi suatu keniscayaa. 

"Yang bisa dilakukan yang terpenting, pertama, kita bekerja sama dengan sektor swasta. Kami sudah merumuskan blended financing untuk investasi pengembangan EBT, mulai dari green bond, sukuk, dan lainnya," kata Direktur Perencanaan Makro dan Analisis Statistik Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas Eka Chandra Buana, dalam penutupan International Economic Modeling Forum di Jakarta, Kamis (24/11). 

Regulasi juga perlu diperkuat, untuk mengembangkan teknologi EBT yang memerlukan peta jalan sebagai tolak ukur atau target transisi energi yang ingin diraih. Baik dalam jangka pendek, menengah, maupun panjang.

Dia mengatakan, pada tahap awal, proses transisi energi berpotensi membuat pertumbuhan ekonomi melemah. Akan tetapi, dalam jangka panjang proses transisi ini diyakini akan menguntungkan bagi lingkungan dan perekonomian.

Adapun transisi energi, perlu dilakukan karena ke depan Indonesia yang ditargetkan menjadi negara maju pada 2045 harus tumbuh lebih tinggi, dengan mengembangkan industri manufaktur. Pada saat yang sama, Indonesia ingin mencapai target Nationally Determined Contribution (NDC) untuk menurunkan emisi karbon sebesar 31,89% dengan upaya sendiri dan 43,20% dengan bantuan internasional pada 2030.

Sektor energi dibidik sebagai sektor yang diharapkan menurunkan emisi karbon, karena permintaan energi dalam negeri, terutama listrik, diperkirakan akan meningkat lima kali lipat dari 2020 sampai 2045. Hal ini bersamaan dengan upaya mendorong pertumbuhan industri manufaktur.

"Terkait dengan kenaikan permintaan energi ini akan menyumbang emisi, sementara sebagian besar energi kita saat ini berasal dari batu bara. Ini jadi tantangan kita bagaimana beralih menggunakan EBT," ucapnya.

Raja EBT
Deputi Bidang Ekonomi Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN/Bappenas) Amaia Adininggar Widyasanti sendiri menyebut, Indonesia berpotensi menjadi raja sumber EBT karena memiliki berbagai potensi EBT, mulai dari solar, panas bumi, hingga angin.

“Indonesia sebenarnya memiliki potensi besar dalam EBT. Karena, misalnya, untuk energi solar yang memiliki potensi besar, kita baru menggunakan kurang dari 5%-nya,” tuturnya. 

Sebelumnya, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto optimistis, ke depan Indonesia bisa menjadi ‘raja’ energi hijau. Sebagaimana Arab Saudi menjadi ‘raja’ energi berbasis fosil.

Karena itu, Indonesia masih memiliki ruang yang luas untuk memanfaatkan sumber EBT, seperti solar dan panas bumi. Saat ini Bappenas juga telah mengembangkan model ekonomi untuk dijadikan dasar kebijakan yang bisa mendorong pertumbuhan ekonomi, sembari tetap menahan laju emisi karbon.

“Ini yang sekarang kita coba untuk akomodasi, karena kalau kita tidak mengupdate model ekonomi kita, model ini menjadi tidak relevan lagi, tidak menghasilkan prediksi dan proyeksi yang baik,” ucap Amaia.

Salah satu model ekonomi yang didorong, adalah transisi energi yang diharapkan diterapkan oleh industri manufaktur yang saat ini masih menggunakan energi berbasis fosil.  Dengan demikian, industri manufaktur tetap bisa melanjutkan aktivitasnya yang menyumbang pertumbuhan ekonomi, dengan tetap menjaga laju emisi karbon di Indonesia.

“Emisi karbon di sektor manufaktur bisa kita kurangi dengan menggunakan EBT di sektor industri. Industri tetap dapat menyumbang ke perekonomian yang menjadi lebih berkelanjutan,” ujarnya.

Transisi Energi
Sementara itu, Duta Besar Uni Eropa untuk Indonesia Vincent Piket menyebut resesi yang diproyeksikan melanda ekonomi global pada 2023, berpotensi mempercepat proses transisi energi, alih-alih memperlambatnya.

"Meskipun ekonomi melemah, transisi energi tidak akan terdampak. Malah sebaliknya, kita tahu kita harus mengurangi ketergantungan pada impor energi fosil dari Rusia," ucapnya

Dengan demikian, menurutnya, Uni Eropa perlu mempercepat peningkatan sumbangan produksi dan penggunaan EBT, terhadap total produksi dan penggunaan energi mereka.

"Kita melihat bentuknya sekarang melalui penggunaan energi berbasis solar, angin, dan panas bumi, serta air. Jadi itu dampak strategi geopolitik kita, tapi itu memberikan keuntungan bagi aksi iklim," katanya.

Sebagaimana Indonesia, kata Vincent, Uni Eropa juga menghadapi tantangan dalam melakukan transisi energi, yakni persaingan yang tidak seimbang antara produksi energi berbasis fosil dengan EBT.

"Kita memiliki masalah transisi yang sama karena kita masih bergantung sangat kuat pada batu bara dan pertambangan, serta tenaga listrik berbahan batu bara," ucapnya.

Tantangan tersebut diyakini dapat ditangani dengan mendorong lebih banyak investasi masuk ke sektor EBT, untuk mengembangkan teknologi. Transisi energi di Uni Eropa dan Indonesia juga diharapkan tetap dapat berlanjut tanpa menahan laju pertumbuhan ekonomi kedua wilayah.

"Saya kira sekarang kita harus melakukan hal yang sama agar perekonomian tetap tumbuh dan pada saat yang sama menurunkan kadar emisi karbon dioksida," tandasnya.


KOMENTAR

Silahkan login untuk memberikan komentarLoginatauDaftar