23 Agustus 2025
15:01 WIB
Kemenperin Sebut Ada Ketidaksesuaian Pola Distribusi Gas
Kemenperin menilai terdapat ketidaksesuaian pola distribusi gas, mengingat pasokan gas HGBT dibatasi sedangkan gas dengan harga di atas US$15 per MMBTU justru tersedia dengan stabil.
Penulis: Ahmad Farhan Faris
Juru Bicara Kementerian Perindustrian Febri Hendri Antoni Arief didampingi Direktur Industri Kemurgi, Oleokimia, dan Pakan Lila Harsyah Bakhtiar meninjau langsung PT Sumi Asih, Jumat (22/8). Sumber: Kemenperin
JAKARTA - Juru Bicara Kementerian Perindustrian, Febri Hendri Antoni Arif mengatakan masalah pasokan gas pada program Harga Gas Bumi Tertentu (HGBT) tidak hanya berupa masalah teknis semata. Terdapat ketidaksesuaian pola distribusi, mengingat pasokan gas pada harga di atas US$15 per MMBTU justru tersedia dengan stabil.
Hal itu dikatakan Febri usai berkunjung ke PT. Sumi Asih, salah satu perusahaan intermediate industry di sektor oleokimia yang berada di daerah Bekasi, Jawa Barat.
“Kami mempertanyakan mengapa pasokan gas pada harga di atas US$15 per MMBTU justru tersedia dengan stabil, sementara pasokan gas HGBT di kisaran US$6 tidak stabil dan terbatas. Artinya, pasokan sebenarnya ada, hanya tidak diberikan pada harga yang sudah ditetapkan pemerintah,” kata Febri melalui keterangan tertulisnya dikutip pada Sabtu (23/8).
Baca Juga: Kemenperin Ungkap Kondisi Darurat Pasokan HGBT Masih Berlangsung
Kondisi itu diperoleh Febri dari manajemen PT. Sumi Asih yang menceritakan bahwa terdapat pembatasan pasokan gas bumi oleh PT PGN yang mulai diberlakukan sejak 13 Agustus 2025.
Berdasarkan Surat PGN No. 476100.S/PP.03/RD1BKS/2025, pasokan gas hanya diperbolehkan maksimal 48% dari kontrak bulanan pada periode 13–19 Agustus, kemudian 65% pada 20–22 dan 25–29 Agustus, serta 70% pada 23–24 dan 30–31 Agustus. Apabila perusahaan menggunakan gas melebihi kuota, dikenakan penalti hingga 120% dari harga LNG.
Keterbatasan pasokan membuat PT Sumi Asih menanggung risiko operasional tinggi. Sebagai eksportir yang telah mengikat kontrak dengan mitra di Tiongkok dan Eropa, perusahaan tetap memilih berproduksi meskipun harus membayar penalti tambahan.
Sehari-harinya, Sumi Asih membutuhkan sekitar 1.500 MMBTU gas untuk bisa beroperasi normal. Namun karena pembatasan, jika turun di bawah kebutuhan minimal 1.085 MMBTU per hari, seluruh fasilitas produksi terpaksa dihentikan dan seluruh lini terancam berhenti total.
Febri menekankan bahwa gas bumi merupakan faktor strategis dalam rantai produksi oleokimia, tidak hanya sebagai energi tetapi juga bahan baku penting, misalnya untuk pasokan hidrogen di unit Hydrogenation Plant. Ketidakstabilan pasokan dapat menurunkan utilisasi produksi, melemahkan daya saing ekspor, serta berdampak pada penyerapan tenaga kerja.
“Industri itu ibarat kapal tanker, tidak bisa berbelok tiba-tiba. Jika pasokan gas dipangkas mendadak, risiko yang muncul bukan hanya turunnya utilisasi dan hilangnya kontrak ekspor, tetapi juga potensi kerusakan mesin serta hilangnya kesempatan produksi yang nilainya besar,” jelas dia.
Untuk itu, Febri meminta produsen gas memberikan kepastian hukum bagi industri. Karena, kata dia, tanpa kepastian hukum ini dapat menyulitkan industri menyusun perencanaan dan menjaga kesinambungan investasinya.
Baca Juga: PGN Sebut Gas Untuk Industri Sudah Normal
“Kami meminta agar deklarasi gangguan pasokan gas segera dicabut, karena dokumen tersebut menjadi dasar bagi perusahaan untuk berproduksi dengan kepastian. Tanpa kepastian ini, industri sulit menyusun perencanaan dan menjaga kesinambungan investasinya,” tegasnya.
Menurut dia, keberadaan HGBT terbukti memberikan manfaat nyata bagi penerimaan negara. Sehingga, lanjut dia, ketika pasokan kembali dibatasi ini setoran pajak akan turun kembali ke level sebelum mereka menerima HGBT.
“Industri oleokimia penerima HGBT mencatatkan kenaikan setoran pajak hingga enam kali lipat setelah mendapatkan pasokan gas sesuai kebijakan. Namun, ketika pasokan kembali dibatasi, setoran pajak itu turun kembali ke level sebelum mereka menerima HGBT. Ini bukti nyata bahwa keberlangsungan HGBT tidak hanya menyelamatkan industri, tapi juga meningkatkan kontribusi fiskal bagi negara,” pungkasnya.