c

Selamat

Minggu, 16 November 2025

EKONOMI

02 Mei 2025

17:35 WIB

Kemenperin Akui Industri Dalam Negeri Lesu dan Berpotensi Lanjut

Kemenperin mengakui adanya perlambatan PMI manufaktur Indonesia imbas ketidakpastian global dan mendorong industri dalam negeri menantikan kebijakan strategis pemerintah.

Penulis: Erlinda Puspita

Editor: Fin Harini

<p id="isPasted">Kemenperin Akui Industri Dalam Negeri Lesu dan Berpotensi Lanjut</p>
<p id="isPasted">Kemenperin Akui Industri Dalam Negeri Lesu dan Berpotensi Lanjut</p>

Juru Bicara Kementerian Perindustrian, Febri Hendri Antoni Arief. Sumber: Kemenperin

JAKARTA - Juru Bicara Kementerian Perindustrian (Kemenperin) Febri Hendri mengakui industri manufaktur dalam negeri saat ini tengah tertekan, imbas banyaknya ketidakpastian pasar global. Hal ini tercermin dari merosotnya Purchasing Manager's Index (PMI) Manufaktur Indonesia pada April 2025 yang bersda di level 46,7 atau di fase kontraksi (di bawah poin 50), sesuai hasil laporan S&P Global.

"Kalau kita lihat, penurunannya sangat signifikan hingga 5,7 poin dibanding capaian PMI manufaktur kita pada bulan Maret lalu yang masih berada di tingkat ekspansif sebesar 52,4. Ini sekaligus menandakan bahwa optimisme atau kepercayaan diri dari para pelaku industri manufaktur di dalam negeri semakin menurun di tengah situasi uncertainty saat ini," kata Febri dalam keterangan resminya, Jumat (2/5).

Sebagaimana diketahui, survei PMI manufaktur merupakan survei persepsi terhadap pelaku industri yang menunjukkan tingkat keyakinan (optimis atau pesimis) pelaku industri manufaktur dalam menjalankan usahanya saat ini.

"Artinya dari hasil survei tersebut, ada tekanan psikologis pada persepsi pelaku usaha menghadapi perang tarif global dan banjir produk impor pada pasar domestik," lanjut dia.

Bahkan Febri juga mengungkapkan penurunan PMI manufaktur Indonesia saat ini adalah yang terdalam dibandingkan negara-negara peers. Sebagai contoh, di ASEAN, PMI manufaktur Filipina masih berada di fase ekspansif, mengingat kebijakan tarif Trump tidak terlalu memberatkan bagi mereka dibandingkan negara-negara lain. Kebijakan perlindungan pasar dalam negeri Filipina juga cukup afirmatif.

Baca Juga: PMI Manufaktur Indonesia Terkontraksi Tajam Jadi 46,7

Berdasarkan laporan S&P Global, PMI manufaktur yang mengalami kontraksi di April 2025 antara lain, Thailand (49,5), Malaysia (48,6), Jepang (48,5), Jerman (48,0), Taiwan (47,8) Korea Selatan (47,5), Myanmar (45,4), dan Inggris (44,0). Tak ketinggalan, China juga mengalami kontraksi, meski masih di fase ekspansif yakni di 50,4.

Perlambatan PMI manufaktur Indonesia di April 2025 juga sejalan dengan hasil Indeks Kepercayaan Industri (IKI) di bulan yang sama, yakni tercatat di level 51,90. Posisi tersebut meskipun masuk dalam kategori ekspansif, namun cenderung melambat dibandingkan level bulan Maret 2025 yang ada di 52,98 atau mengalami penurunan 1,08 poin. Sedangkan dibandingkan dengan periode yang sama di tahun lalu, hasil IKI April 2025 juga terkoreksi 0,40 poin.

Berkaca dari hasil tersebut, saat ini sejumlah pelaku industri di dalam negeri pun, kata Febri, tengah menunggu hasil negosiasi perwakilan pemerintah Indonesia yang menemui pemerintah Amerika Serikat (AS). Para pelaku usaha saat ini masih dalam mode wait and see dengan kebijakan pemerintah.

"Pelaku industri kita bukan hanya saja khawatir, karena adanya pemberlakuan tarif resiprokal oleh Presiden Trump, tetapi mereka lebih khawatir terhadap serangan produk-produk dari sejumlah negara yang terdampak tarif Trump tersebut, karena bisa menjadikan Indonesia sebagai pasar alternatif sehingga kita akan mendapat limpahan atau muntahan barang-barang impor itu," tutur Febri.

Tunggu Kebijakan Pemerintah
Menurut Febri, hingga saat ini sudah mulai banyak pelaku industri atau asosiasi yang bersuara di berbagai media, juga menyampaikan keluhan-keluhan mereka ke pihaknya terkait kondisi yang tidak pasti saat ini.

Para pengusaha mengaku masih menunggu kebijakan strategis dari pemerintah Indonesia, mengingat saat ini porsi produksi untuk pasar ekspor hanya 20%, sedangkan 80% sisanya menyasar pasar dalam negeri.

"Kami memiliki komitmen kuat dan konsisten untuk ikut menciptakan suasana optimisme bagi pelaku usaha di Indonesia, namun perlunya dukungan penuh dari stakeholders terkait terutama dari K/L lain penentu kebijakan yang menentukan nasib industri, untuk dapat segera menerbitkan kebijakan-kebijakan yang pro investasi dan juga pro terhadap perlindungan industri dalam negeri. Jangan sampai permintaan pasar domestik yang sudah turun saat ini malah diisi oleh barang-barang impor," kata Febri.

Baca Juga: PMI Manufaktur RI Maret 2025 Turun Ke Level 52,4 Poin

Lebih lanjut, menurut Ekonom S&P Global Market, Usamah Bhatti menuturkan, sektor industri menufaktur Indonesia mencatatkan kondisi kesehatan yang kurang baik memasuki kuartal kedua tahun 2025.

"Ini kontraksi pertama dalam lima bulan di tengah penurunan tajam pada penjualan dan output. Selain itu, penurunan tajam sejak Agustus 2021," jelas Usamah.

Kondisi tersebut pun dari hasil laporan S&P Global Market menunjukkan adanya sejumlah perusahaan yang mengurangi pembelian dan tenaga kerja serta mengurangi jumlah stok input dan barang jadi.

"Perkiraan jangka pendek masih suram karena perusahaan mengalihkan kapasitas untuk menyelesaikan pekerjaan yang belum terselesaikan akibat tidak ada penjualan, tampaknya kondisi ini akan berlanjut beberapa bulan mendatang," tandas Usamah.


KOMENTAR

Silahkan login untuk memberikan komentarLoginatauDaftar