11 November 2024
20:09 WIB
Kemenkop: Perjanjian Dagang Buat Produk Harga Susu Impor Lebih Murah
Pemerintah menyoroti masalah harga susu impor yang lebih murah 5% imbas adanya perjanjian dagang. Selain itu, IPS nasional ternyata banyak mengimpor susu skim atau bubuk.
Penulis: Aurora K MÂ Simanjuntak
Editor: Khairul Kahfi
Peloper susu melakukan aksi mandi susu sapi yang tidak terserap oleh industri pengolahan susu di Tugu Susu Tumpah, Boyolali, Jawa Tengah, Sabtu (9/11/2024). Antara Foto/Aloysius Jarot Nugroho/agr
JAKARTA - Menteri Koperasi Budi Arie Setiadi menyampaikan, pemerintah menyoroti masalah harga susu impor yang lebih murah 5% imbas adanya perjanjian dagang. Selain itu, Industri Pengolahan Susu (IPS) nasional ternyata banyak mengimpor susu skim atau bubuk.
Dia menyebutkan, mayoritas produk susu yang diimpor ke Indonesia berasal dari Selandia Baru dan Australia, di mana keduanya memanfaatkan perjanjian perdagangan bebas dengan Indonesia.
"Sehingga membuat harga produk mereka setidaknya 5% lebih rendah dari harga pengekspor susu global lainnya," ujarnya dalam Konpers di Kantor Kemenkop, Jakarta, Senin (11/11).
Selandia Baru dan Australia memanfaatkan pembebasan bea masuk produk susu, sehingga harga produk impornya cenderung lebih murah 5% daripada negara lain. Budi juga menilai, kondisi makin parah karena ada perusahaan domestik yang mengimpor susu skim.
"Nah kondisi ini diperparah lagi dengan para pelaku industri pengolahan susu yang mengimpor bukan dalam susu segar, melainkan berupa skim atau susu bubuk," bebernya.
Menurutnya, impor susu bubuk atau skim membuat para peternak sapi di dalam negeri mengalami kerugian, karena harga susu sapi segar menjadi lebih murah. Dia membandingkan, harga susu lokal dibanderol senilai Rp7.000 per liter, sedangkan harga keekonomian yang ideal Rp9.000 per liter.
Baca Juga: Menkop Siap Kucurkan Modal Untuk Koperasi Susu
Selain harga, ia menilai, kandungan gizi dalam susu skim juga lebih rendah dibandingkan susu sapi segar. Karena produk susu ini sudah melalui beberapa tahap pemrosesan.
"Padahal, susu skim secara kualitas jauh di bawah susu sapi segar, karena sudah melalui berbagai macam proses pemanasan, ultra proses, dan sebagainya," ucap Menkop.
Sementara itu, soal perjanjian dagang yang membebaskan bea masuk, Menkop mengatakan, pemerintah akan meninjau ulang permasalahan regulasi ini kepada kementerian terkait, salah satunya Kementerian Perdagangan (Kemendag).
"Karena itu, ini yang harus dilakukan langkah-langkah untuk peninjauan beberapa permasalahan dan regulasi yang ada," tuturnya.
Adapun hingga saat ini, susu sapi segar lokal hanya memenuhi 20% kebutuhan susu RI, sedangkan 80% sisanya dipenuhi via impor.
Harganya pun tak bersaing, sehingga terjadi kasus demonstrasi seperti peternak susu sapi di Boyolali, Jawa Tengah membuang susu yang tidak terserap pabrik.
"Baru-baru ini kita menghadapi kehebohan mengenai (petani membuang) susu di Boyolali. Karena menurut data, impor susu kita itu angkanya cukup besar," imbuh Budi.
Di samping itu, produksi susu sapi lokal pun tidak mampu menutup kebutuhan konsumsi susu nasional. Pada 2022 dan 2023, konsumsinya mencapai sekitar 4,4 juta ton susu, sedangkan produksinya hanya di angka 837.223 ton atau hanya memenuhi kebutuhan sebesar 20%.
Sembilan Rekomendasi Pemerintah
Melihat masalah penyerapan susu segar lokal yang tidak optimal, Menkop mengutarakan, ada sembilan rekomendasi yang perlu dilakukan. Pertama, memastikan produksi peternak dan koperasi susu dapat diserap oleh pabrik atau Industri Pengolahan Susu (IPS) secara maksimal.
"Dalam hal ini, Kemenkop akan berkoordinasi dengan koperasi susu dan IPS untuk menjamin penyerapan produksi," ucapnya.
Baca Juga: Produksi Susu Segar Masih Banyak Kendala, Ini Penjelasan Kementan
Kedua, Kemenkop akan berkoordinasi dengan Kemendag untuk evaluasi regulasi impor susu. Ketiga, pemerintah akan mengadakan Program Makan Bergizi Gratis (MBG) untuk mengandalkan pasokan susu dalam negeri.
Keempat, meminta Lembaga Pengelola Dana Bergulir (LPDB) memberikan pembiayaan koperasi susu. Upaya ini bertujuan untuk meningkatkan volume dan kualitas produksi, serta mendorong koperasi susu mulai melakukan hilirisasi produk.
Kelima, membenahi koperasi susu melalui peningkatan standar mutu produksi sesuai dengan kebutuhan pabrik melalui kemitraan antara pabrik dengan koperasi/peternak, baik dalam teknologi pengolahan, hingga teknologi penyimpanan.
Keenam, koperasi perlu mengantisipasi atau membuat alternative lain untuk mengolah susu ke produk turunan lain seperti minuman pasteurisasi, yoghurt, dan keju.
Ketujuh, kerja sama antar lembaga, terutama Badan Riset Nasional (BRIN), dalam memformulasikan bibit sapi unggul berkualitas, sehingga satu sapi perah dapat menghasilkan 32 liter susu per hari. Saat ini, produktivitas sapi perah Indonesia hanya menghasilkan 8-12 liter per hari.
Kedelapan, gabungan koperasi mendirikan industri pengolahan susu bubuk skim (skimmed milk powder/SMP), susu bubuk utuh (whole milk powder/WMP) dan whey dengan harga yang bersaing dengan produk impor untuk keperluan IPS.
"Kesembilan, melakukan kampanye nasional untuk peningkatan konsumsi produk susu dan turunan susu," pungkasnya.