17 September 2025
20:08 WIB
Kebijakan Fiskal-Moneter Longgar, Ekonom: Bertentangan Dengan Pertumbuhan Ekonomi
Kebijakan fiskal dan moneter yang belakangan semakin ekspansif dinilai bertolak-belakang dengan pertumbuhan ekonomi 5,12% di kuartal II yang seharusnya diikuti langkah stabilitas.
Penulis: Siti Nur Arifa
Editor: Fin Harini
Logo Bank Indonesia. Shutterstock/dok
JAKARTA - Ekonom senior Indef Fadhil Hasan mengatakan, langkah pemerintah mengambil serangkaian kebijakan fiskal yang ekspansif dan moneter yang longgar akhir-akhir ini dengan tujuan meningkatkan pertumbuhan ekonomi nyatanya bertentangan dengan data pertumbuhan ekonomi di kuartal II/2025 yang dilaporkan mencapai 5,12%.
Menurutnya, jika angka 5,12% yang memang menunjukkan perekonomian sudah bergerak seharusnya diikuti dengan stabilitas baik dari segi fiskal maupun moneter. Sebab itu, Fadhil mempertanyakan keabsahan data pertumbuhan ekonomi yang seharusnya menggambarkan kondisi nyata di lapangan.
“Jika data (pertumbuhan 5,12%) ini benar maka kebijakan fiskal dan moneter adalah dengan melakukan stabilitas karena ekonomi mulai bergerak. Atau, sebenarnya keadaan ekonomi kita tidak sebagaimana dikemukakan oleh data tersebut,” ujar Fadhil dalam pernyataan tertulis, dikutip Rabu (17/9).
Baca Juga: Agresif! BI-Rate September Dipangkas 25 Bps Jadi 4,75%
Fadhil menambahkan, jika benar demikian, maka ekonomi Indonesia sebenarnya sedang mengalami konstruksi atau pelemahan sehingga diperlukan kebijakan moneter yang longgar dan fiskal yang ekspansif.
Adapun kebijakan fiskal ekspansif yang dimaksud Fadhil, salah satunya mulai terlihat ketika Menteri Keuangan yang masih dijabat oleh Sri Mulyani mengumumkan pemerintah akan mengalokasikan dana Saldo Anggaran Lebih (SAL) sebesar Rp16 triliun untuk program Koperasi Desa Merah Putih (KDMP).
Setelahnya, Menteri Keuangan baru Purbaya Yudhi Sadewa mengucurkan dana SAL yang lebih besar mencapai Rp200 triliun untuk ditempatkan ke perbankan, dengan kelonggaran bunga untuk kredit KDMP, disertai jangka waktu penempatan dana di bank yang tidak terbatas pada waktu tertentu.
Dalam pernyataannya, Purbaya mengatakan langkah ini dilakukan untuk mendorong dan meningkatkan perekonomian.
“Hampir pasti ekonomi akan berjalan lebih cepat,” yakin Purbaya dalam jumpa pers di Istana, Senin (15/9).
Kredibilitas BI Dipertanyakan
Sementara itu dari segi moneter, pelonggaran terlihat dari dipangkasnya suku bunga acuan (BI-rate) oleh Bank Indonesia dalam tiga bulan berturut-turut, atau selepas semester I/2025. Detailnya, BI terakhir mempertahankan BI-Rate di level 5,50% pada Juni 2025; kemudian dipangkas menjadi 5,25% di bulan Juli.
Setelahnya, pemangkasan kembali dilakukan pada bulan Agustus menjadi 5%, dan diakui BI menjadi suku bunga acuan terendah sejak akhir 2022.
"Suku bunga BI-Rate sudah kami turunkan lima kali sejak September 2024 sebesar 125 bps, sehingga sekarang menjadi 5% dan ini terendah sejak tahun 2022," kata Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo dalam Rapat Kerja Penyampaian Pokok-Pokok RUU APBN 2025 di DPR RI, Jakarta, Kamis (21/8).
Terakhir, hari ini, BI kembali memangkas secara agresif suku bunga acuan di bulan September sehingga berada di level 4,75%, dengan tujuan mendorong pertumbuhan ekonomi dengan menjaga tetap rendahnya prakiraan inflasi 2025 dan 2026 dalam sasaran 2,5±1% dan stabilitas nilai tukar rupiah sesuai dengan fundamentalnya.
Baca Juga: Terima Dana Rp55 T, Ini Sektor Yang Dipilih Bank Mandiri Dan BRI
Dari kebijakan tersebut, Fadhil kembali mempertanyakan apakah kebijakan penurunan BI-rate akan mampu menurunkan tingkat bunga pinjaman. Sebab menurutnya, di saat kondisi outlook ekonomi kurang baik seperti saat ini, tingkat suku bunga bukan menjadi hal penting dalam perspektif investor dan pelaku pasar, melainkan lebih kepada risiko dan sunk cost atau biaya investasi yang sudah dilakukan sebelumnya.
Fadhil juga menggarisbawahi, penurunan BI-rate tidak selalu diikuti langkah serupa dari sisi perbankan yang justru cenderung menurunkan bunga dalam jangka panjang, terlebih dengan karakter suku bunga pinjaman perbankan yang dikenal kaku.
“Selebihnya kebijakan ini bisa menjadikan BI semakin terlihat tidak independen sehingga kredibilitasnya dipertanyakan. Karena biasanya ketika kebijakan fiskal ekspansif, kebijakan moneter seharusnya lebih ketat atau paling tidak menjaga stabilitas,” tandas Fadhil.