17 November 2025
09:39 WIB
Jurus Kemenperin Perkuat Industri Petrokimia Kurangi Ketergantungan Impor
Penguatan sektor petrokimia untuk menjaga stabilitas pasokan bahan baku bagi berbagai industri hilir. Hingga kini industri petrokimia masih tergantung impor.
Penulis: Ahmad Farhan Faris
Editor: Fin Harini
Ilustrasi. Peresmian pabrik petrokimia Lotte Chemical Indonesia di Kota Cilegon, Banten, Kamis (6/11/2025). ANTARA FOTO/Muhammad Bagus Khoirunas
SENTUL - Direktur Industri Kimia Hulu, Direktorat Jenderal Industri Kimia, Farmasi dan Tekstil Kementerian Perindustrian (IKFT Kemenperin), Wiwik Pudjiastuti mengatakan sektor petrokimia akan diperkuat untuk menjaga stabilitas pasokan bahan baku bagi berbagai industri hilir.
Menurut dia, industri petrokimia memiliki peran fundamental sebagai pemasok utama bahan baku untuk plastik, serat sintetis, karet sintetis, bahan kimia fungsional, hingga berbagai bahan kebutuhan industri tekstil dan farmasi.
“Kebutuhan industri petrokimia nasional terus meningkat pesat, namun kapasitas produksi dalam negeri belum mampu mengimbanginya. Ini menyebabkan ketergantungan yang sangat besar terhadap impor. Karena itu, penguatan struktur industri hulu menjadi urgensi nasional,” kata Wiwik saat Gatehring Forum Wartawan Industri (Forwin) di Sentul, Bogor pada Jumat (14/11).
Berdasarkan Badan Pusat Statistik (BPS) kuartal III/2025, Wiwik mengungkapkan pertumbuhan sektor IKFT mencapai 5,92% atau melampaui pertumbuhan ekonomi 5,04%. Bahkan, subsektor Industri Kimia, Farmasi, dan Obat Tradisional melonjak 11,65%. Dari sisi kontribusi ekonomi, IKFT tetap stabil dengan menyumbang 3,88% terhadap PDB nasional.
Kinerja perdagangan untuk ekspor pada Januari–Agustus 2025 mencapai US$32,25 miliar, hampir menyamai nilai impor sebesar US$32,31 miliar. Dari sisi investasi, sektor IKFT meningkat signifikan mencapai Rp142,15 triliun dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya.
“Tren positif ini menunjukkan bahwa industri kimia, termasuk petrokimia tetap menjadi fondasi penting bagi kinerja manufaktur nasional,” jelas dia.
Baca Juga: Roadmap Petrokimia! Inaplas Siap Atasi Defisit-Impor Bahan Baku US$11 M
Tantangan Yang Dihadapi
Wiwik mengungkapkan Indonesia masih menghadapi persoalan mendasar berupa ketimpangan besar antara pasokan dan kebutuhan petrokimia domestik. Menurut dia, utilisasi pabrik yang ada belum mampu menutup lonjakan permintaan. Untuk produk olefin seperti etilen dan propilen, tingkat utilisasinya cukup tinggi 75% tapi pasokan tetap tidak mencukupi.
“Kekurangan etilen bahkan dapat mencapai 800 ribu ton, sehingga impor tetap harus dilakukan,” ucapnya.
Lebih lanjut, Wiwik mengatakan sektor bahan baku plastik menghadapi kesenjangan pasokan terbesar. Dari kebutuhan nasional sebesar 4.879 KTA, pasokan domestik baru mampu menyediakan 2.957 KTA, sehingga terdapat gap mencapai 1.922 KTA. Kata dia, permintaan yang tinggi terhadap polimer seperti Polyethylene (PE) dan Polypropylene (PP) mendorong kebutuhan impor yang nilainya mencapai US$2,9 miliar pada 2024.
“Selama gap supply-demand masih selebar ini, kita tidak punya pilihan selain mengimpor. Namun ke depan, kondisi ini harus ditekan melalui pembangunan kapasitas baru dan integrasi industri dari hulu ke hilir,” ungkapnya.
Selain itu, Wiwik mengatakan tantangan strategis yang membatasi berkembangnya industri petrokimia nasional. Kata Wiwik, sebagian besar bahan baku seperti nafta dan LPG masih harus diimpor, sementara integrasi antara kilang minyak dan pabrik petrokimia belum optimal sehingga proses produksi kurang efisien.
“Industri yang membutuhkan gas bumi terdampak pembatasan dalam kebijakan Harga Gas Bumi Tertentu (HGBT) dan alokasi Gas Industri Tertentu (AGIT). Keterbatasan infrastruktur serta belum terbentuknya chemical cluster terintegrasi juga memperlemah daya saing,” kata Wiwik lagi.
Baca Juga: Resmikan Pabrik Petrokimia Terbesar Di ASEAN, Prabowo: Kita Harus Jaga Investasi Asing
Pengembangan Kawasan Industri
Wiwin menegaskan Kementerian Perindustrian telah menyiapkan serangkaian kebijakan untuk menjawab berbagai tantangan tersebut, di antaranya penyediaan kemudahan akses bahan baku, penyempurnaan pengaturan ekspor-impor, hingga usulan pembebasan bea masuk bahan baku petrokimia.
“Perlindungan industri juga dilakukan melalui pengenaan tindakan antidumping serta Bea Masuk Tindakan Pengamanan (BMTP) pada produk impor tertentu,” ujarnya.
Selanjutnya, mendorong peningkatan daya saing melalui penerapan HGBT, akselerasi transformasi Industri 4.0, dan penguatan standar industri hijau. Pengintegrasian industri hulu ke hilir menjadi prioritas utama, termasuk penyusunan roadmap kimia dasar berbasis migas dan batu bara, serta perluasan penggunaan TKDN.
Selain itu, pemerintah melakukan pengembangan kawasan industri tematik dan chemical cluster terintegrasi, termasuk kawasan ekonomi khusus yang menawarkan fasilitas fiskal dan kemudahan perizinan. Kata dia, penguatan industri petrokimia bukan hanya soal pengurangan impor, tetapi strategi jangka panjang untuk menopang seluruh ekosistem manufaktur Indonesia.
“Industri petrokimia adalah jantung dari banyak sektor industri. Ketika hulu kita kuat, seluruh industri hilir akan tumbuh dengan lebih kokoh dan kompetitif. Inilah fondasi hilirisasi yang sesungguhnya,” pungkasnya.