21 April 2025
17:20 WIB
Jadi Senjata Kurangi CO2, Ini Cara Kerja CCS
Cara kerja CCS dimulai dari penangkapan C02 bakal dilakukan di cerobong-cerobong asap industri, kemudian dicairkan sebelum diangkut dan diinjeksikan ke fasilitas penyimpanan.
Penulis: Yoseph Krishna
Pekerja memeriksa lokasi penerapan teknologi Carbon Capture Utilization and Storage (CCUS) di Pertamina EP Sukowati Field, Bojonegoro, Jawa Timur, Kamis (7/12/2023). Antara Foto/Budi Candra Setya
JAKARTA - Teknologi penangkapan dan penyimpanan karbon (Carbon Capture and Storage/CCS) kerap disebut sebagai salah satu cara yang efektif untuk mengurangi emisi karbon dioksida (CO2).
Direktur Eksekutif Indonesia CCS Center Belladona Troxylon Maulianda mengungkapkan teknologi itu bakal onstream perdana pada tahun 2030 mendatang.
Dirinya menjelaskan cara kerja CCS dimulai dari penangkapan CO2 di cerobong asap. Proses ini dilakukan dengan mengambil emisi atau polutan berbentuk gas, lalu diproses sebelum ditransportasikan ke fasilitas penyimpanan.
"Sebelum ditransportasikan, biasanya diproses. Jadi, gas di cerobong-cerobong itu dipisahkan antara CO2 dengan gas-gas lainnya. Setelah dipisahkan itu dicairkan, lalu baru ditransportasikan," jelasnya dalam konferensi pers 'The 3rd IICCS Forum 2025' di Jakarta, Senin (21/4).
Baca Juga: Kemenko Perekonomian Dorong Implementasi CCS Jadi Daya Tarik Investasi
Kemudian untuk proses pendistribusian CO2 yang sudah dicairkan, akan menggunakan pipa gas ataupun kapal. Setelah sampai, barulah CO2 itu akan disuntikkan ke fasilitas CCS di sumur minyak dan gas bumi eksisting maupun sumur yang baru dibor.
"Setelah ditransportasikan lalu akan diinjeksikan ke dalam tanah ya, kita sebutnya storage," tambah Belladona.
Khusus untuk sumur yang baru dibor, Belladona menerangkan dunia CCS menyebutnya dengan salin akuifer, yakni lapisan air yang kaya dengan konsentrasi garam.
"Salin akuifer itu lapisan air dengan konsentrasi garam yang tinggi. Jadi, itu dua lapisan tujuan kita," jelasnya.
Lebih lanjut, Belladona menegaskan teknologi CCS sangat penting untuk menyukseskan agenda transisi energi di Indonesia.
Dirinya mengungkapkan fasilitas itu akan mereduksi emisi karbon di Indonesia secara efektif. Sehingga, target Net Zero Emission (NZE) yang dipatok pada tahun 2060 bisa terealisasi.
Indonesia pun punya keunggulan untuk memasifkan teknologi tersebut, salah satunya ialah potensi tempat penyimpanan karbon dioksida di bawah tanah yang cukup besar, yakni mencapai 600 Gigaton (GT).
"Kalau kita taruh dalam konteks emisi kita itu sekitar 600 juta ton per tahunnya. Jadi, 600 Giga dibagi 600 juta itu bisa kita simpan sekitar 1.000 tahun kalau hanya untuk emisi domestik. Tapi kalau kita ingin menyimpan CO2 dari negara-negara tetangga untuk mendapatkan pendapatan, dikombinasikan dengan emisi domestik, kita bisa menyimpan sekitar 200 tahun," papar dia.
Baca Juga: 15 Proyek CCS/CCUS Onstream Sampai 2030
Dengan adanya potensi bisnis CCS, Indonesia juga bakal mendapat fee dari negara lain yang menyimpan emisinya pada salin akuifer di Nusantara. Praktis, butuh pembangunan infrastruktur yang kemudian berdampak pada pembukaan lapangan pekerjaan.
Tak tanggung-tanggung, Belladona memperkirakan ada sekitar 170.000 lapangan pekerjaan yang terbuka dari sektor konstruksi, teknik, hingga pengawasan yang disebut MRV (Monitoring, Reporting, and Verification).
"Dia juga bisa berkontribusi terhadap pertumbuhan GDP. Jadi kita telah menghitung, pertumbuhan GDP ini bisa sekitar 0,8%-1%. Investasi yang telah masuk sekarang untuk pre-project karena proyeknya itu baru on-screen di tahun 2030, investasi ini sekitar US$38 juta dari berbagai perusahaan, dari multinational company, dan juga national oil company," tandas Belladona.