08 Juni 2024
17:13 WIB
Ini Kata IESR Soal Pengembangan PLTS Atap
Minat pelanggan sektor industri tetap tinggi untuk memasang PLTS Atap dan tidak terpengaruh oleh penghapusan net-metering
Penulis: Yoseph Krishna
Editor: Fin Harini
Petugas melakukan perawatan Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) yang terpasang di SDN Ragunan 8, Jakarta, Selasa (26/3/2024). ValidNewsID/Darryl Ramadhan
JAKARTA - Institute for Essential Services Reform (IESR)menilai minat industri menggunakan PLTS Atap tinggi untuk memangkas biaya energi. Namun, diperlukan kejelasan soal pembagian kuota untuk memberikan kepastian investasi.
Pemerintah melalui Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral telah mengeluarkan SK Dirjen Ketenagalistrikan Nomor 279.K/TL.03/DJL.2/2024 terkait Kuota Pengembangan Sistem PLTS Atap PLN Tahun 2024-2028. Beleid ini mengatur soal pembagian kuota PLTS Atap ditetapkan berdasarkan sistem tenaga listrik.
IESR menilai beleid penetapan kuota PLTS Atap untuk PT PLN (Persero) itu sudah dinantikan sejak lama oleh konsumen maupun pelaku usaha PLTS Atap.
Baca Juga: Gamang Menatap PLTS Atap
Tapi di sisi lain, IESR menyoroti pembagian kuota masih berdasarkan pada sistem kelistrikan dan belum dibagi sesuai klastering atau subsistem sesuai Pasal 9 ayat 3 Permen ESDM Nomor 2 Tahun 2024. Klastering dalam Permen itu menjadi tugas dari pemegang IUPTLU.
Padahal, Direktur Eksekutif IESR Fabby Tumiwa lewat keterangan tertulisnya menerangkan, adanya pembagian kuota PLTS Atap pada tingkat subsistem atau klaster sistem tenaga listrik bakal memberi kejelasan bagi konsumen sekaligus kepastian investasi bagi pelaku usaha PLTS Atap.
"Mengingat dengan ketiadaan mekanisme net-metering, PLTS Atap juga akan lebih banyak dilakukan untuk pelanggan komersial dan industri," tutur Fabby, Sabtu (8/6).
Sekadar informasi, pemerintah membidik total kuota PLTS Atap pada 11 sistem ketenagalistrikan 2024-2028 bakal mencapai 5.746 MW dengan rincian 901 MW pada 2024, 1.004 MW tahun 2025, 1.065 MW tahun 2026, 1.183 MW tahun 2027, dan 1.593 MW pada 2028 mendatang.
Fabby menilai Direktur Jenderal Ketenagalistrikan wajib memastikan PT PLN (Persero) agar menyampaikan pembagian per klaster sebelum Juli 2024 saat masa permohonan instalasi dimulai.
"Pembagian per subsistem memberikan informasi yang lebih transparan bagi konsumen untuk membaca peluang mereka mengajukan permohonan pemasangan PLTS atap. Oleh karenanya Dirjen Ketenagalistrikan harus memastikan PT PLN segera menyampaikan pembagian per cluster sebelum bulan Juli saat masa permohonan dimulai," jelas dia.
Selain itu, IESR juga mendorong Kementerian ESDM melakukan sosialisasi aktif terkait Permen PLTS Atap dan pembagian kuota untuk konsumen, hingga rincian mekanismenya. Secara paralel, pemerintah juga diminta proaktif mengingatkan pemegang IUPTLU lain supaya menyampaikan kuota kapasitas sebelum Juli 2024.
Pasalnya, kuota PLTS Atap yang baru dikeluarkan untuk PLN masih belum sesuai dengan target Program Strategis Nasional PLTS Atap Nasional sebesar 3,6 GW yang ditetapkan pada 2021 lewat Permenko Perekonomian Nomor 7 Tahun 2021.
"Pemerintah perlu juga mencermati minat pelanggan dalam adopsi PLTS Atap sehingga dapat meningkatkan kuota PLTS Atap di 2025 sebagai upaya mencapai target bauran energi terbarukan sebesar 23% di 2025," katanya.
Minat Tinggi
Manajer Program Akses Energi Berkelanjutan IESR Marlistya Citraningrum menilai, peniadaan net-metering sejatinya tidak terlalu berdampak terhadap minat pelanggan sektor industri untuk memasang PLTS Atap. Namun demikian, pemerintah ia sebut perlu menjabarkan soal prosedur bila terjadi permintaan melebihi kuota yang telah ditetapkan (oversubscribe) pada klaster sistem tertentu.
"Minat dari pelanggan residensial kemungkinan turun karena tingkat keekonomian yang berubah, namun dengan semakin meluasnya informasi dan keinginan untuk menghemat biaya listrik, bisa jadi permintaan penggunaan juga akan tumbuh," imbuh dia.
Baca Juga: Dilema Keberlanjutan Panel Surya Untuk PLTS Atap
Lebih lanjut, Marlistya mengatakan penetapan kuota PLTS Atap ke depan bisa menjadi peluang bagi lembaga keuangan untuk menopang skema pembiayaan yang menarik.
"Jika sebelumnya ceruk pasar tidak terlalu terlihat karena tidak adanya kuota, sekarang lembaga pembiayaan memiliki informasi tambahan untuk bisa melakukan asesmen komprehensif guna mengeluarkan produk pembiayaan hijau," tandas Marlistya Citraningrum.