c

Selamat

Jumat, 7 November 2025

EKONOMI

23 Maret 2024

18:00 WIB

Gamang Menatap PLTS Atap

Pemerintah yakin, aturan baru PLTS Atap yang makin transparan, akan meningkatkan pengguna. Sebaliknya, di sisi konsumen, khususnya rumah tangga gamang karena revisi aturan ini tak menguntungkan.

<p>Gamang Menatap PLTS Atap</p>
<p>Gamang Menatap PLTS Atap</p>

Seorang siswa memperlihatkan panel surya yang terpasang di atap SMP Negeri 6 Makassar, Sulawesi Selatan, Rabu (28/2/2024). Antara Foto/Hasrul Said

JAKARTA - Indonesia punya target untuk menurunkan emisi gas rumah kaca (GRK) pada tahun 2030 mencapai 368 juta ton karbondioksida ekuivalen atau sekitar 31,89% dengan upaya sendiri. Dengan bantuan internasional, penurunan pun dipatok sebesar 446 juta karbondioksida ekuivalen atau sekitar 42,3%.

Upaya memperoleh penurunan emisi tersebut, tentunya dikejar melalui salah satunya pengembangan energi baru dan terbarukan (EBT). Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menyebutkan EBT di Tanah Air tergolong memiliki jumlah yang melimpah, yakni punya potensi lebih dari 3,6 terawatt yang mayoritas didominasi dari energi matahari (solar) sebanyak 3,3 terawatt.

Sayangnya, hingga akhir 2023, capaian bauran EBT di Indonesia, tercatat baru mencapai 13%, atau masih jauh di bawah target yang ditetapkan sebesar 17,87%. Berdasarkan data Dewan Energi Nasional (DEN), persentase bauran energi tertinggi tahun 2023 masih didominasi batu bara (40,46%), minyak bumi (30,18%), gas bumi (16,28%), EBT (13,09%). Persentase energi baru terbarukan, cuma meningkat 0,79%.

Salah satu langkah yang dikejar untuk mencapai target porsi pembangkit EBT menjadi lebih besar yaitu mengoptimalisasi pemanfaatan energi surya melalui pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) Atap.

Plt Direktur Jenderal energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi Kementerian ESDM Jisman Hutajulu menyampaikan bahwa jika harga PLTS Atap setiap tahunnya menunjukkan tren penurunan. Artinya, pemanfaatan PLTS Atap secara masif bisa menurunkan biaya pokok penyediaan tenaga listrik dan mendorong efisiensi. Apalagi, waktu pembangunan PLTS Atap pun juga disebut relatif singkat.

Jisman menuturkan bahwa karena itulah pemerintah telah menerbitkan Peraturan Menteri ESDM tentang PLTS Atap, untuk mendorong partisipasi masyarakat dalam penyediaan energi bersih. Adapun, capaian PLTS Atap hingga Januari 2024, baru sebesar 149,2 Mega Watt Peak (MWp).

Sebagai informasi, watt dan watt-peak memiliki atri masing-masing. Watt mengukur daya yang digunakan oleh suatu perangkat, sedangkan watt-peak mengukur daya maksimum yang dapat dihasilkan oleh suatu sumber energi.

“Pemerintah terus melakukan optimalisasi pemanfaatan energi surya melalui PTS Atap. Pengembangan PLTS Atap sangat penting dan melibatkan partisipasi dari masyarakat luas yang dapat memberikan manfaat,” ujar Jisman dalam Sosialisasi Peraturan Menteri ESDM No 2 tahun 2024, dikutip Sabtu (23/3).

Program PLTS Atap ini juga diharapkan mampu mendorong produksi modul surya dalam negeri dengan target 1 gigawatt (GW) PLTS Atap yang terhubung ke jaringan PLN, dan sekitar 0,5 GW dari non-grid setiap tahunnya.

Jisman mengasumsikan jika kapasitas modul surya 450 wattpeak, diperkirakan produksi sekitar 3,3 juta panel surya setiap tahun dan tentu akan mendorong pertumbuhan industri modul surya. Saat ini, menurut Jisman, pemerintah pun tengah mendukung rencana pembangunan industri hulu solar cell yang sudah direncanakan ada di Jawa Tengah, Pulau Batam, dan Pulau Rempang.

“Perlu dilakukan percepatan pengembangan PLTS Atap. Pemerintah memandang, implementasi regulasi PLTS Atap belum mencapai optimalnya. Kami yakin tantangan ini dapat diatasi,” ucap Jisman.  

Revisi Permen ESDM
Untuk mempercepat pembangunan PLTS Atap di Indonesia, Kementerian ESDM telah meneken revisi Peraturan Menteri (Permen) ESDM Nomor 26 Tahun 2021. Beleid ini berisi tentang Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) Atap yang Terhubung pada Jaringan Tenaga Listrik Pemegang Izin Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (IUPTL) untuk Kepentingan Umum, menjadi Permen ESDM Nomor 2 Tahun 2024 tentang hal yang sama pada 29 Januari 2024, dan resmi berlaku mulai 31 Januari 2024.

Dalam percepatan penggunaan PLTS Atap, saat ini masih ada kelemahan PLTS Atap yaitu sifat intermittent-nya. Kondisi ini memerlukan agar sistem dan kualitas listrik di PLN tetap terjamin ke masyarakat, pada saat listrik on grid yang disalurkan ke PLN harus naik turun karena cuaca atau hal lain yang memengaruhi serapan energi pada panel surya.

Dengan demikian, pemerintah menganggap bahwa pengembangan PLTS Atap harus diperhitungkan dengan cermat terkait keandalan sistem. Oleh karena itu, dalam kebijakan baru ini, ditetapkan kuota PLTS yang akan masuk ke dalam sistem setiap tahunnya.

Ke depannya, bisnis permohonan pengajuan PLTS Atap ini akan didukung menggunakan layanan aplikasi PLTS Atap secara elektronik, atau disebut Sistem Pelayanan dan Pelaporan Terintegrasi PLTS Atap (SIMANTAP). Aplikasi ini ditujukan khusus untuk pemegang Izin Usaha Penyediaan Tenaga Listrik Untuk Kepentingan Umum (IUPTLU) non-PLN.

Direktur Aneka EBT Kementerian ESDM Andriah Feby Misna pun menyampaikan urgensi direvisinya Permen ESDM 26/2021 menjadi Permen ESDM 2/2024. Pertama, karena penambahan kapasitas terpasang PLTS tidak tercapai dari target yang telah ditentukan. Kedua, adanya pembatasan kapasitas dari aduan masyarakat yang menyebutkan jika kapasitas PLTS Atap oleh PLN tidak sesuai dengan regulasi.

Ketiga, belum terpenuhinya tata kelola dan tata waktu persetujuan permohonan PLTS Atap oleh PT PLN (Persero). Keempat, aturan ini diharapkan dapat meningkatkan bauran EBT melalui program PLTS Atap.

Kelima yakni adanya tuntutan green product dari konsumen yang harus segera dipenuhi industri secara cepat agar produknya tetap komprehensif di tingkat global.

“Dilihat dari tahun 2018 hingga 2023 ini memang trennya (pelanggan) cukup meningkat (PLTS Atap). Tapi kalau kapasitasnya masih kecil dan jauh dari yang ditargetkan,” tutur Andriah dalam pemaparannya saat sosialisasi Permen ESDM 2/22024, dikutip Sabtu (23/3).

Berdasarkan target di awal, pengembangan PLTS Atap di tahun 2023 seharusnya mencapai 900 MW. Namun nyatanya, per Desember 2023, dari laporan Andriah hanya mencapai kapasitas 141,1 MWp.

“Kalau dilihat dari kapasitas memang industri yang paling besar, tapi jumlah pelanggan didominasi rumah tangga dan kapasitasnya kecil-kecil. Jadi memang kita mendorong revisi Permen ini yang nantinya prioritaskan untuk sektor-sektor industri guna memenuhi kebutuhan mereka. Sektor lainnya seperti sektor pemerintah dan komersial,” ungkap Andriah.

Dari data yang disampaikan Andriah, hingga Januari 2024 diketahui jumlah pelanggan tertinggi asal rumah tangga mencapai 5.805 pelanggan, dengan total kapasitas hanya sebesar 20,81 MWp.  

Sementara untuk pengguna industri memang lebih kecil, yakni hanya 190 pelanggan, namun memiliki kapasitas terbesar yang totalnya mencapai 82,72 MWp.

Pemanfaatan Oleh Industri
Penggunaan PLTS Atap di Indonesia sendiri, sejatinya sudah dilakukan oleh beberapa perusahaan di berbagai sektor industri. Menurut catatan Validnews, setidaknya sudah diterapkan di sektor food and beverages atau makanan dan minuman (mamin) serta sektor perbankan.

Pada sektor mamin, misalnya, penggunaan PLTS Atap sudah dimulai  PT Garudafood Putra Putri Jaya Tbk. Head of Corporate Communication and External Relations Garudafood Dian Astriana menyampaikan, perusahaan telah efektif mengoperasikan PLTS Atap sejak 2023 lalu di pabrik Garudafood Sumedang, Jawa Barat, dengan kapasitas terpasang on grid sebesar 810 kilowatt peak (KWp).

Jumlah kapasitas tersebut, menurut Dian, telah sesuai dengan Permen ESDM 26/2021 sebelum direvisi, yaitu 15% dari total keseluruhan listrik yang digunakan oleh pabrik.

Sekadar informasi, PLTS Atap jenis on grid adalah sistem PLTS yang arus listriknya masih berhubungan dengan PLN dan penggunanya pun masih memerlukan aliran listrik PLN saat malam hari. Sedangkan off grid, adalah jenis PLTS Atap yang bersifat mandiri atau pelanggan bisa menyimpan sisa cadangan listrik dengan baterai sendiri tanpa bergantung pada PLN.

Menurut Dian, Garudafood sendiri sudah sejak tahun 2021 bersikap proaktif dan berkomitmen untuk mengintegrasikan aspek keberlanjutan dengan strategis bisnis. Apalagi pihaknya menyadari jika aktivitas bisnis Garudafood berpotensi menghasilkan lepasan emisi yang menimbulkan masalah iklim dan lingkungan.

“Oleh karena itu, sebagai tanggung jawab kami, maka salah satu inisiatif yang dilakukan adalah berupaya mengurangi ketergantungan penggunaan energi fosil,” ujar Dian kepada Validnews, Jumat (22/3).

Berkat pemanfaatan PLTS Atap ini, Garudafood mengklaim berhasil melakukan upaya dekarbonisasi emisi hingga 1.000 ton karbodioksida per tahunnya. Capain ini setara dengan penanaman 114.000 pohon per tahun, dan mampu memproduksi lebih dari 1.200 megawatt hour (MWh) per tahun.

Ke depan, kata Dian, Garudafood akan bertahap melakukan pemasangan PLTS Atap di seluruh wilayah operasional perusahaan. Seperti 2 pabrik di Pati Jawa Tengah, 1 pabrik di Gresik Jawa Timur, dan kantor pusat di Jakarta.

Diperkirakan, realisasi kapasitas yang akan dihasilkan di seluruh operasional Garudafood mencapai 2.400 KWp atau setara dengan dekarbonisasi sebesar 3.000 ton karbondioksida per tahunnya.

“Kami berharap pemerintah senantiasa berkomitmen mendukung penggunaan teknologi PLTS Atap dengan penyempurnaan birokrasi perizinan agar lebih cepat, mudah, sederhana, dan transparan. Sehingga bisa mendorong lebih banyak pelaku industri untuk beralih menggunakan PLTS sebagai alternatif energi terbarukan,” ucap Dian.

Selanjutnya, pada sektor perbankan, salah satunya diterapkan PT Bank Central Asia Tbk (BCA). Executive Vice President (EVP) Corporate Communication and Social Responsibility BCA Hera F. Haryn menyatakan bahwa perusahaannya telah memasang PLTS Atap sejak 2019. Total unit yang telah terpasang hingga 2024 ini sebanyak 9 gedung kantor BCA.

“Pemasangan solar panel ini diperkirakan dapat mengurangi emisi gas rumah kaca sebesar 360 ton karbondioksida ekuivalen dan menghasilkan kapasitas sekitar 300 MWh hingga akhir tahun 2023,” kata Hera saat dihubungi Validnews, Sabtu (16/3).

Rumah Tangga Minim
Di sisi lain, antusiasme di sektor rumah tangga justru cenderung masih minim. Padahal potensi PLTS Atap di Indonesia dari sektor rumah tangga diketahui mencapai 19,8 GW.

Sayangnya, dengan munculnya revisi Permen ESDM yang terkesan tidak memberikan keuntungan apapun bagi sektor rumah tangga, membuat mereka masih berpikir ulang untuk dalam pemasangan PLTS Atap.

Salah satunya Dewi, ibu rumah tangga di Jakarta yang mengaku mengurungkan niat memasang PLTS Atap. Alasannya, biaya investasi pada awal yang baginya masih terlalu besar.

Dia bercerita, ketertarikannya memanfaatkan panel surya, muncul saat dirinya masih bekerja sebagai wartawan, pernah meliput dan membahas PLTS Atap, di sekitar tahun 2020 hingga 2021.

“Ya dulu awalnya niat karena biar ramah lingkungan. Jangka panjangnya juga bisa irit dari segi biaya. Tapi kan PLTS Atap itu memang investasi awalnya gede banget, Cuma ya untuk investasi jangka panjang irit,” cerita Dewi kepada Validnews, Jumat (23/3).

Namun dia terpaksa tak lagi melanjutkan niatnya memasang PLTS Atap, usai mengetahui jika harga komponennya mencapai puluhan hingga ratusan juta, tergantung listrik yang dibutuhkan.

Nah, saat ini mengeluarkan biaya listrik per bulannya sekitar Rp500 ribu hingga Rp700 ribu per bulannya. Dia mengaku bisa saja kembali tertarik jika pemerintah memberikan subsidi komponen mencapai 50%.

“Saya, kan, masih kaum mendang-mending, nggak mungkin bisa. Tapi kalau subsidinya dikasih hampir 50%, ya, pasti saya pasang, sih,” tuturnya.

Lain halnya dengan Haekal Awliya Muhammad Salman atau akrab disapa Haekal. Warga Semarang, Jawa tengah ini bercerita, sejak tahun 2021 telah memasang PLTS Atap di rumahnya. Saat itu, dia yakin penggunaan energi surya akan menghemat pengeluaran, terlebih dengan adanya skema ekspor-impor dan pengurangan tagihan listrik oleh PLN.

Haekal mengatakan, niat awalnya memasang PLTS Atap adalah karena dirinya seorang pegiat energi terbarukan. Tujuannya satu, dia ingin, ketika ditanya kontribusi apa yang telah dilakukan dalam pemanfaatan EBT? Dia bisa menjawab, telah memanfaatkan energi surya dari PLTS Atap. Sekitar 10 kilovolt (KV) kapasitas listrik yang dihasilkan di rumahnya.

“Kira-kira saya dalam sebulan bisa menghemat atau mendapat potongan tagihan listrik sekitar Rp300 ribu. Sebelum memakai PLTS Atap saya biasanya membayar Rp900 ribu per bulan,” ungkap Haekal saat dihubungi Validnews, Jumat (22/3).

Soal harga komponen dan biaya pemasangan, cerita Dewi cukup mewakili. Haekal membeberkan, saat tahun 2021 silam, merogoh kocek sekitar Rp30 juta untuk pemasangan perangkat PLTS Atap. Sedangkan, biaya administrasi dan konversi meteran listrik biasa menjadi PLTS Atap, totalnya mencapai Rp5 juta.

Itu baru biaya unit dan biaya pasang. Belum lagi dari sisi perizinan. Haekal mengungkapkan, saat itu terbilang cukup rumit dan memakan waktu lama.

“Itu administrasinya dulu lumayan susah, harus ngajuin surat sana sini. Saya akhirnya minta bantuan teman. Dulu pernah sekali nyoba ke kantor PLN dan itu sistemnya masih manual nggak elektronik, nggak lewat PLN mobile, dan manual, jadinya ribet. Waktu itu urus perizinan total sekitar sebulanan,” cerita Haekal.

Menurutnya, adanya revisi Permen ESDM 26/2021 menjadi Permen ESDM 2/2024, tidak menarik calon konsumen rumah tangga. Bahkan, saat ditanya apakah ingin memasang PLTS Atap lagi, dia pun memilih tidak berminat karena merasa benefitnya tidak ada.

Nggak dong, soalnya nggak ada benefit sama sekali, karena walaupun sistem ekspor impor tidak dapat diskon potongan apapun dari PLN. Biaya energinya tambahannya nggak dihitung dan nggak berdampak apa-apa,” ucapnya.

Belum Memuaskan
Ketua Dewan Asosiasi Energi Surya Indonesia (AESI) Arya Rezavidi mengakui, revisi beleid tersebut secara garis besar belum memuaskan baik bagi sisi pengembang maupun pengguna.

Alasannya, kebijakan PLTS Atap ini awalnya didesain tidak menggunakan dana pemerintah, juga bukan untuk jual beli dengan PLN. Oleh karena itu, masyarakat benar-benar diminta untuk berpartisipasi untuk turut membantu mencapai target EBT.

Dengan munculnya Permen revisi ini, memang sudah tidak ada lagi hambatan pembatasan 15% dan lain halnya. Sayangnya, masyarakat tidak boleh mengekspor listrik ke PLN. Inilah faktor yang cukup mempengaruhi minat konsumen rumah tangga untuk memasang PLTS Atap.

“Pemasangan PLTS Atap dengan dana mereka sendiri, diharapkan bisa mengurangi pembayaran mereka pada PLN, kan begitu awalnya. Tapi dengan kebijakan baru ini, seolah-olah jadi persaingan dengan PLN. Jelas untuk kami, sektor rumah tangga akan terdampak,” tegas Arya saat dihubungi Validnews, Senin (18/3).

Dia menilai, poin yang selalu disorot PLN adalah dampak dari PLTS Atap akan mengganggu kestabilan jaringan mereka. Padahal menurutnya, PLTS Atap sudah banyak terdapat di Jawa dengan total kapasitas sangat besar yaitu 53 GW, sementara masuknya energi yang diekspor dari PLTS Atap baru 1 GW. Jadi, dari perhitungan Arya, tidak terlalu signifikan pengaruhnya ke PLN.

“Sebenarnya AESI pernah studi di Jawa sampai dengan 9 GW, itu tidak terjadi persoalan teknis. Asalkan persebarannya tidak di satu titik. Misal di Jakarta mendung, tapi kan di Jateng masih menghasilkan,” jelasnya.

Hal lain yang dianggap aneh oleh Arya yaitu terkait kekhawatiran soal pendapatan PLN yang terancam berkurang dengan adanya PLTS Atap. Dia berpandangan, pengurangan pendapatan PLN dengan adanya PLTS Atap tidak mencapai 0,1% dari total pendapatan PLN. Di sisi lain, PLN justru memiliki PLN Icon Plus yang menjual PLTS Atap.

“Ini jadi lucu, PLN Icon Plus itu mereka tetap menjual PLTS Atap. Jadi di satu sisi mereka katakan takut mengurangi revenue PLN, tapi ikut berjualan, ikut terjun juga, jadi tidak fair menurut kami,” ujar Arya.

Karena sulitnya sektor rumah tangga untuk turut serta dalam penambahan pemasangan PLTS Atap, Arya pun berharap agar sektor industri bisa diandalkan untuk mengoptimalkan kemampuannya menggunakan PLTS Atap.

Namun, berdasarkan pendapat Arya, mungkin akan ada ketidakminatan dari industri untuk memasang PLTS Atap. Alasannya, industri harus mengeluarkan seluruh biaya perangkat dan perizinan sendiri, meski tidak ada jual beli dengan PLN. Namun, mereka masih belum bisa mengantongi sertifikat karbon.

Padahal, mereka telah berinvestasi besar pada PLTS Atap. Adapun sertifikat karbon hanya bisa menjadi hak pemerintah.

“Kemarin pada ESDM kami katakan, kami wait and see dulu. Kami evaluasi setelah berjalan. Misalnya tidak ada pertumbuhan yang signifikan, ya kita minta revisi lagi Permen ini, terutama untuk ketentuan sertifikat karbon tersebut,” ungkap Arya.

Sejalan dengan pendapat Arya, Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR) Fabby Tumiwa juga menyatakan jika revisi permen ini menjadikan PLTS Atap menjadi tidak menarik bagi rumah tangga.

Sementara untuk sektor industri dan bisnis, dia menilai hampir seluruh sektor industri dan bisnis apapun, berpeluang memanfaatkan PLTS Atap. Bahkan, menurutnya, pemanfaatan PLTS Atap mampu menghemat biaya listrik mereka hingga 5% dibanding membayar listrik ke PLN.

“Jadi kalau ada industri yang mungkin ingin mengurangi biaya konsumsi, bisa memilih PLTS Atap karena bisa lebih murah 5% daripada beli di PLN. Tapi sifatnya tidak mengganti ya, hanya mengurangi listrik PLN saja. Jadi tetap pakai listrik PLN, mungkin dikurangi bisa 10%, bisa 15%, tapi intinya mereka bisa mendapat penghematan dari situ,” ujarnya.

Fabby menuturkan, PLTS Atap lebih diminati bagi industri skala besar seperti perusahaan multinasional, perusahaan bermerek internasional, dan perusahaan berorientasi ekspor. Menurutnya, industri yang seperti itu pun, kata dia, tidak memerlukan insentif dalam pemasangan PLTS Atap.

Meski menarik bagi industri, Fabby tetap memperingatkan pemerintah jika industri bisa saja tidak tertarik jika pemerintah menetapkan kuota kapasitas yang terlalu kecil. Dari hasil survei, potensi kapasitas yang dihasilkan PLTS Atap tahun ini mencapai 800-900 MW baik yang telah terproses maupun dalam kontrak.

Sementara untuk sektor rumah tangga, senada dengan Arya, dia menyatakan beleid ini tidak akan terlalu menarik minat masyarakat. Pasalnya biaya baterai penyimpanan listrik saat ini masih relatif mahal. Nantinya, seiring murahnya baterai, kemungkinan besar sektor rumah tangga akan memakai.

“Yang diperlukan adalah tidak diganjal saja dan tidak dipersulit untuk mendapatkan persetujuan dari PLN. Dan di sini kan di dalam permen itu diatur mengenai kuota kapasitas, nah kuota kapasitas ini bisa menjadi hambatan kalau diaturnya terlalu kecil,” ucap Fabby.


KOMENTAR

Silahkan login untuk memberikan komentarLoginatauDaftar