03 Maret 2025
21:00 WIB
Industri Tekstil Masih Dihantam Tekanan Hingga Timbulkan Gelombang PHK
Industri TPT nasional masih dihantam banyak tekanan hingga menimbulkan gelombang PHK. Seperti belum ada kebijakan yang selaras untuk mendukung industri TPT serta gempuran produk impor murah.
Penulis: Aurora K MÂ Simanjuntak
Buruh memproduksi tekstil di Pabrik Sritex, Sukoarjo, Jawa Tengah, Jumat (13/2). Antara Foto/Hafidz Mubarak A
JAKARTA - Industri tekstil dan produk tekstil (TPT) dalam negeri terus menerus berada dalam tekanan akibat gempuran produk impor, penurunan daya saing, kebijakan yang belum mendukung industri, ekspor menciut, hingga gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK).
Institute for Development of Economics and Finance (Indef) menyoroti industri TPT sangat bergantung pada pesanan dalam jumlah besar. Apabila pesanan berkurang atau bahkan nihil, maka produksi dan utilisasi pabrik ikut anjlok.
Kepala Pusat Industri, Perdagangan, dan Investasi Indef Andry Satrio Nugroho mengatakan, salah satu langkah yang ditempuh manajemen industri TPT adalah memangkas jumlah karyawan. Mengingat ini sektor padat karya, maka terjadilah gelombang PHK.
"Industri TPT kita melihat ada tekanan cukup berat, kinerja industri ini memang cenderung menurun dari sisi produksi dan utilitas, kapasitasnya," ujarnya kepada Validnews, Senin (3/3).
Dalam catatan Validnews, Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) melaporkan, utilisasi industri TPT nasional berada di bawah 50% pada akhir tahun 2024. Beberapa pabrik tekstil RI pun terpantau mengalami gulung tikar.
Baca Juga: Indonesia-Jerman Kembangkan Riset Industri Tekstil Berkelanjutan
Dua di antaranya, produsen poliester PT Asia Pacific Fibers Tbk (POLY) yang menyetop operasional pabrik pada November 2024. Kemudian, PT Sri Rejeki Isman Textile (SRIL) atau Sritex dinyatakan pailit dan melakukan PHK terhadap 10.669 orang karyawan.
Lebih lanjut, Andry mengungkapkan, sudah lama industri TPT Indonesia mengalami tekanan. Ia menyayangkan, daya saing produk RI lesu akibat gempuran tekstil dan produk tekstil murah meriah.
Sebab, barang-barang impor tersebut masuk secara legal maupun ilegal, terutama dari China. Menurutnya, ini menandakan pemerintah belum mengimplementasikan kebijakan yang pas untuk mendukung sektor industri TPT.
Kemudian, Andry menilai, ada penurunan kinerja ekspor TPT. Ekonom Indef menyebut, tekstil dan pakaian jadi made in Indonesia banyak diekspor ke Amerika Serikat dan Eropa.
Namun, permintaan global terhadap produk TPT melambat, sehingga tidak terserap. Sementara pasar dalam negerinya dibanjiri barang impor. Kondisi ini membuat industri TPT terpuruk.
"Terjadi penurunan ekspor tekstil, khususnya untuk permintaan global, AS dan Eropa adalah salah satu pasar utama produk tekstil Indonesia, sedangkan di dalam negeri justru dibanjiri produk impor murah," kata Andry.
Senada, Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (CORE), Mohammad Faisal membenarkan, sudah lama pelaku industri TPT 'berteriak' karena mengalami tekanan bertubi-tubi.
Baca Juga: Istana Bocorkan Skema Baru Untuk Pekerjakan Kembali Karyawan Eks Sritex
Dia menyebutkan, beberapa alasannya, tidak ada kebijakan yang selaras mendukung kondisi industri, tingginya persaingan dengan barang impor yang harganya jauh lebih murah, sehingga kalah kompetitif. Itu termasuk bersaing dengan barang impor yang ilegal.
"Industri TPT ini permasalahannya sudah lama sebetulnya, bukan akhir-akhir ini saja, sudah lama pelaku industri berteriak," ujar Faisal kepada Validnews, Senin (3/3).
Ekonom CORE menambahkan, masalah pailit hingga PHK ribuan pekerja yang dialami raksasa tekstil PT Sritex juga merupakan cerminan buruk kinerja industri TPT nasional.
Di samping minimnya kebijakan pro industri, ia menilai, masalah Sritex perlu dilihat dari kacamata tatanan manajemen perusahaan. Menurutnya, itu turut menjadi salah satu faktor perusahaan tersebut tidak berhasil bangkit dari kepailitan.
"Tekanannya banyak sekali, ditambah permasalahan kekinian yang terjadi pada Sritex. Ini kita perlu lihat lebih jauh, bukan hanya masalah kebijakan atau makro, tapi ke mikro di tingkat korporasinya, misalnya gimana manajemennya," tutup Faisal.