c

Selamat

Senin, 17 November 2025

EKONOMI

29 Februari 2024

21:00 WIB

Industri Dituduh Tak Mampu Serap HGBT, Kemenperin: Suplai Kurang

Kemenperin menilai, bukan salah industri penyerapan HGBT jadi tidak maksimal, melainkan masalah pasokan gas bumi yang tidak cukup di hulu gas.

Penulis: Aurora K M Simanjuntak

Industri Dituduh Tak Mampu Serap HGBT, Kemenperin: Suplai Kurang
Industri Dituduh Tak Mampu Serap HGBT, Kemenperin: Suplai Kurang
Konferensi Pers Rilis Indeks Kepercayaan Industri (IKI) Kamis (29/2). Validnews/Aurora K M Simanjuntak

JAKARTA - Menepis tuduhan industri tidak mampu menyerap harga gas bumi tertentu (HGTB), Kementerian Perindustrian (Kemenperin) menyatakan justru ada masalah dari sisi pemasok gas bumi, sehingga suplai gasnya berkurang.

Staf Khusus Menteri Bidang Hukum dan Pengawasan Kemenperin Febri Hendri Antoni Arif mengatakan, industri hulu gas sedang melakukan pemeliharaan (maintenance) sehingga suplai gas bumi untuk industri peserta program HGBT tersendat. 

Padahal, menurutnya, tidak ada masalah dari sisi pelaku industri karena mereka siap menyerap gas murah tersebut.

"Kami mendapat informasi bahwa industri hulu gas itu sedang melakukan maintenance, sehingga suplai gasnya itu yang kurang, jadi bukan industrinya yang tidak mampu menyerap," ujarnya, Kamis (29/2).

Febri secara gamblang menyampaikan tidak masuk akal apabila industri dituduh tak mampu menyerap gas murah alias HGBT senilai US$6/MMBTU. Menurutnya, saat ini bahkan banyak industri tengah mencari bahan baku murah produksi dalam negeri. 

Kami agak gimana gitu rasanya, ketika ada yang mengatakan industri tak mampu menyerap HGBT. Kan tidak masuk akal kalau seandainya industri tidak mampu menyerap harga gas di bawah US$6/MMBTU, kan harga murah," tuturnya.

Baca Juga: Penerimaan Negara Anjlok Lebih Dari US$1 Miliar Akibat HGBT

Lain hal jika tidak ada masalah di pemasok, sehingga suplai gas bumi berlimpah. Apabila demikian, Febri meyakini serapan HGBT pun akan maksimal karena saat ini industri tengah mencari bahan baku murah yang berasal dari dalam negeri.

Sebagai informasi, pemerintah menggelar program "gas murah" atau HGBT seharga US$6/MMBTU. Saat ini, HGBT terbatas untuk 7 jenis industri saja, yaitu industri pupuk, petrokimia, baja, oleokimia, keramik, kaca, dan sarung tangan karet.

"Kalau ada suplainya banyak, saya yakin serapannya juga pasti banyak, tapi ini kan dinyatakan industri tidak mampu menyerap, nah ini enggak mungkin," kata Febri.

Dia pun kembali menuturkan Kemenperin mendapat informasi hulu gas sedang maintenance sehingga pasokan gas bumi terganggu. Hal itu otomatis membuat industri peserta program HGBT yang ingin menyerap gas murah ikut tertahan.

"Kami dapat informasi, ada permasalahan maintenance, sehingga suplai HGBT ke perusahaan industri peserta program HGBT tersendat. Jadi masalahnya bukan industri tidak mampu menyerap HGBT, tapi dari sisi suplainya," tutur Febri sekali lagi.

Dia berharap ke depannya, program HGBT tetap digelar dan bahkan diperluas ke sektor industri lain, sehingga tidak hanya terbatas pada 7 jenis industri saja. Karena menurutnya, HGBT selama ini mampu meningkatkan nilai tambah sekaligus daya saing industri dalam negeri.

"Kami harap ke depan program HGBT tetap berjalan, sesuai keputusan pemerintah dan diperluas. Nilai IKI akan lebih tinggi dari saat ini jika program HGBT berjalan baik," ucap Febri.

Baca Juga: Bantah ESDM, Kemenperin Ungkap HGBT Tak Tekan Industri Migas

Sebelumnya, Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) menyampaikan realisasi serapan HGBT 2023 belum optimal. Sebab, penyerapannya hanya berada di angka 90%.

Berdasarkan evaluasi SKK Migas, ada beberapa kendala yang membuat serapan HGBT belum 100%. Misalnya dari sisi hulu, ada kendala operasional terkait rencana produksi dan itu mengakibatkan fluktuasi alokasi volume gas bumi.

Selain itu, SKK Migas juga mencatat penerimaan negara berkurang gegara penerapan kebijakan Harga Gas Bumi Tertentu (HGBT) bagi 7 sektor industri. Diperkirakan penerimaan negara anjlok sekitar US$1 miliar atau setara Rp15,6 triliun.

Namun itu masih angka sementara, dan akan direkonsiliasi lebih lanjut. SKK Migas menilai berkurangnya setoran negara ini dapat dikompensasi dengan peningkatan kinerja industri dan multiplier effect yang dirasakan industri.

"Ini sedang dievaluasi untuk merumuskan kebijakan untuk melanjutkan HGBT ke depan," ujar Deputi Bidang Keuangan dan Komersialisasi SKK Migas Kurnia Chairi.


KOMENTAR

Silahkan login untuk memberikan komentarLoginatauDaftar