26 Juli 2023
19:23 WIB
Penulis: Yoseph Krishna
Editor: Fin Harini
JAKARTA - Teknologi Carbon Capture Storage dan Carbon Capture, Utilization, and Storage (CCS/CCUS) marak dikampanyekan di era transisi energi, khususnya pada sektor hulu minyak dan gas bumi.
Indonesia pun digadang-gadang sebagai salah satu negara yang berpeluang menjadi pemain utama teknologi itu karena ada potensi penyimpanan besar di Nusantara. Tak tanggung-tanggung, ada sekitar 400 Gigaton reservoir yang dapat dimanfaatkan.
Untuk itu, Senior Consultant Wood Mackanzie Joshua Ngu mengingatkan agar Indonesia mempersiapkan diri untuk berkompetisi dengan negara-negara tetangga, mulai dari Malaysia hingga Australia.
Baca Juga: Luhut: RI Punya 400 Giga Ton Reservoir Untuk Tekan Emisi Migas
Dalam sesi diskusi pada ajang IPA Convex 2023 di ICE BSD, Joshua menjelaskan ada beberapa hal yang wajib menjadi perhatian. Pertama, ialah kerangka hukum dalam penerapan teknologi CCS/CCUS.
"Sama seperti industri lain, kita butuh regulasi untuk aturan main untuk menjaga kepentingan Indonesia terlindungi," ungkapnya, Rabu (26/7).
Hal lain yang harus disiapkan pemerintah ialah iklim investasi yang kondusif. Apalagi saat ini, Malaysia dan Australia diketahui tengah berupaya menerapkan CCS/CCUS untuk menyimpan CO2 baik dari domestik maupun impor dari negara lain.
"Kita tidak bisa mengatakan tidak peduli dengan negara lain. Sekali lagi, itu (CCS/CCUS) adalah bisnis global di mana perlu kita sadari bahwa kita perlu kompetitif dengan negara lain," kata Joshua.
Kemudian soal kesiapan industri, Joshua menilai pelaku bisnis di Indonesia relatif sudah memahami permukaan geologi dan punya wawasan yang mumpuni untuk menangani ataupun memproses gas.
Dalam hal ini, rantai pasok, supplier, hingga teknologi terkait penerapan CCS/CCUS ia sebut sudah siap dan bisa diakses dalam pengembangan industri di dalam negeri.
"Kalau kita gabungkan ini semua, kita benar-benar punya rumus untuk bersaing di transisi energi," ujar dia.
Secara garis besar, Joshua menegaskan bahwa teknologi CCS/CCUS merupakan ceruk bisnis baru. Artinya, teknologi itu tak hanya mencakup sektor hulu minyak dan gas bumi.
"Bicara industri baru, yang kita butuhkan adalah sumbernya, yakni emisi domestik yang bisa ditangkap dan ada banyak juga potensi untuk emisi CO2 internasional untuk diimpor dan disimpan," tandasnya.
Baca Juga: Pemerintah Resmi Teken Aturan Penangkapan dan Penyimpanan Karbon
Indonesia pun, sambungnya, harus memikirkan soal lintas batas CO2. Dia mengimbau harus ada hubungan Government to Government (G2G), baik dengan negara-negara G20 maupun negara lain untuk mengembangkan peraturan seputar teknologi CCS/CCUS.
"Negosiasinya G2G, lalu kesepakatannya dituangkan lewat B2B sehingga mereka (industri) bisa masuk di dalam arena ini," tegas Joshua Ngu.
Selain itu, national carbon trading framework pun tak bisa lepas dari perhatian pemerintah. Dengan adanya national carbon trading framework, Indonesia bisa mendapatkan modal untuk mengembangkan CCS/CCUS.
Lebih lanjut, Joshua mengatakan insentif teknologi CCS/CCUS juga wajib dikucurkan oleh Indonesia agar bisa bersaing dengan negara lain, seperti Amerika Serikat maupun Inggris yang menyalurkan subsidi pada proyek CCS/CCUS pertama sehingga dapat dievaluasi untuk proyek-proyek selanjutnya.
"Subsidi itu apakah dari perspektif operasional ataupun biaya. Intinya bukan hanya soal biaya, tapi juga soal keselamatan dan perspektif lain seputar pengoperasian CCS/CCUS," pungkas Joshua.