c

Selamat

Sabtu, 15 November 2025

EKONOMI

11 September 2025

09:51 WIB

INDEF: Pembukaan Lapangan Pekerjaan Mendesak

Pembukaan lapangan pekerjaan mendesak dilakukan. Tingkat pengangguran terbuka turun, namun jumlah pekerja penuh waktu menurun.

Penulis: Ahmad Farhan Faris

Editor: Fin Harini

<p id="isPasted">INDEF: Pembukaan Lapangan Pekerjaan Mendesak</p>
<p id="isPasted">INDEF: Pembukaan Lapangan Pekerjaan Mendesak</p>

Sejumlah pencari kerja antre untuk masuk ke dalam area Pameran Bursa Kerja di Thamrin City, Jakarta, Selasa (28/5/2024). Bursa kerja ini diikuti 40 perusahaan nasional dengan 1.200 lowongan pekerjaan. Antara Foto/Aprillio Akbar

JAKARTA - Direktur Program INDEF, Eisha Maghfiruha Rachbini menilai pembukaan lapangan pekerjaan merupakan hal mendesak yang harus dilakukan Pemerintahan Prabowo setelah reshuffle sejumlah menterinya.

Presiden Prabowo Subianto telah merombak susunan Kabinet Merah Putih, di antaranya Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati digantikan oleh Purbaya Yudhi Sadewa pada Senin (8/9).

“Membuka lapangan pekerjaan yang luas itu sangat urgent dilakukan oleh pemerintah dengan kabinet yang sekarang, porsinya strukturnya juga berubah. Refreshment di dalam kabinet ini harusnya bisa mendorong program-program yang bisa mendorong daya beli masyarakat, income masyarakat meningkat,” kata Eisha dalam diskusi virtual pada Rabu (10/9).

Baca Juga: Ekonom Sampaikan Usulan Untuk Tambah Lapangan Kerja Formal

Berdasarkan data ketenagakerjaan, kata dia, angka pengangguran secara tren menurun dalam 25 tahun hingga Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) menjadi 4,76% pada Februari 2025. Namun, pekerja penuh waktu menurun 1,2% dibandingkan tahun 2023.

“Sebaliknya, mereka yang setengah menganggur bahkan meningkat (19%). Ini ada indikasi bahwa pekerja walaupun bekerja ya setengah menganggur, mereka banyak yang ada di sektor informal,” jelas dia.

Porsi pekerja informal pada Februari 2025 sebesar 59,4% atau 86,58 juta orang. Perhitungan Eisha, porsi tahun 2025 ini naik dibandingkan 5 tahun lalu sebelum covid-19. Pada Februari 2020, porsi pekerja informasl sebesar 56,5%. Artinya, kata Eisha, data ini mengonfirmasi banyak mereka yang bekerja pada pindah ke sektor informal.

“Bukan berarti tidak oke sektor informal. Sektor informal juga memberikan pendapatan, tapi secara jaminan kesejahteraan ini sangat tidak stabil. Karena sewaktu-waktu mereka bisa bekerja, sewaktu-waktu mereka tidak bekerja, tidak mendapatkan pendapatan dan ini akan memberikan dampak terhadap daya beli masyarakat,” ujarnya.

Selanjutnya, Eisha mengatakan jika melihat data pengangguran lulusan SMA/SMK, S1, S2, S3/sederajat juga cukup tinggi secara nasional yakni 4,9%. Pengangguran lulusan tingkat SMK tertinggi (8%), diikuti oleh SMA (6,35%), dan S1, S2, S3/sederajat (6,23%).

“Pengangguran muda ini mendominasi dari tahun ke tahun. Pengangguran muda (15-24) mendominasi sebesar 16,6%. Rasanya pemerintah perlu benar-benar melihat bagaimana lulusan-lulusan pendidikan tinggi ini SMK, SMA ke atas bisa dapat diserap sesuai dengan kebutuhan lapangan pekerjaan perusahaan,” imbuhnya.

Eisha mengatakan hantaman covid-19 menjadi tantangan berat bagi ekonomi Indonesia. Walaupun tumbuhnya tetap di rata-rata 5%, namun upah riil tumbuh stagnan. Bahkan, kata dia, pasca covid-19 pertumbuhan upah riil itu hanya sekitar 2%, dan lebih rendah dibandingkan 2 periode setelah krisis sebelumnya.

“Ini yang agak kontradiktif, di satu sisi pertumbuhan ekonomi 5%. Tapi upah riil, secara riil penerimaan yang diterima oleh masyarakat, pekerja itu tidak naik,” ucapnya.

Dampak Deindustrialisasi
Eisha menilai deindustrialisasi menjadi salah satu penyebab atau pemicu dari tidak meningkatnya upah riil, bahkan menurun. Padahal, kata dia, di negara maju itu pertumbuhan ekonominya bertumpu pada industrialisasi atau sektor manufaktur yang memberikan nilai tambah tinggi.

“Namun, yang terjadi di Indonesia dengan kebijakan tidak sinkron, tidak ada strategi yang khusus bagaimana mengelola atau menumbuhkan sektor manufaktur, sehingga sektor manufaktur ini terus menurun kontribusinya. Tadinya kita bisa mencapai lebih dari 20% terhadap PDB, saat ini bahkan 19% juga tidak, atau dicapai di bawah 20%,” katanya lagi.

Hal ini, lanjut Eisha yang menyebabkan adanya perubahan struktur dari tenaga kerja di Indonesia. Ketika adanya penurunan kontribusi, peran dari industri manufaktur yang menurun, terjadi perubahan struktur dari mereka yang bekerja di sektor industri beralih ke sektor lain atau sektor jasa.

Baca Juga: Menagih Janji Tersedianya 19 Juta Lapangan Kerja

Memang, Eisha menyebut tidak ada salahnya perubahan struktur pekerja sektor industri ke sektor jasa ini. Namun, ketika terlalu dini dan belum matang, perubahan tenaga kerja dari sektor manufaktur ke sektor jasa ini membuat banyak pekerja pindah ke sektor informal. Sedangkan sektor informal ini memberikan ketidakstabilan dalam jaminan terhadap penghidupan atau pekerjaan layak bagi pekerja.

“Kita bisa lihat bahwa kontribusi penyerapan tenaga kerja pada industri pengolahan itu kalau kita bandingkan 10 tahun terakhir, memang ada penurunan. Dan mereka sebenarnya pindah secara struktur kepada sektor informal, banyak di sektor jasa,” jelas Eisha.

Sementara Ekonom dari Universitas Paramadina, Wijayanto Samirin mengatakan Indonesia mengalami deindustrialisasi yang sangat dramatis. Tahun 2010, kata dia, sumbangan manufaktur itu masih berada di kisarakan 22% dari GDP. Saat ini, angkanya turun menjadi 18,6% dari GDP.

“Itu pun memasukkan CPO, yang sebenarnya by definition itu adalah raw agricultural product, bukan manufaktur. Kalau itu dikeluarkan ya angkanya 16%, lebih rendah lagi,” pungkasnya.


KOMENTAR

Silahkan login untuk memberikan komentarLoginatauDaftar