28 Juli 2025
08:00 WIB
Indef: Cegah Beras Oplosan Terulang, Ganti Razia Jadi Pengawasan Cerdas
Pemerintah disarankan untuk mengganti cara pengawasan yang reaktif berbasis razia menjadi pengawasan cerdas berbasis teknologi untuk mencegah kasus beras oplosan terulang.
Penulis: Fin Harini
Ilustrasi. Pekerja menata karung beras saat proses bongkar muat beras di gudang Perum Bulog Meulaboh, Aceh Barat, Aceh, Rabu (23/10/2024). AntaraFoto/Syifa Yulinnas
JAKARTA - Institute for Development of Economics and Finance (Indef) mengungkapkan praktik pengoplosan beras terus hidup karena lemahnya pengawasan. Pemerintah disarankan untuk mengganti cara pengawasan yang reaktif menjadi pengawasan cerdas berbasis teknologi.
Kepala Pusat Makroekonomi Indef Rizal Taufiqurrahman saat dihubungi oleh Antara di Jakarta, Minggu (27/7) mengatakan rantai distribusi Cadangan Beras Pemerintah (CBP) yang panjang dan tidak transparan menciptakan ruang bagi aktor-aktor di hilir untuk menyisipkan praktik pengoplosan secara sistematis.
Hal ini ditambah dengan lemahnya pengawasan pada titik distribusi akhir, tidak adanya sistem pelacakan yang kredibel, serta longgarnya mekanisme kontrol atas mitra distribusi Perum Bulog.
“Ini diperburuk oleh absennya early warning system berbasis data, serta tidak adanya pembenahan menyeluruh dalam tata kelola logistik dan sertifikasi penyalur. Selama logika ekonomi masih menguntungkan pelaku, dan sanksi tidak memberikan efek jera, sistem ini akan terus berputar,” ujarnya.
Oleh sebab itu, ia merekomendasikan pemerintah untuk mengubah pendekatan dari yang bersifat reaktif berbasis razia dan inspeksi dadakan, menjadi berbasis sistem pengawasan cerdas yang terintegrasi dan forensik.
Baca Juga: Kepala Bapanas Ungkap Alasan Beras 'Oplos' Tak Ditarik Dari Pasaran
Menurutnya, diperlukan digitalisasi rantai distribusi CBP dengan sistem pelacakan QR atau barcode yang dapat dimonitor secara publik, serta pembaruan sistem mitra Bulog, audit berkala, dan pembentukan daftar hitam pelaku oplosan harus menjadi standar kebijakan.
“Tanpa mekanisme sanksi administratif yang keras seperti pencabutan izin permanen dan pemiskinan korporasi pelaku praktik ini akan terus berulang dengan wajah yang berbeda,” ujar Rizal.
Lebih lanjut, pengentasan kejahatan pangan tidak bisa hanya mengandalkan satu institusi, namun perlu kerja sama antarkementerian yang bersifat sistemik, bukan sekadar koordinatif, yang mana Kementerian Pertanian dan Bulog harus bersinergi membentuk sistem pemantauan mutu dan distribusi yang real-time.
Selain itu, Aparat Penegak Hukum (APH) perlu membentuk unit khusus yang menangani pelanggaran dalam sektor pangan strategis.
“Semua aktor, termasuk pemerintah daerah, harus bekerja dalam satu kerangka pengawasan yang terukur, terpantau, dan dapat diintervensi dengan cepat ketika ada penyimpangan,” ujar Rizal.
Penanganan diperlukan, pasalnya kasus beras oplosan bisa merusak efektivitas kebijakan pangan, menciptakan distorsi pasar, hingga membahayakan stabilitas sosial apabila dibiarkan meluas.
“Ketika masyarakat menemukan bahwa beras yang mereka beli, bahkan dari program subsidi yang pernah dilakukan uji tidak sesuai mutu atau bobot, maka kepercayaan publik terhadap negara sebagai penyedia pangan akan runtuh,” ujarnya.
Dalam jangka panjang, Ia mengatakan praktik ini dapat menciptakan ketidakstabilan harga dan memperbesar jurang antara regulasi dan kenyataan pasar.
“Negara harus hadir secara tegas, tidak hanya dengan retorika, tetapi dengan sistem yang mampu menutup seluruh celah penyimpangan,” ujar Rizal.
Optimalkan Teknologi Digital
Senada, Peneliti Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Eliza Mardian merekomendasikan untuk mengoptimalkan teknologi digital sebagai upaya memberantas peredaran beras oplosan di dalam negeri.
“Bisa kembangkan sistem pelacakan beras berbasis teknologi (misalnya, blockchain) untuk memantau rantai pasok dari petani hingga konsumen, memastikan transparansi dan mencegah manipulasi, serta memudahkan pengawasan,” kata Eliza saat dihubungi di Jakarta, Minggu.
Seiring dengan itu, menurut dia, perlunya memperkuat pengawasan. Kementerian Koordinator Bidang Pangan perlu melakukan koordinasi lintas kementerian/lembaga (K/L) guna menangani peredaran beras oplosan.
“Ini tidak hanya melibatkan Kementerian Pertanian, tapi juga Kementerian Perdagangan. Jadi, perlunya harmonisasi antar instansi agar efektif menangani kasus ini,” ujar Eliza.
Selain itu, ia mengatakan diperlukan sanksi tegas untuk menimbulkan efek jera, yang meliputi pemberian denda hingga pencabutan izin usaha atau pelarangan distribusi bagi produsen yang terbukti melakukan pelanggaran.
Lebih lanjut, ia merekomendasikan untuk menetapkan regulasi ketat terkait standarisasi kualitas beras premium, yang mencakup pengujian rutin terhadap kadar air, butir kepala, serta kepatuhan takaran.
Kemudian, perlunya mewajibkan sertifikasi untuk produsen beras premium, yang bisa melibatkan jasa pemastian demi memastikan mutu beras agar konsumen beras premium tidak dirugikan.
“Serta perlunya perkuat regulasi pelabelan buat memastikan ada informasi yang lengkap di kemasan (misalnya, kelas mutu, berat bersih, komposisi dan kalau bisa bisa menelusuri asalnya atau traceability yang mudah dipahami oleh konsumen. Sehingga, konsumen akan tahu apa yang mereka beli,” ujar Eliza.
Baca Juga: Imbas Ramai Beras Oplos, Pemerintah Hapus Beras Premium dan Medium
Hapus HET Beras Premium
Ia juga menyarankan untuk menghapus Harga Eceran Tertinggi (HET) beras premium, karena konsumen beras premium berasal dari kalangan atas yang tidak masalah apabila harga beras naik.
Menurut dia, menghilangkan segmentasi antara beras premium dan medium bukanlah solusi, karena tetap harus ada segmentasi konsumen agar pemerintah bisa mengintervensi untuk melindungi masyarakat menengah ke bawah.
“Mereka punya kemampuan lebih besar untuk mengganti sumber pangan mereka. pemerintah tidak perlu repot mengurusi HET beras premium,” ujar Eliza.
Tidak hanya itu, ia juga merekomendasikan penyaluran beras Stabilisasi Pasokan dan Harga Pangan (SPHP) dilakukan secara langsung oleh pemerintah kepada penerima manfaat, bukan lewat distributor dan agen.
“Pemerintah bisa operasi pasar keliling ke setiap titik yang memang terpetakan daerah yang banyak KPM (Keluarga Penerima Manfaat), jadi mobile. Jadi data kemiskinan itu di overlay dengan peta, jadi pas operasi pasar bisa lebih efektif. Manfaatkan juga lewat Koperasi Desa Merah Putih, jadi kebocorannya bisa diminimalisir,” kata Eliza.