26 April 2025
11:07 WIB
IESR Beberkan Enam Strategi Tekan Biaya Produksi Hidrogen Hijau
Perlu pendekatan terkoordinasi yang mencakup teknologi, regulasi, pembiayaan, dan kerja sama internasional untuk membangun ekonomi hidrogen hijau yang kompetitif.
Penulis: Yoseph Krishna
Ilustrasi tanki green hydrogen plant atau pembangkit listrik tenaga hidrogen. Shutterstock/r.classen
JAKARTA - Hidrogen hijau dinilai menjadi salah satu solusi strategis dalam agenda dekarbonisasi di Indonesia, terutama pada sektor industri berat dan transportasi berat yang notabene punya emisi yang sulit ditekan.
Tetapi, hasil riset Institute for Essential Services Reform (IESR) menunjukkan biaya produksi hidrogen hijau (Levelized Cost of Hydrogen/LCOH) saat ini masih berada di kisaran US$4,3-US$8,3 per kilogram (kg).
Berdasarkan analisis yang ia lakukan, Direktur Eksekutif IESR Fabby Tumiwa menilai tingkat LCOH semestinya bisa terus ditekan seiring menurunnya harga listrik dari energi terbarukan seperti surya dan angin.
Indonesia, sambungnya, bisa menurunkan LCOH hingga US$2 per kg sebelum tahun 2040, atau bahkan bisa tercapai pada 2030 selama ada upaya mengembangkan ekosistem energi hijau yang terdiri dari enam pilar.
Pilar pertama, ialah pengembangan teknologi dan energi terbarukan lewat percepatan penyebaran energi terbarukan guna menekan biaya listrik yang nantinya bakal digunakan untuk produksi hidrogen.
Baca Juga: Kementerian Investasi: Butuh US$25,2 M Untuk Pengembangan Hidrogen Hijau 2031-2060
"Termasuk dalam hal ini mendorong produksi elektroliser lokal lewat kemitraan publik-swasta," ucap Fabby dalam keterangan tertulis, dikutip Sabtu (26/4).
Kemudian kedua, adalah mengintegrasikan hidrogen ke sektor ketenagalistrikan dan industri pupuk atau kilang, serta memulai ekspor lewat kesepakatan dengan pembeli internasional.
Selanjutnya, pengembangan infrastruktur dengan membangun jalur pipa dan stasiun pengisian hidrogen. Taktik itu bisa dilakukan paralel dengan melakukan kajian kesiapan pelabuhan untuk ekspor amonia.
Strategi keempat, ialah soal insentif dan pembiayaan, yakni dengan memberi jaminan offtaker oleh perusahaan pelat merah (BUMN), serta insentif harga dan pengenaan karbon untuk mengurangi risiko investasi awal.
Masuk Dalam KBLI
Di samping itu, Fabby menilai perlu adanya penyusunan klasifikasi maupun sertifikasi hidrogen nasional, serta upaya memasukkan proyek hidrogen dalam Klasifikasi Baku Lapangan Usaha Indonesia (KBLI). Terakhir, diperlukan peningkatan keahlian SDM lewat pelatihan, sertifikasi, dan pemetaan kebutuhan tenaga kerja untuk mendukung rantai nilai hidrogen hijau.
"Untuk membangun ekonomi hidrogen hijau yang kompetitif, Indonesia perlu pendekatan terkoordinasi yang mencakup pengembangan teknologi, regulasi, pembiayaan, dan kerja sama internasional," tegasnya.
Sebagai informasi, hidrogen hijau diproduksi dari pemecahan molekul air dengan listrik yang bersumber dari energi terbarukan seperti surya, angin, biomassa, serta panas bumi.
Baca Juga: Gunakan Hidrogen Dan Amonia, PLTU Jawa 9&10 Layak Ditiru PLTU Lain
Pemerintah dikabarkan telah merilis Buku Peta Jalan Hidrogen Hijau dan Amonia Nasional 2025-2060 beberapa waktu lalu sebagai turunan dari dokumen Strategi Hidrogen Nasional. Dalam peta jalan itu, ada empat sektor yang bakal memanfaatkan hidrogen, yakni industri, pembangkit listrik, jaringan gas, hingga sektor transportasi.
Pemanfaatan hidrogen hijau bakal dimulai dari sektor industri baja dan kilang pada tahun 2025 ini, disusul industri pupuk tahun 2026, industri kimia 2035, hingga industri tekstil, pulp dan kertas, serta industri makanan dan minuman tahun 2041 mendatang.
"Hidrogen hijau ini dapat menjadi salah satu solusi mencapai dekarbonisasi Indonesia, khususnya pada sektor industri berat dan transportasi berat yang sulit dikurangi emisinya," pungkas Fabby Tumiwa.