11 Mei 2023
08:00 WIB
Penulis: Yoseph Krishna
JAKARTA - Masifnya jumlah penduduk di Indonesia membuat kelangkaan lapangan pekerjaan. Alhasil, banyak masyarakat yang memilih mengajukan pinjaman produktif ke lembaga keuangan, seperti bank untuk membuka usaha sendiri.
Wakil Ketua Departemen Inovasi Keuangan Digital Asosiasi Fintech Indonesia (AFTECH) Sidiq Suryasemesta menuturkan secara konvensional, lembaga keuangan akan menarik data untuk menilai kemampuan seseorang dalam mendapatkan fasilitas kredit dengan pertimbangan kemampuan finansial hingga pembayaran dari riwayat pinjaman yang ada.
Namun sayangnya merujuk pada catatan World Bank pada 2022 lalu, terdapat lebih dari 90 juta masyarakat Indonesia yang statusnya unbanked people. Sidiq menyebut catatan itu mengindikasikan banyaknya masyarakat yang belum bisa mengakses pinjaman dari lembaga keuangan seperti perbankan.
"Lalu muncullah rumusan yang diimplementasikan untuk mengakses kemampuan seseorang dan mengukur risiko kredit, yakni ICS yang menggunakan data alternatif," ungkap Sidiq dalam sesi diskusi Festival Ekonomi Keuangan Digital Indonesia 2023 yang digelar secara hybrid di Jakarta, Rabu (10/5).
Baca Juga: Penyaluran Kredit Baru Kuartal I/2023 Tumbuh Positif
Dia menyebut, Innovative Credit Scoring (ICS) bisa menjadi solusi atas permasalahan sulitnya masyarakat mengakses pinjaman. ICS sendiri menggunakan data alternatif dari telekomunikasi dengan melihat seberapa lama seseorang menggunakan nomor telepon dan seberapa lama masa aktif nomor tersebut.
"Tentu itu penting ketika nanti pihak penyelenggara fasilitas keuangan untuk berkomunikasi dengan penerima fasilitasnya," kata Sidiq.
Tak hanya mengakses data telekomunikasi, Sidiq menerangkan ICS juga juga menelaah e-commerce untuk memberikan pinjaman kepada masyarakat.
Sistemnya ialah melihat pola dan kecenderungan belanja di e-commerce tertentu yang nantinya akan diakses melalui machine learning untuk mengeluarkan nilai pinjaman.
Machine learning itu sendiri akan menganalisa kemampuan seseorang untuk melakukan pembayaran dari sisi cashflow, hingga daya beli di suatu aplikasi e-commerce. Dengan begitu, penyelenggara jasa keuangan bisa mendapat data yang lebih komprehensif untuk memitigasi risiko.
"Sementara dari sisi user atau pengguna, itu (ICS) jadi alternatif mengakses fasilitas keuangan karena yang tadinya dia tidak punya riwayat kredit di data perbankan akhirnya bisa menggunakan data lain untuk menilai kemampuan dia mendapat fasilitas itu," tuturnya.
Senada, Kepala Peneliti Bidang Peluang Ekonomi Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) Trissia Wijaya menjelaskan yang membedakan ICS dengan lembaga keuangan konvensional ialah penggunaan artificial intelligence (AI) dan machine learning untuk mengukur kelayakan kredit, mulai dari data token listrik, pembelian pulsa, hingga riwayat transaksi di e-commerce.
Dengan begitu, Trissia menyebut sekalipun masyarakat tidak memiliki kartu kredit atau data di lembaga keuangan yang terdaftar, ICS tetap bisa memberikan penilaian kelayakan kredit bagi masyarakat.
"Jika pernah jalan-jalan ke mall lalu ada yang menawarkan kartu kredit, itu pasti ditanyakan riwayat kepemilikan kartu kredit sebelumnya. Tapi untuk ICS, tidak perlu worry karena data yang dipakai itu ada di e-commerce, telepon, dan sebagainya," tandas dia.
Perluasan
Lebih lanjut, Sidiq menegaskan bahwa kehadiran Innovative Credit Scoring (ICS) tidak mendisrupsi penilaian kredit konvensional yang sebelumnya telah diterapkan oleh perbankan maupun lembaga keuangan lainnya.
Menurutnya, ICS justru akan memperluas cakupan data dan assesmen kredit masyarakat. Sidiq menilai ICS bisa dibilang sebagai pelengkap dan memperluas variabel yang dinilai sebelum lembaga keuangan menyalurkan pinjaman.
"Jadi bisa dibilang sebagai pelengkap dan perluasan variabel. Tadinya dari sisi data credit, tapi ini kita luaskan ke pola atau kebiasaan masyarakat," ulas Sidiq.
Trissia juga meyakini kehadiran ICS menjadi cerminan perkembangan inovasi keuangan digital di Indonesia.
Tanpa menyebut angka, dia mengatakan pertumbuhan dari segi jumlah dan pendanaan dari ICS cukup memuaskan dan menjadi salah satu sektor inovasi digital yang paling mature serta siap dirilis dari market.
Baca Juga: Penghimpunan Dana Pihak Ketiga Perbankan Naik 9,1% Jadi Rp7.775,7 T
OJK sendiri pada 2018 silam sudah mengenalkan regulatory sandbox, dimana berbagai operator inovasi keuangan digital diperkenankan menguji inovasi produk di pasar hingga terlahir yang namanya agregator, e-KYC, hingga ICS dan lain sebagainya.
"Perkembangan ini adalah khusus di Indonesia, sumber data masih terbatas pada telekomunikasi karena pengguna ponsel yang lumayan tinggi penetrasinya selepas pandemi, termasuk data listrik juga," pungkasnya.
Meski begitu, Trissia tak menampik bahwa permasalahan infrastruktur data menjadi penghambat tersendiri bagi keberlangsungan ICS.
Hingga kini belum ada yang bisa membuktikan bahwa ICS bisa menjangkau masyarakat luar Pulau Jawa karena segala aktivitas yang masih terpusat di kawasan itu.
"Tidak bisa dipungkiri bahwa e-commerce, akses telekomunikasi, beli pulsa, dan sebagainya itu masih terpusat di Jawa, lalu akses digital terpusat di Jawa dan Bali. Jadi kembali lagi ini masalah data juga seberapa besar akurasi data dan menjangkau seluruh Indonesia," tegas Trissia Wijaya.