19 Juni 2025
15:06 WIB
HIPMI Desak Kemendag Terapkan Tarif BMAD Untuk Impor Sektor Hulu Industri Tekstil
BPP HIPMI menyayangkan keputusan Menteri Perdagangan yang menolak usulan pengenaan tarif BMAD impor sektor hulu industri tekstil.
Penulis: Erlinda Puspita
Ilustrasi industri tekstil. Karyawan Duniatex Group perusahaan tekstil terbesar di Indonesia tengah berkerja. Sumber: Duniatex Group
JAKARTA - Sekretaris Jenderal Badan Pengurus Pusat Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (BPP HIPMI) Anggawira menyayangkan keputusan Menteri Perdagangan (Mendag) Budi Santoso yang menolak usulan pengenaan Bea Masuk Anti Dumping (BMAD) terhadap produk partially oriented yarn dan draw textured yarn (POY-DTY). Hal ini menurutnya berpotensi mengancam keberlangsungan industri hulu tekstil nasional, serta menimbulkan efek domino negatif bagi perekonomian nasional.
Sementara di sisi lain, Anggawira menilai Indonesia memiliki keunggulan langka berupa ekosistem tekstil dan produk tekstil (TPT) yang telah terintegrasi dari hulu hingga hilir, selain China dan India.
Ia menilai penolakan usulan BMAD oleh Mendag Budi Santoso pun bisa menjadi kekhawatiran serius pada industri hulu TPT di Indonesia. Salah satunya produsen benang dan kain greige yang dalam beberapa tahun terakhir mengalami tekanan imbas masifnya impor produk murah asal China dan Vietnam.
Baca Juga: Cegah Dumping, APSyFI Usul RI Terapkan Tarif BMAD Industri Tekstil Minimal 20%
“Produk-produk tersebut kerap dijual dengan harga dumping, di bawah biaya produksi. Persaingan tidak seimbang ini sangat merugikan industri dalam negeri, terutama segmen hulu yang padat modal dan padat karya,” ujar Anggawira dalam keterangan tertulis yang diterima Validnews, Kamis (19/6).
Ia menyatakan, penolakan usulan pengenaan tarif BMAD tersebut membuat pasar domestik rawan dibanjiri produk impor murah dan semakin menekan industri TPT di hulu. Padahal, kata Anggawira, industri hulu TPT memainkan peran sentral sebagai pemasok bahan baku utama bagi sektor hilir, sehingga tekanan pada sektor ini bisa berdampak pada penurunan tingkat utilitas mesin pabrik, PHK massal, hingga fenomena deindustrialisasi.
“Kalau hulu tekstil mati, hilir akan mandek. Jika pabrik-pabrik hulu tutup, ribuan pekerja akan kehilangan mata pencahariannya,” sambung Anggawira.
Dampak keputusan tersebut juga menurutnya bisa memperbesar ketergantungan Indonesia terhadap bahan baku impor, mengikis daya saing industri nasional, dan mengganggu rantai nilai tekstil yang selama ini menjadi salah satu prioritas dalam program hilirisasi dan substitusi impor pemerintah.
Tak hanya itu, Anggawira juga menyampaikan, sebelumnya Asosiasi Produsen Serat dan Benang Filament Indonesia (APSyFI) juga telah mengusulkan kenaikan tarif minimal 20% dengan mmepertimbangkan sektor hulu sampai hilir. Usulan ini menurutnya sudah sangat rasional dan adil, mengingat sektor hilir selama ini juga banyak bergantung pada bahan baku impor.
Penolakan yang dilakukan Mendag Budi tersebut dinilai lebih mengutamakan sektor hilir TPT.
“Sayangnya dengan ditolaknya usulan ini, tampak bahwa kepentingan sektor hilir lebih diakomodasi, sementara sektor hulu dibiarkan bersaing secara tidak adil dengan produk luar negeri yangs eringkali mendapat subsidi dan fasilitas fiskal dari negara asal,” tuturnya.
Baca Juga: Regulasi Terus Berubah Jadi Penyebab Industri Tekstil Nasional Mandek
Adanya kondisi tersebut, Anggawira mengaku pihaknya mendesak pemerintah untuk meninjau ulang kebijakan pengenaan BMAD pada produk partially oriented yarn dan draw textured yarn (POY-DTY), dengan mengedepankan prinsip industrial equilibrium atau keseimbangan antara penawaran dan permintaan. Sehingga tidak hanya mempertimbangkan konsumen jangka pendek maupun tekanan kelompok tertentu, namun mencakup hulu hingga hilir.
“Tanpa intervensi tarif protektif yang adil, kita berisiko menghadapi kematian industri hulu, karena tidak bisa bersaing di harga. Tergerusnya utilisasi pabrik nasional, naiknya angka PHK dan migrasi industri ke luar negeri, serta terganggunya keberlanjutan pasokan ke sektor hilir itu sendiri,” tandas Anggawira.