26 Oktober 2023
09:58 WIB
Penulis: Khairul Kahfi
Editor: Fin Harini
JAKARTA - Dirjen Anggaran Kemenkeu Isa Rachmatarwata menyampaikan, perkembangan subsidi dan kompensasi atas BBM berkaitan harga minyak dunia yang melonjak saat ini diyakini masih cukup baik. Situasinya masih akan positif, apabila lonjakan harga minyak dunia hari ini tidak bergejolak terlampau jauh dari target APBN.
Dirinya menekankan, dalam penentuan bobot subsidi dan kompensasi akibat pembelian komoditas minyak, pemerintah menggunakan rata-rata harga komoditas selama tahun berjalan dan bukan berpatokan pada harga terakhir di pasar. Sampai September 2023, ICP rerata masih US$77,7/barel atau di bawah asumsi ICP APBN di US$90/barel.
Apalagi, sambungnya, pemerintah telah membayarkan komoditas minyak dengan harga ICP yang relatif rendah, ditambah kurs yang lebih baik dari posisi sekarang. Karena itu, pemerintah terus memperhatikan betul batas keseimbangan atau average dari perkembangan harga komoditas ini.
“Jadi, kalau (harga minyak) ini masih up and down di sekitar yang enggak terlalu tinggi, mudah-mudahan tidak loncat dari (belanja subsidi-kompensasi) yang kita anggarkan dalam APBN,” sebutnya menjawab wartawan, Jakarta, Rabu (25/10).
Baca Juga: Subsidi Energi 2024 Tinggi, Kemenkeu: Antisipasi Ketidakpastian Dunia
Kendati, dirinya mengakui bahwa pemerintah bakal menghadapi tantangan dari sisi perkembangan nilai tukar antara rupiah dengan dolar AS saat ini. Laporan APBN per September 2023 mengemukakan, level rupiah telah mencapai 15.171/dolar AS (ytd) atau lebih tinggi daripada asumsi fiskal tahun ini di kisaran 14.800/dolar AS.
Namun, Isa kembali berharap, bahwa tekanan nilai tukar ini tidak akan memburuk hingga beberapa waktu ke depan. Dengan kondisi ini, dibanding pergerakan harga minyak dunia, subsidi dan kompensasi BBM akan ditentukan dari naik-turunnya posisi nilai tukar rupiah terhadap dolar AS.
“Nah mungkin dari situ dampaknya akan ada (tekanan fiskal), mudah-mudahan enggak terlalu besar. Tapi, kenaikan (anggaran belanja subsidi-kompensasi) bisa terjadi karena kenaikan kurs,” ungkapnya.
Dia menilai, tekanan belanja subsidi-kompensasi BBM juga akan berpotensi makin berat manakala seluruh pihak tidak mengendalikan dengan lebih baik konsumsi atas BBM maupun listrik.
“Konsumsi BBM dan konsumsi listrik kalau kita tidak mengendalikan dengan lebih baik, ini kemungkinan memang akan ada di atas (anggaran subsidi-kompensasi). Jadi kemungkinan kenaikan subsidi kompensasi itu, terutama karena kurs dan konsumsi kita, itu yang perlu kita waspadai,” tekan Isa.
Pelemahan Rupiah Untungkan Eksportir
Dalam paparannya, Menkeu Sri Mulyani menegaskan, sebetulnya pergerakan depresiasi nilai tukar rupiah terhadap greenback masih relatif baik. Adapun dirinya memahami, terdapat kegaduhan di masyarakat lantaran fokus pada nilai tukar rupiah yang makin melemah.
Namun, dirinya mengungkapkan, pergerakan depresiasi rupiah terhadap dolar AS terbilang minimal di sekitar 0,7% (ytd). Indeks dolar AS meningkat 2,7% (ytd) dibandingkan enam mata uang negara utama lainnya, ditopang suku bunga (interest rate) tinggi.
“Jadi penyebabnya itu bukan rupiahnya (melemah), tapi dolarnya yang menguat,” ucap Sri.
Lebih lanjut, pelemahan atau depresiasi mata uang akibat indeks dolar AS yang sangat menguat juga berdampak cukup dalam kepada Filipina, Vietnam, Thailand, Korea Selatan, Malaysia, hingga India. Kendati pelemahan Indonesia, sekali lagi hanya berkisar 0,7% (ytd).
“Ini yang menggambarkan, bahwa secara relatif dolar AS yang menguat, maka membuat banyak mata uang melemah dibandingkan dengan dolar AS,” tambahnya.
Baca Juga: Rata-rata Belanja Subsidi Energi Rp20,8 Triliun Per Bulan
Mengenai siapa yang paling diuntungkan mengenai kondisi pelemahan rupiah atas dolar AS, Wamenkeu Suahasil Nazara menyebut adalah kalangan eksportir. Hal ini bisa terjadi karena kegiatan ekspor dibayar menggunakan mata uang asing, dalam hal ini dolar AS.
Adapun pelemahan rupiah, akan membuat eksportir menerima nominal uang yang lebih banyak dan besar, jika diputuskan untuk ditukar saat ini.
“Karena (eksportir) kan menjual barang ekspor dalam mata uang asing dalam dolar AS, dan jika dikalikan dengan kurs yang lebih lemah seperti rupiah (saat ini), maka (ekportir) akan terima rupiah lebih banyak,” terang Suahasil.
Kondisinya akan semakin bagus, apabila barang yang diekspor merupakan rakitan atau diproduksi secara lokal. Apalagi jika ditunjang dengan inputan bahan bahan baku yang berasal dari domestik juga, yang notabene dibeli lebih murah dengan rupiah.
“Ini akan jadi penerimaan yang baik bagi para eksportir kita,” paparnya.