05 April 2025
16:21 WIB
Hati-Hati, Tarif Resiprokal AS Ancam Lapangan Kerja RI
Potensi penurunan ekspor sebagai imbas dari tarif resiprokal AS berpeluang ciptakan badai PHK di dalam negeri.
Penulis: Yoseph Krishna
Editor: Fin Harini
Ketua Umum Gabungan Produsen Makanan dan Minuman (GAPMMI) Adhi Lukman di Senayan, Jakarta, Senin (19/8). ValidNewsID/ Aurora KM Simanjuntak
JAKARTA - Presiden AS Donald Trump meluncurkan gebrakan baru berbentuk tarif resiprokal atau tarif impor untuk sejumlah negara yang kerap mengirim produk mereka ke Negeri Paman Sam.
Indonesia pun tak luput dari kebijakan itu. Tak tanggung-tanggung, Donald Trump mematok tarif sebesar 32% untuk produk-produk yang dikirim dari Nusantara.
Ketua Umum Gabungan Produsen Makanan Minuman Indonesia (GAPMMI) Adhi Lukman menyayangkan kebijakan tersebut mengingat Indonesia dan Amerika Serikat punya hubungan perdagangan yang sangat baik dan saling menguntungkan.
Dengan adanya tarif resiprokal itu, Adhi menilai ada dampak nyata yang bakal dirasakan oleh Indonesia. Salah satunya, ialah ancaman badai pemutusan hubungan kerja (PHK), utamanya pada sektor industri yang kerap menjadikan Amerika Serikat sebagai pasar andalan mereka.
"Penurunan ekspor dapat mengancam lapangan kerja di sektor makanan dan minuman di Indonesia, di saat situasi ekonomi yang sedang lesu," jelas dia, Sabtu (5/4).
Sebagaimana diketahui, Amerika Serikat jadi pasar ekspor prioritas untuk beberapa produk unggulan, termasuk sektor makanan dan minuman asal Indonesia seperti kopi, kelapa, kakao, minyak sawit, lemak nabati, hingga produk perikanan dan turunannya.
Baca Juga: Hadapi Tarif Impor 32%, INDEF Beri 7 Langkah Cepat yang Harus Diambil Indonesia
Di lain sisi, industri makanan dan minuman Indonesia mengimpor berbagai bahan baku dari Amerika Serikat, seperti gandum, kedelai, hingga susu. Kondisi tersebut menggambarkan pada dasarnya hubungan perdagangan RI dan AS sejauh ini sama-sama menguntungkan.
Tarif resiprokal yang diteken Donald Trump pun berpotensi untuk mendongkrak biaya produksi industri nasional yang notabene juga menggunakan bahan baku dari Amerika Serikat.
Naiknya biaya produksi industri makanan dan minuman kemudian berdampak pada pengurangan daya saing produk Indonesia di pasar internasional, hingga meningkatnya harga jual produk di dalam negeri.
Praktis, ada potensi penurunan ekspor pada produk-produk makanan dan minuman dari Indonesia mengingat tingginya tarif untuk mengirim produk ke Amerika Serikat.
"Tarif yang tinggi dapat menyebabkan penurunan volume ekspor produk makanan dan minuman Indonesia ke Amerika Serikat serta negara tujuan ekspor lainnya, yang berdampak negatif pada kinerja dan pertumbuhan industri nasional," kata Adhi.
Langkah Strategis
Dari kondisi itu, GAPMMI mendesak pemerintah untuk mengambil sejumlah langkah strategis, salah satunya ialah negosiasi diplomatik dengan Pemerintah Amerika Serikat terkait tarif resiprokal tersebut.
"Negosiasi dengan pemerintah Amerika untuk mencari solusi yang lebih baik dan mengurangi dampak negatif tarif. (Harus) Ditekankan bahwa Indonesia dan Amerika saling membutuhkan dan melengkapi," tegasnya.
Kemudian, diperlukan juga analisa mendalam dan menyeluruh soal dampak penerapan tarif resiprokal, diikuti meluncurkan kebijakan yang mendukung industri makanan dan minuman untuk mengatasi kenaikan biaya produksi.
Selanjutnya, GAPMMI juga meminta pemerintah agar memperkuat industri nasional dengan mendorong hilirisasi sektor agribisnis dan mencari substitusi impor dengan bahan baku nasional pada jenis komoditas yang potensial.
Baca Juga: Awas, Dampak Tak Langsung Tarif Resiprokal Ancam RI
"Selain itu, mendorong diversifikasi pasar ekspor untuk mengurangi ketergantungan pada pasar Amerika Serikat," tambah Adhi.
Berikutnya, adalah mempertahankan kebijakan tingkat komponen dalam negeri (TKDN) yang juga dilakukan dalam rangka menyikapi kebijakan tarif resiprokal oleh Amerika Serikat.
Menurut Adhi, TKDN terbukti meningkatkan permintaan produk dalam negeri, memberi jaminan kepastian investasi, serta menarik investasi baru ke Indonesia.
"Banyak tenaga kerja Indonesia bekerja pada industri yang produknya dibeli setiap tahun oleh pemerintah karena kebijakan ini. Pelonggaran kebijakan ini akan berakibat hilangnya lapangan kerja dan berkurangnya jaminan investasi di Indonesia," pungkas Adhi Lukman.