05 April 2025
09:53 WIB
Hadapi Tarif Impor 32%, INDEF Beri 7 Langkah Cepat yang Harus Diambil Indonesia
Langkah cepat antisipasi dampak tarif impor 32% perlu diambil, mengingat ketidakpastian global diperkirakan akan sama besarnya dengan saat pandemi covid-19.
Penulis: Erlinda Puspita
Editor: Fin Harini
Arsip - Presiden Amerika Serikat Donald Trump. /ANTARA/Anadolu/py
JAKARTA - Ekonom senior INDEF, Tauhid Ahmad menyatakan, dampak dari penerapan tarif resiprokal 32% oleh Amerika Serikat (AS) kepada Indonesia, dan besaran tarif lainnya kepada negara lain, memicu ketidakpastian secara global. Bahkan ketidakpastian tersebut setara dengan kondisi saat pandemi covid-19 dan jauh lebih besar dari dampak konflik Rusia-Ukraina.
Ia menyampaikan, IMF sudah memperingatkan perlambatan pertumbuhan ekonomi global akan terjadi cukup dalam, yakni diperkirakan 2025 akan mengalami penurunan 0,3% hingga 0,4%. Tauhid juga menambahkan, perkiraan dari OECD yang hampir serupa dengan perkiraan IMF, yaitu pertumbuhan ekonomi dunia di tahun 2025 semula 3,3%, kemungkinan akan turun menjadi 3,1%. Jika ini terjadi, tentu saja akan berdampak bagi Indonesia di sisi perdagangan, investasi, aliran modal, bahkan hingga kunjungan wisatawan akan sangat berkurang.
Sementara untuk kembali ke kondisi normal, ia menegaskan hal tersebut butuh waktu yang lama. Dari data IMF, gejolak yang ditimbulkan dari ketidakpastian kebijakan hingga 2030 belum kembali normal.
"2026 akan paling parah, 2027-2028 akan mulai membaik. Tapi 2030 tidak akan kembali normal. Termasuk dampaknya, bukan hanya GDP tapi juga inflasi akan meningkat di AS, Euro, China akan sedikit menurun. Tapi secara umum akan berpengaruh ke kita," jelas Tauhid dalam diskusi daring INDEF 'Waspada Genderang Perang Dagang', Jumat (4/4).
Baca Juga: Awas, Dampak Tak Langsung Tarif Resiprokal Ancam RI
Oleh karena itu, Tauhid mengusulkan ada tujuh langkah mitigasi yang bisa dilakukan pemerintah dalam merespon kebijakan tarif resiprokal sebesar 32% bagi Indonesia. Pertama, pemerintah harus segera meninjau ulang atau reviu kebijakan Trump di sektor perdagangan dengan Indonesia yang tertuang dalam dokumen "2025 National Trade Estimate Report on Foreign Trade Barriers".
Dalam dokumen tersebut, ada sepuluh isu yang harus direspon pemerintah Indonesia antara lain perjanjian dagang Indonesia dengan AS yang selama ini belum ada perjanjian secara langsung atau free trade agreement (FTA).
"Kita tidak ada FTA langsung ya, bagaimana kemudian itu bisa direviu kita tidak ada FTA tapi tahu-tahu dikenakan seolah-olah tarifnya ekuivalen," tutur Tauhid.
Isu kedua adalah kebijakan impor dan ketiga berupa hambatan teknis perdagangan atau hambatan sanitari dan fitosanitari. Keempat adalah pengadaan jasa pemerintah (government procurement), kelima adalah perlindungan properti intelektual, keenam pelayanan hambatan, ketujuh perdagangan elektronik atau hambatan perdagangan digital, kedelapan isu hambatan investasi, kesembilan isu subsidi, dan kesepuluh hambatan lainnya.
Negosiasi Hingga Antisipasi Dampak Makro
Langkah kedua yang perlu dilakukan pemerintah Indonesia adalah pengajuan pernyataan ketidakadilan tarif. Pasalnya secara agregat, tarif impor yang dikenakan Indonesia kepada AS hanya sekitar 8% hingga 9%. Langkah ketiga adalah penundaan dan negosiasi tarif.
Langkah selanjutnya keempat yaitu dukungan darurat untuk industri terdampak. Hal ini menurut Tauhid, dapat dilakukan melalui negosiasi antar business to business, ada juga antisipasi dampak dari PHK, dan pemerintah siap memfasilitasi restrukturisasi pembiayaan atau utang. Kelima adalah langkah penguatan kelembagaan sebagai reaksi cepat lintas kementerian/lembaga (K/L).
"Kita butuh koordinasi yang kuat dari para Menteri Koordinator (Menko) Perekonomian dan Pangan, karena banyak produk industri dan pertanian yang kena. Termasuk beberapa hal yang terkait dunia usaha," imbuhnya.
Baca Juga: Hadapi Tarif Resiprokal AS, RI-Malaysia Sepakat Perkuat Ekonomi Regional ASEAN
Ia membandingkan reaksi cepat yang dilakujan oleh negara lain pasca adanya tarif resiprokal tersebut, misalnya Jepang dan Uni Eropa yang direspon cepat oleh presiden mereka. Sehingga ia mengimbau agar Menko Pangan dan Menko Perekonomiam bisa berkoordinasi secara cepat kepada Presiden Prabowo.
Langkah keenam adalah, pemerintah perlu melakukan perubahan strategi perdagangan internasional. Bergabungnya Indonesia ke dalam BRICS, menurutnya sudah sesuai untuk memperkuat tujuan ekspor dan nilai tukar rupiah. Namun Tauhid menilai hal tersebut belum cukup.
"Kita sudah kehilangan mandat dan kepercayaan terhadap WTO sebagai organisasi yang dipercaya untuk free trade. Ini harus direkonstruksi ulang... Sekarang masing-masing negara langsung bernegosiasi dengan Amerika tanpa ada koordinasi 60 negara ini terdampak kebijakan Amerika. WTO tidak lagi memiliki taring dalam menghadapi situasi ini," sambungnya.
Sementara itu, ia menyebut bahwa posisi Indonesia dengan AS tidak sebanding. Ini mengingat ekspor Indonesia ke AS mencapai 10% dari kontribusi total ekspor, sebaliknya impor AS dari Indonesia hanya 0,9% dari total impor mereka. Artinya, Indonesia jauh lebih membutuhkan AS, misalnya pada industri mesin dan peralatan mekanik, industri medis dan perangkat kesehatan, industri pesawat terbang dan suku cadangnya, industri farmasi, industri plastik, industri produk pertanian, dan industri kimia.
Dan langkah ketujuh atau yang terakhir adalah antisipasi dampak makro ekonomi, antara lain pelemahan nilai tukar rupiah, dan pelemahan ekonomi imbas perdagangan internasional.