26 Februari 2025
12:26 WIB
Hashim Sebut Indonesia Punya Potensi Besar Dalam Bisnis CCS
Teknologi CCS disebut dapat diandalkan di tengah kemungkinan masih digunakannya batu bara sebagai energi konvesional, di samping upaya transisi energi.
Penulis: Siti Nur Arifa
Editor: Khairul Kahfi
Utusan Presiden Hashim Djojohadikusumo memberikan sambutan saat acara peringatan Hari Disabilitas Internasional di Jakarta, Selasa (7/1). Antara/HO-Tim Media Presiden Prabowo Subianto.
JAKARTA - Utusan Khusus Presiden untuk Iklim dan Energi Hashim Djojohadikusumo menyatakan, Indonesia memiliki potensi besar dalam bisnis Carbon Capture and Storage (CCS). Klaim ini disampaikan Hashim, setelah lebih dulu menyatakan potensi yang juga dimiliki Indonesia dalam hal transisi energi.
"Saya diberitahu oleh para ahli bahwa di Pulau Jawa dan Pulau Bali saja, potensi tenaga bayu (angin) itu 55 gigawatt. Di Pulau Jawa dan Bali saja, belum termasuk yang lain-lain, 15 gigawatt onshore di darat, 40 gigawatt offshore," ujar Hashim dalam CNBC Indonesia Economic Outlook 2025, Jakarta, Rabu (26/2).
Baca Juga: RI Rencana Bangun Pembangkit 100 Gigawatt Energi Terbarukan
Di saat bersamaan, Hashim mengakui bahwa dirinya juga tidak memandang sebelah mata industri batu bara yang dinilai masih akan hidup dalam jangka waktu lama.
"Tidak semua berbau batu bara itu jelek. Saya beda pendapat. Karena ada teknologi baru, ada namanya CCS. CCS itu apa? Carbon Capture and Storage," tuturnya.
Lebih lanjut, Hashim mengungkapkan, Indonesia memiliki potensi CCS yang besar, lantaran karakteristik geologi Indonesia yang memiliki rongga atau cavities cukup besar untuk menampung karbon hasil tangkapan CCS. Dirinya juga bahkan mengungkap adanya proyek CCS yang sedang digarap oleh Exxon Mobil.
"Proyek raksasa (CCS) yang dilanjutkan akan dibangun oleh Exxon Mobil, itu 3 gigawatt (sekitar) 100 kilometer dari pantai Banten, pantai utara Banten," beber Hashim.
Klaim mengenai potensi Indonesia dalam bisnis CCS secara kebetulan juga bersamaan dengan langkah perusahaan energi dunia yang dikabarkan mundur dari agenda transisi energi atau target energi terbarukan secara agresif, salah satunya BP.
Terbaru, Direktur Utama BP Murray Auchincloss disinyalir akan menghapus target untuk meningkatkan kapasitas produksi energi terbarukan sebanyak 20 kali lipat pada tahun 2030.
Mendukung kabar tersebut, Hashim mengungkap bahwa BP dan Exxon sedang bernegosiasi dengan Jepang dan beberapa negara lain seperti Korea Selatan serta Singapura untuk bekerja sama dalam teknologi CCS, dan dilihatnya sebagai peluang.
"Kita punya potensi 500-700 gigawatt untuk menampung karbondioksida yang diproduksi oleh negara-negara lain," ujar Hashim.
Sebelumnya, ExxonMobil Indonesia resmi menandatangani MoU terkait perencanaan pembangunan CCS di Cekungan Sunda Asri serta pabrik petrochemical.
Perusahaan minyak dan gas bumi (migas) asal Negeri Paman Sam itu berencana menyuntik US$10 miliar pada tahap awal untuk kedua proyek tersebut. Tapi secara keseluruhan, investasi yang diperlukan untuk CCS dan pabrik petrokimia itu mencapai sekitar US$15 miliar.
Kontroversi CCS
Di lain sisi, praktek teknologi CCS sendiri sejatinya masih menimbulkan pro dan kontra. Berdasarkan data The Global CCS Institute, teknologi CCS sudah beroperasi selama lebih dari 45 tahun terakhir.
Dari 194 fasilitas CCS berskala besar sampai akhir 2022, terdapat 94 proyek yang beroperasi di kawasan Amerika, 73 di Eropa, 21 di Asia-Pasifik, dan sisanya di Timur Tengah.
Baca Juga: ExxonMobil Siap Gelontorkan US$15 Miliar Buat Pengembangan CCS Di RI
Berdasarkan Studi Friend of the Earth International dan Global Witness di 2021, kinerja CCS yang sudah ada di Amerika Serikat, Arab Saudi, China, dan berbagai negara besar rupanya masih lemah ketika baru dibangun.
Lebih jauh, performa CCS saat baru beroperasi disebut hanya sampai 65%. Butuh beberapa tahun hingga performa penyimpanan karbon di bawah tanah tersebut bisa menyentuh 90%.
Sementara itu, Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (CELIOS) Bhima Yudhistira Adhinegara berpendapat, jika CCS sebagai teknologi yang diklaim sebagai transisi justru memiliki risiko tinggi.
"Untuk Carbon Capture Storage (CCS), Indonesia cuma jadi sampah karbonnya negara maju dong? Disimpan di Indonesia. Indonesia dapat manfaat apa?" ujar Bhima kepada Validnews, Selasa (18/2).
Dari aspek risiko geologis secara menyeluruh, tekanan tinggi karbon CCS yang disimpan dapat menyebabkan keretakan kecil. Sehingga dikhawatirkan dapat memicu pencemaran lingkungan, terutama terhadap air tanah.
Karena itu, Bhima menilai proyek transisi energi atau pemanfaatan energi di Indonesia harus ditelisik secara hati-hati.
"Jadi artinya kita harus melihat juga secara spesifik, project by project, harus lebih hati-hati, harus ada keuntungan buat Indonesia," pungkasnya.