c

Selamat

Rabu, 5 November 2025

EKONOMI

17 September 2025

15:39 WIB

Hanya Andalkan Beras Dan Ancaman Ketahanan Pangan Indonesia

Diskusi CELIOS menggarisbawahi kelemahan ketahanan pangan Indonesia yang saat ini hanya bergantung pada beras sebagai bahan pangan utama, di tengah beragamnya sumber pangan.

Penulis: Erlinda Puspita

<p id="isPasted">Hanya Andalkan Beras Dan Ancaman Ketahanan Pangan Indonesia</p>
<p id="isPasted">Hanya Andalkan Beras Dan Ancaman Ketahanan Pangan Indonesia</p>

Koordinator KRKP Ayip Said Abdullah (tengah) dan Direktur Eksekutif CELIOS Bhima Yudhistira Adhinegara (kiri) dalam diskusi media jelang COP30, di Kantor CELIOS pada Selasa (16/9) kemarin. ValidNewsID/Erlinda PW

JAKARTA - Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (CELIOS) Bhima Yudhistira Adhinegara menilai, perspektif ketahanan pangan Indonesia selama ini terlalu sempit, yakni hanya berkutat di seputar beras.

Hal ini membuat pemerintah menjadikan beras sebagai indikator ketahanan pangan dengan klaim surplus stok. Padahal di saat yang sama, ia mengungkapkan harga beras tetap tinggi di pasaran.

Bhima menyebut, komoditas beras saat ini konsisten di harga tinggi meski terjadi surplus pasokan, yakni rerata di kisaran Rp15.000/kg dari yang sebelumnya Rp12.500/kg. Hal ini ia sampaikan dalam diskusi media jelang COP30, di Kantor CELIOS pada Selasa (16/9) kemarin.

“Harga beras makin naik, berbanding terbalik dengan klaim surplus. Bahkan kebijakan food estate pun tidak menjawab masalah. Ambil contoh di Merauke, Papua, harga beras tetap naik,” tegas Bhima, dikutip Rabu (17/9).

Baca Juga: Kegagalan Sistemik Di Balik Dominasi Beras

Sementara itu, menurutnya, angka impor bahan pangan, produk peternakan, dan pupuk terus meningkat sejak 2012 hingga 2024. Misalnya impor produk pangan, hewan ternak, produk susu, telur, dan turunannya, hingga impor pupuk kimia. Bhima pun mempertanyakan kebijakan impor pupuk yang terus meningkat, namun tidak diiringi peningkatan produksi pangan terutama selain beras.

Dalam kesempatan yang sama, Koordinator Koalisi Rakyat untuk Kedaulatan Pangan (KRKP) Ayip Said Abdullah juga menyampaikan, Indonesia menurut Global Hunger Index (GHI) 2022 menduduki peringkat ketiga sebagai negara dengan kelaparan tertinggi di Asia Tenggara, yakni dengan skor 17,9. Posisi ini naik di tahun 2023 menjadi urutan kedua dengan skor 17,6. Asal tahu saja, indikator kelaparan ini mencakup ketidakcukupan pangan, prevalensi stunting, dan kemiskinan.

“Di pedesaan, terutama di wilayah Timur Indonesia, kelaparan lebih tinggi dibandingkan perkotaan,” ungkap Ayip.

Permasalahan pangan lainnya, menurut Ayip, adalah petani padi yang saat ini dominan berada di Utara Pulau Jawa, kini tengah menghadapi agroekosistem yang rusak, lahan sawah yang menciut, dan tata kelola yang buruk.

Pengembangan Pangan Lokal
Kemudian menurut Kepala Departemen Kampanye dan Manajemen Pengetahuan Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), Benny Wijaya, dalam lima tahun terakhir (2019-2024) telah terjadi penurunan luas baku sawah hingga 79 ribu hektare (ha). Konversi lahan serta konflik agraria terus meningkat akibat pembangunan infrastruktur, perumahan, hingga ekspansi perkebunan sawit dan pertambangan.

“Kondisi ini makin memperburuk nasib petani. Menurut BPS, sebanyak 62% petani Indonesia berstatus gurem dengan lahan di bawah setengah hektare. Angka ini naik dalam satu dekade terakhir, dari 14,62 juta rumah tangga tani gurem pada 2013 menjadi 17,24 juta pada 2023,” ujar Benny.

Benny pun menilai, ketergantungan Indonesia yang berlebihan pada beras terbukti menciptakan kerentanan. Oleh karena itu, sudah seharusnya pangan lokal, laut, dan hutan menjadi tumpuan baru.

“Pemerintah perlu mendorong kedaulatan pangan berbasis potensi pangan lokal, bukan sekadar mengejar surplus beras di atas kertas. Kedaulatan pangan hanya bisa terwujud jika tanah kembali ke tangan petani, pangan lokal diberi tempat, dan kebijakan tidak lagi terpusat pada beras,” ucap dia.

Baca Juga: Harga Beras Masih Tinggi, Pengamat Usulkan Tiga Langkah Tekan Harga

Benny menyinggung banyaknya potensi pangan alternatif yang dimiliki Indonesia, seperti di Kalimantan, Sulawesi, dan Papua yang seharusnya bisa mensubstitusi beras. Namun ia menilai, kebijakan pangan terpusat justru membuat beras tetap menjadi penyumbang inflasi terbesar.

“Sebanyak 23.472 desa punya potensi tinggi untuk menjadi basis produksi pangan restorative yaitu pangan yang memberi nilai tambah bagi masyarakat tanpa merusak alam. Beberapa jenis pangan justru membutuhkan tanaman besar sebagai kanopi, sehingga hutan tidak perlu dibuka,” tambah Benny.

Ia mengatakan, Indonesia memiliki 14,88% desa yang berbatasan dengan laut dan 24,11% desa berbatasan dengan kawasan hutan. Kondisi tersebut seharusnya bisa dimanfaatkan secara berkelanjutan untuk produksi ikan, tanaman pangan lainnya, maupun obat-obatan.

“Jangan hanya karena desentralisasi kebijakan pangan di pusat, akhirnya salah arah dan berujung inflasi, kemiskinan, hingga ancaman ketahanan pangan,” tutup Benny.


KOMENTAR

Silahkan login untuk memberikan komentarLoginatauDaftar