23 Januari 2024
20:00 WIB
Penulis: Erlinda Puspita
JAKARTA - Guru Besar IPB dan Ketua Umum Asosiasi Bank Benih dan Teknologi Tani Indonesia (AB2TI) Dwi Andreas Santosa mengungkapkan jika seluruh program food estate yang pernah ada di Indonesia, tidak ada satu pun yang berhasil.
Bahkan program yang dimulai sejak era kepemimpinan Soeharto pun tak luput dari kegagalan. Tercatat pada 1990-an, Presiden Soeharto mengawali program lumbung pangan dengan menggagas program yang disebut Mega Rice Project. Proyek tersebut mengubah lahan rawa gambut dengan luas mencapai sejuta hektare.
"Jadi kegagalan itu (food estate) bukan baru terjadi 1 sampai 2 tahun ini. Tapi sudah 25 tahun kegagalan. Sejak tahun 1996 tidak ada satu pun yang berhasil sampai saat ini. Jadi gagal semua," jelas Andreas saat dihubungi Validnews, Selasa (23/1).
Andreas mengaku jika dirinya pada tahun 1996 tergabung dalam tim analisis risiko lingkungan untuk program Mega Rice Project zaman Soeharto. Kemudian kembali terlibat pada tahun 2020 hingga 2021 dengan tugas membantu BUMN pangan yaitu Bulog dan ID FOOD untuk menguji coba food estate di kawasan Kalimantan Tengah.
"Saya bantu teman-teman BUMN pangan menguji coba food estate, dan ternyata gagal. Sehingga BUMN pangan kan menarik diri dari program itu," ujar Andreas.
Menurut Andreas, tak ada satu pun argumen yang bisa menyatakan jika food estate berhasil. Dia menilai, jika proyek lumbung pangan ingin berhasil, maka wajib hukumnya memenuhi empat pilar kaidah ilmiah, yaitu kelayakan tanah dan agroklimat, kelayakan infrastruktur, aspek budidaya dan teknologi (bibit unggul dan teknologi pertanian), dan sosial dan ekonomi. Sedangkan selama ini, kata dia, tak ada satu pun proyek food estate yang bisa memenuhi empat kaidah tersebut.
"Selama ini food estate yang gagal kan tidak pernah memperhatikan empat pilar tersebut. Itu sudah sejak zaman Pak Harto untuk gambut 1 juta hektare. Lalu kemudian ada Merauke Integrated Food and Energy Estate (MIFEE) era SBY yang 1,23 juta hektare yang lahannya dibagi-bagi ke investor. Ada juga di Ketapang, ada di Bulungan, ada Rice Estate di Merauke yang diinisiasi awal pemerintahan Jokowi 1,2 juta hektare, lalu 2020 dengan berbagai program food estate. Itu kan tidak ada satu pun yang berhasil," ungkapnya.
Baca Juga: Cak Imin dan Mahfud Kompak Sebut Food Estate Program Gagal
Adapun secara rinci, Andreas menyampaikan terkait lahan food estate yang pernah dibangun di Indonesia antara lain proyek Lahan Gambut 1 Juta Hektare (1,4 jt ha) tahun 1996, Merauke Integrated Food and Energy Estate (MIFEE) (1,23 juta ha) tahun 2008, Food Estate Bulungan (300 ribu ha) tahun 2013, Food Estate Ketapang (100 ribu ha) tahun 2013, Rice Estate (1,2 juta ha) tahun 2015.
Lebih lanjut, dia menegaskan yang dimaksud dengan food estate berbeda dengan lahan intensifikasi. Food estate, kata dia, merupakan suatu lahan dalam skala luas yang dikuasai oleh seseorang atau satu keluarga (famili) atau perusahaan atau organisasi. Sedangkan, intensifikasi merupakan upaya peningkatan hasil pertanian atau agraris dengan mengolah lahan yang ada.
Dari perbedaan kedua pengertian tersebut, Andreas pun mengungkapkan jika saat ini ada pihak yang menyebut kawasan Pulang Pisau termasuk salah satu wilayah food estate, maka hal tersebut salah kaprah.
Menurutnya, Pulang Pisau termasuk kawasan intensifikasi lahan pertanian yang sekaligus lahan transmigrasi pada 1980. Pada lahan tersebut, sudah terdapat petani, kondisi lahan yang sudah siap, baik, tersusun dari tanah aluvial, dan sistem irigasi yang sudah tertata.
"Itu karena lahannya hampir mirip di Pulau Jawa, makanya wajar saja kalau produksi di atas 4 ton hektare per bulan. Jadi beda sekali," tegasnya.
Adapun lahan intensifikasi, dalam praktiknya harus dibantu oleh pemerintah, mulai dari petani yang tersebar di seluruh kawasan, ketersediaan benih dan pupuk yang mencukupi sehingga mendorong peningkatan produksi.
Butuh Proses
Sementara itu, Menteri Pertanian (Mentan) Amran Sulaiman menyampaikan jika pernyataan food estate tidaklah gagal, melainkan masih dalam proses pengerjaan, bukan proyek instan, dan masih berjalan dengan baik sesuai target.
“Food estate ini bukan proyek instan, butuh proses. Kenyataannya kita memiliki 10 juta hektar yang sebelumnya tidak dimanfaatkan untuk lahan pertanian. Kami sekarang menggarap itu, butuh proses, butuh teknologi agar menjadi lahan produktif,” jelas Amran dalam keterangan resminya.
Baca Juga: Pemerintah Diminta Evaluasi Kebijakan Food Estate
Amran mengungkapkan, saat ini untuk food estate di Humbang Hasundutan (418,29 hektar) dan di Temanggung dan Wonosobo (907 hektar) telah berhasil panen komoditas hortikultura.
Kemudian di Kalimantan Tengah diklaim berhasil melakukan intensifikasi dan ekstensifikasi lahan hingga mampu panen padi dengan produktivitas 5 ton per hektar, di Sumba Tengah, Nusa Tenggara Timur (NTT), dan Kabupaten Keerom Papua dinilai mampu panen jagung seluas 500 hektar.
“Food estate (FE) tersebut sudah berhasil panen. FE Gunung Mas juga sudah panen jagung seluas 10 hektar dan singkong seluas 3 hektar. Kita pantau terus lahan tersebut,” jelasnya.