c

Selamat

Kamis, 6 November 2025

EKONOMI

17 Desember 2022

16:38 WIB

Pemerintah Diminta Evaluasi Kebijakan Food Estate

Kebijakan food estate pemerintah dinilai tidak selaras dengan kebutuhan warga setempat. Dalam jangka panjang, kebijakan tersebut juga menjadikan lahan tidak subur dan gangguan keseimbangan ekosistem

Pemerintah Diminta Evaluasi Kebijakan <i>Food Estate</i>
Pemerintah Diminta Evaluasi Kebijakan <i>Food Estate</i>
Presiden Joko Widodo meninjau lahan yang akan dijadikan "Food Estate" atau lumbung pangan baru di Kapuas, Kalimantan Tengah, Kamis (9/7/2020). Antara Foto/Hafidz Mubarak A

JAKARTA – Untuk menghadapi ancaman krisis pangan, pemerintahan Joko Widodo gencar menerapkan kebijakan food estate di sejumlah daerah. Namun, program tersebut dinilai justru berpotensi jadi bumerang bagi Indonesia di masa depan.

Demikian disampaikan Ahli politik lingkungan internasional dari Universitas Paramadina Ica Wulansari dalam acara Evaluasi 2022 and Proyeksi 2023 yang disampaikan Sabtu (17/12). Ica menjelaskan, kebijakan food estate yang dilakukan pemerintah tidak selaras dengan kebutuhan warga setempat. Di sisi lain, dalam jangka panjang, kebijakan tersebut akan menjadikan lahan tidak subur dan gangguan keseimbangan ekosistem. 

"Karena itu, kebijakan food estate di tahun 2023 perlu mendapat peninjauan kembali untuk memitigasi kemungkinan efek negatif ini," kata Sekretaris Program Sarjana Hubungan Internasional Universitas Paramadina ini.

Menurutnya, berlarutnya konflik Rusia-Ukraina telah menyebabkan krisis di sektor pangan semakin buruk. Keterlibatan Rusia yang merupakan produsen bahan aktif pupuk telah menjadikan harga pupuk global tidak terkendali dan naik mencapai 80%. 

Sementara kebijakan subsidi pupuk di Indonesia, lanjutnya, masih minim evaluasi dan butuh perbaikan mendasar. Kompleksitas semakin bertambah, kata Ica, dengan tidak jelasnya definisi terkait ketahanan pangan, kedaulatan pangan, keamanan pangan dan kemandirian pangan.

"Mau tidak mau, kapasitas adaptasi menghadapi perubahan iklim dalam kebijakan pangan nasional harus ditingkatkan," tutur Ica.

Sekadar informasi, program food estate pertama diluncurkan ketika krisis pangan bergaung kencang pada awal pendemi covid-19 pada 2020. Selain di Kabupaten Humbang Hasundutan, Sumatera Utara, serta Kabupaten Pulang Pisau dan Kabupaten Kapuas di Kalimantan Tengah, lumbung pangan juga diperluas ke Nusa Tenggara Timur, tepatnya di Kecamatan Kakuluk Mesak, Kabupaten Belu.

Sementara itu di Pulau Jawa, food estate dipusatkan di Kabupaten Garut, Jawa Barat, dan Kabupaten Bantul, DI Yogyakarta, serta Temanggung dan Wonosobo di Jawa Tengah. Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat bertanggung jawab menyiapkan lahan dan infrastruktur. Setelah siap, tanggung jawab penanaman dan pendampingan berada di Kementerian Pertanian

Sebelumnya, Guru Besar Fakultas Pertanian Universitas Padjajaran Bandung Tualar Simarmata juga menuturkan, langkah pemerintah mengembangkan food estate di luar Pulau Jawa, sebaiknya meniru proses pembukaan lahan untuk tanaman kelapa sawit yang disiapkan setidaknya lima tahun, agar bisa berproduksi dengan baik.

"Pada satu sampai dua tahun pertama itu waktu untuk memasang dan membangun infrastruktur," kata Tualar Simarmata beberapa waktu lalu. 

Menurut Tualar, konsep food estate yang mengedepankan kesinambungan proses dari hulu hingga ke hilir sudah tepat. Akan tetapi, penemu Inovasi Intensifikasi Padi Aerob Terkendali Berbasis Organik (IPATBO) ini menilai masih banyak hal yang perlu dibenahi dalam program food estate. 

Tualar menjelaskan, lahan yang digunakan sebagai areal food estate di Kalimantan, sebelumnya tidak ditanami komoditas padi atau jagung. Karena itu diperlukan treatment yang tepat agar bisa ditanami padi atau jagung dan memerlukan proses yang lebih panjang dalam membuka lahan. 

"Food Estate jangan hanya kasih angin surga. Terlalu naif kalau mengatakan satu atau dua tahun sudah bisa produksi. Pemerintah harus mau membuka diri untuk melakukan evaluasi. Secara konsep mestinya ini sudah betul. Tapi eksekusinya bermasalah," kata Tualar.

Dia mengusulkan sebaiknya pemerintah menunjuk satu institusi atau lembaga khusus untuk bertanggung jawab mengembangkan food estate. 

"Bereskan dulu buka lahannya, infrastrukturnya, baru setelah semuanya siap, minimal lima tahun berikan kepada petani. Jangan langsung dilepas seperti sekarang. Jadinya banyak yang mangkrak," kata dia.



Petani menyiangi rumput di sela-sela tanaman bawang merah di kawasan pertanian "Food Estate" lereng gunung Sindoro Desa Bansari, Temanggung, Jawa Tengah, Kamis (18/11/2021). Food Estate merupakan konsep pengembangan pangan yang dilakukan secara terintegrasi mencakup pertanian, perkebunan, bahkan peternakan di suatu kawasan yang bertujuan mengembangkan pertanian nasional yaitu menyediakan pangan untuk seluruh rakyat, meningkatkan kesejahteraan petani dan meningkatkan ekspor. Antara Foto/Anis Efizudin 

 

Sawit dan Perikanan
Sementara itu, Tofan Mahdi, Ketua Bidang Komunikasi Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) menuturkan, pemerintah hendaknya memaksimalkan komoditas sawit dalam percepatan pemulihan ekonomi nasional akibat Pandemi Covid-19. Menurutnya, konflik Rusia-Ukraina memberi dampak signifikan terhadap pasar minyak nabati global. Akibat dari konflik tersebut, komoditas sawit dilirik sebagai salah satu produk minyak nabati global.


Ia menambahkan, setidaknya 70% dari produksi kelapa sawit terabsorpsi untuk pasar ekspor. Dan khusus untuk pasar kelapa sawit internasional, produksi sawit Indonesia dan Malaysia  mendominasi 85% pasar tersebut. Namun, keseriusan pemerintah dalam mendorong ekspor sawit masih butuh perbaikan.

"Pemerintah sudah punya kebijakan keberlanjutan kelapa sawit, tapi kenapa kebijakan tersebut kurang gigih digunakan untuk merespon standar Uni Eropa yang sering berubah. Pemerintah justru seringkali terlihat tidak berdaya menghadapi tuntutan sustainability standar," cetus Tofan.

Ia pun mengingatkan pemerintah untuk menyiapkan respon memadai, terkait kebijakan baru Uni Eropa perihal pelarangan produk atau komoditas terkait driver of deforestation. Kebijakan ini diprediksi akan berdampak pada ekspor kopi, sawit dan kakao. 

Untuk diketahui, Uni Eropa merupakan pasar tujuan ekspor sawit Indonesia terbesar ketiga, setelah China dan India.

Terkait tata kelola pekerja migran sektor perikanan, Dosen Hubungan Internasional Universitas Paramadina Benni Yusriza berharap, pemerintah secara serius mengakhiri dualisme pengaturan yang berada di bawah Kementerian Perhubungan dan Kementerian Tenaga Kerja. 

Menurutnya, PP No. 22 Tahun 2022 tentang Penempatan dan Perlindungan Awak Kapal Niaga Migran dan Awak Kapal Perikanan Migran justru tidak secara efektif mengakhiri problem dualisme pengaturan awak kapal. Padahal, kata dia, pekerja migran di sektor perikanan rentan menjadi korban penyelundupan dan perdagangan orang.

"Kebijakan diplomasi Indonesia terkait pekerja migran di sektor perikanan harus selesai di sektor hulu. Jadi, urusan dualisme pengaturan yang dilakukan Kemenhub dan Kemenaker harus diselesaikan dulu," tegas Benni.

Selain itu, agar pasar domestik tenaga kerja sektor perikanan membaik, dirinya mengusulkan pemerintah segera meratifikasi Konvensi ILO 188 Tahun 2007. "Ratifikasi Konvensi 188 akan mengatur standar kerja layak di kapal ikan yang akan membuat pasar nasional lebih kompetitif bagi para AKP," tandas Benni.

 


KOMENTAR

Silahkan login untuk memberikan komentarLoginatauDaftar