09 April 2025
16:46 WIB
GAPKI: Kebijakan Tarif AS Ancam Industri Sawit Indonesia
Kebijakan tarif resiprokal AS sebesar 32% dapat mengancam industri kelapa sawit di Indonesia. Kenaikan tarif ekspor ke AS membuat produk kelapa sawit Indonesia mengalami tekanan.
Editor: Khairul Kahfi
Pekerja memanen tandan buah segar kelapa sawit di kebun milik salah satu perusahaan kelapa sawit di Kecamatan Candi Laras Selatan, Kabupaten Tapin, Kalimantan Selatan, Kamis (11/11/2021). Antara Foto/Bayu Pratama S/tom.
PALEMBANG - Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) Sumatra Selatan menyebutkan, kebijakan tarif resiprokal AS sebesar 32% dapat mengancam industri kelapa sawit di Indonesia.
Ketua GAPKI Sumsel Alex Sugiarto mengatakan, kenaikan tarif ekspor ke AS membuat produk kelapa sawit Indonesia mengalami tekanan. Kondisi ini bisa menjadikan kelapa sawit Indonesia kurang kompetitif di pasar global.
"Kebijakan ekspor AS ini berpotensi menurunkan volume ekspor dalam jangka pendek dan berdampak langsung pada pendapatan petani. Secara luas lagi pada pendapatan daerah," katanya melansir Antara, Jakarta, Rabu (9/4).
Baca Juga: Ekonom Ramal Gebrakan Donald Trump Buat Ekspor RI Ke AS Anjlok
Dia menjelaskan, kenaikan tarif tersebut akan berdampak pada peningkatan biaya bagi pelaku ekspor komoditas kelapa sawit. Oleh sebab itu, GAPKI Sumsel berharap pemerintah dapat segera melakukan negosiasi perdagangan dengan AS guna meminimalisir risiko tarif yang tinggi.
"Negosiasi perdagangan dengan AS dapat dilakukan untuk meminimalkan dampak tarif bagi produk ekspor Indonesia ke AS," jelasnya.
Menurutnya, langkah dan kebijakan strategis pemerintah dalam menanggapi keputusan Donald Trump tersebut akan berdampak pada laju ekspor Crude Palm Oil (CPO) yang selama ini dilakukan Indonesia.
"GAPKI Sumsel berharap ada kebijakan insentif keuangan, seperti keringanan pajak ekspor, pungutan ekspor juga perlu dipertimbangkan oleh pemerintah, agar dapat membantu mengatasi peningkatan biaya dan pengurangan volume permintaan akibat dampak kenaikan tarif AS," jelasnya.
Meski selama ini, ekspor CPO ke AS bukanlah yang terbesar dibanding dengan pasar ke India, Tiongkok, atau Pakistan, namun hal itu harus menjadi momentum dalam memperkuat hilirisasi industri sawit.
"Ada potensi besar untuk inovasi dan hilirisasi sawit di Sumsel, karena posisinya yang strategis secara geografis dan ditambah pemerintah daerah sangat suportif dalam pengembangan industri kelapa sawit," ujarnya.
Baca Juga: Langkah Prabowo Hadapi Tarif Trump: Relaksasi Aturan TKDN Hingga Hapus Kuota Impor
Alex mengatakan, kebijakan minyak sawit dari Indonesia akan tetap menjadi pilihan yang baik bagi importir AS. Hal ini terjadi karena AS juga memberlakukan kebijakan pajak impor yang tinggi bagi minyak nabati lainnya.
"Dari kebijakan ini juga bisa melihat potensi lain, dimana kita menunggu kebijakan berikutnya dari Tiongkok. Ada potensi Tiongkok mengenakan tarif tinggi pada kedelai AS sehingga dapat mengakibatkan Tiongkok mengimpor lebih banyak produk minyak sawit, daripada kedelai AS," sebutnya.
Sebelumnya, Ketua Umum Gabungan Produsen Makanan Minuman Indonesia (GAPMMI) Adhi Lukman menyayangkan kebijakan tarif resiprokal AS, mengingat Indonesia dan Amerika Serikat punya hubungan perdagangan yang sangat baik dan saling menguntungkan.
Dengan adanya tarif resiprokal itu, Adhi menilai, ada dampak nyata yang bakal dirasakan oleh Indonesia. Salah satunya, ancaman badai Pemutusan Hubungan Kerja (PHK), utamanya pada sektor industri yang kerap menjadikan AS sebagai pasar andalan mereka.