25 November 2024
20:10 WIB
GAPENSI Tolak PPN 12%, Eksekusi Proyek Pemerintah Berpotensi Terlambat
GAPENSI menolak tarif PPN yang naik menjadi 12% di 2025. Ada banyak dampak negatif yang akan muncul pasca diterapkan, mulai dari terhambatnya eksekusi proyek hingga membebani UMKM sektor konstruksi.
Penulis: Erlinda Puspita
Editor: Khairul Kahfi
Pekerja menata batako press mesin di Desa Seuneubok, Johan Pahlawan, Aceh Barat, Aceh, Rabu (31/7/2024). Antara Foto/Syifa Yulinnas
JAKARTA - Gabungan Pelaksana Konstruksi Nasional Indonesia (GAPENSI) menolak rencana pemerintah untuk menaikkan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12% di 2025. GAPENSI beralasan, kebijakan ini berpotensi memicu berbagai dampak negatif jika tetap dipaksakan untuk diterapkan.
Sekretaris Jenderal GAPENSI La Ode Safiul Akbar menjelaskan, penolakan ini muncul karena kebijakan PPN 12% akan berdampak langsung pada harga material dan jasa konstruksi. Sehingga akan membebani kontraktor dan masyarakat pengguna infrastruktur.
“GAPENSI menolak dengan keras rencana ini. Mayoritas anggota GAPENSI adalah UMKM konstruksi yang bekerja pada margin tipis (keuntungan), sehingga kebijakan ini berpotensi melemahkan daya saing mereka,” papar dalam keterangan tertulis, Jakarta, Senin (25/11).
Ia pun memastikan, kenaikan tarif PPN dari 11% menjadi 12% dapat memperlambat eksekusi proyek yang sudah direncanakan, terutama proyek-proyek pemerintah.
Menurutnya, akan ada efek berganda negatif yang muncul nantinya apabila pemerintah tetap memaksakan penerapan regulasi yang mendapat banyak penolakan dari masyarakat ini.
Baca Juga: PPN Naik Jadi 12%, Celios Sebut Masyarakat Punya Tiga Skema Konsumsi
Efek yang dimaksud antara lain, kenaikan harga material dan jasa konstruksi karena PPN dapat membuat anggaran proyek meningkat signifikan.
Jika hal tersebut terjadi, La Ode berpendapat, pemerintah dan sektor swasta kemungkinan besar akan mengurangi jumlah proyek akibat keterbatasan dana. Pada gilirannya, kondisi ini akan memengaruhi pada penurunan lapangan kerja.
Selain itu, kenaikan PPN juga bisa membuat infrastruktur seperti properti residensial akan semakin mahal, sehingga mempersempit akses masyarakat terhadap kepemilikan hunian.
“Sektor konstruksi memiliki efek multiplier (pengganda) yang besar. Jika sektor ini melemah, rantai pasokan material, tenaga kerja, dan jasa lainnya juga terdampak,” sebutnya.
GAPENSI pun berharap, agar pemerintah dapat menunda kenaikan kebijakan PPN tersebut di 2025. Dia mengingatkan, sektor kontruksi merupakan motor perekonomian Indonesia pasca diterjang pagebluk beberapa tahun lalu.
“Sektor konstruksi adalah motor pemulihan ekonomi pascapandemi. Oleh karena itu, jika ada kenaikan PPN, maka akan membebani fiskal yang dapat menghambat pertumbuhan sektor ini,” imbuh La Ode.
Selain itu, ia menilai, kebijakan PPN 12% juga akan berdampak pada seluruh rantai ekonomi yang imbasnya menurunkan daya beli masyarakat, terutama kalangan bawah.
Sehingga menurutnya, daripada pemerintah menaikkan tarif pajak, pemerintah sebaiknya memaksimalkan potensi penerimaan pajak dengan memperluas basis pajak dan mengurangi kebocoran.
“Beban pajak tambahan berpotensi memperburuk ketimpangan, terutama bagi pelaku usaha kecil dan masyarakat berpenghasilan rendah,” ungkapnya.
Baca Juga: Ekonom: PPN 12% Berpotensi Picu Perlambatan Kredit Bank
La Ode pun menyatakan, saat ini pihaknya tengah berupaya mengajukan masukan kebijakan PPN langsung kepada Kemenkeu dan DPR.
Di sisi lain, GAPENSI mendorong kolaborasi antara pelaku usaha konstruksi, pemerintah, dan masyarakat untuk mencari solusi yang adil, sambil mengedepankan efisiensi proyek dan inovasi teknologi untuk mengurangi biaya operasional agar dampak kenaikan tarif tidak berdampak terlalu signifikan.
“Serta mengadvokasi kebijakan yang tidak hanya menjaga kepentingan anggotanya, tetapi juga melindungi daya beli masyarakat dan mempercepat pemulihan ekonomi nasional,” tandasnya.
Kebijakan PPN 12% Perlu Pertimbangan Ulang
Sementara itu, Anggota komisi XI DPR RI Anis Byarwati menyebut, rencana pemerintah untuk menaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) sebesar 12% pada awal tahun 2025 perlu dipertimbangkan ulang.
"Saat UU HPP dibentuk di 2021, asumsi yang digunakan saat itu adalah pada tahun 2025 diperkirakan ekonomi sudah pulih bahkan meningkat, tapi nyatanya dari seluruh indikasi indikasi yang ada kondisi ekonomi kita saat ini sedang kurang baik," terang Anis, Jakarta (21/11).
Dia mengingatkan, Indonesia belum lama ini juga telah mengalami deflasi selama lima bulan yang menjadi sinyal pelemahan daya beli masyarakat. Dimulai pada Mei 2024 dengan deflasi kecil sebesar 0,03%; diikuti 0,08% pada Juni; 0,18% pada Juli; 0,03% pada Agustus; dan 0,12% pada September.
Anis juga menekankan, data BPS menunjukkan pertumbuhan ekonomi nasional pada kuartal III/2024 melambat di angka 4,95% (yoy). Spesifik, konsumsi rumah tangga melambat dengan hanya tumbuh 4,91% (yoy), atau lebih rendah dari kuartal sebelumnya yang sebesar 4,93%.
"Maka konsumsi masyarakat sangat membutuhkan berbagai stimulus dari pemerintah, agar membaik," ungkapnya.
Baca Juga: PPN 12% Diterapkan, Pemerintah Diminta Buat Kebijakan Pro Daya Beli
Laporan BPS juga menunjukkan, proporsi kelas menengah pada 2024 tercatat sebesar 47,85 juta jiwa, atau melorot dibandingkan periode prapandemi covid-19 pada 2019 yang mencapai 57,33 juta jiwa. Setidaknya, sebanyak 9,48 juta masyarakat kelas menengah Indonesia turun kelas.
"Sebaliknya, kelompok aspiring middle class atau kelas menengah rentan menunjukkan peningkatan jumlah, yakni dari 128,85 juta jiwa pada 2019 menjadi 137,5 juta jiwa pada tahun 2024," katanya.
Di sisi lain, dia juga menyebut, data Kementerian Ketenagakerjaan mencatat, ada sekitar 64.288 tenaga kerja yang terkena PHK di Indonesia sepanjang 1 Januari-15 November 2024. Jumlah ini naik ketimbang akhir Oktober yang tercatat sebesar 63.947 tenaga kerja.
"Jadi pascapandemi ini memang banyak industri yang tidak kembali pulih, PHK tertinggi dari sektor manufaktur, termasuk di industri tekstil," ungkapnya.
Anis mengatakan, berdasarkan kajian INDEF, skenario kenaikan tarif PPN menjadi 12% akan mengakibatkan kontraksi pada perekonomian Indonesia. Dampak negatif terhadap ekonomi, terjadi mulai dari menurunnya pertumbuhan ekonomi, naiknya inflasi, turunya konsumsi rumah tangga, hingga minusnya ekspor-impor.
Anggota Fraksi PKS ini kembali mengingatkan pemerintah bahwa masih terdapat ruang dalam UU Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP) untuk mengoreksi besaran tarif PPN 12% yang berlaku di Januari 2025.
"Pada UU HPP pasal 7 ayat 3 dan ayat 4 disebut, bahwa tarif PPN dapat disesuaikan menjadi paling rendah 5% dan paling tinggi 15%. Dengan kebijakan negara yang diatur oleh PP dengan persetujuan DPR RI, ini ruang yang bisa digunakan dengan mempertimbangkan situasi ekonomi saat ini," paparnya.