c

Selamat

Kamis, 6 November 2025

EKONOMI

15 Januari 2025

10:40 WIB

Fokus Stabilisasi Rupiah, Ekonom Perkirakan BI-Rate Januari Tetap 6%

Ekonom memproyeksi BI masih akan tetap mempertahankan BI-Rate di level 6,25% pada RDG Januari 2025. Sentimen rupiah yang terdepresiasi disinyalir bakal jadi pendorong BI-Rate awal 2025 untuk bertahan.

Editor: Khairul Kahfi

<p>Fokus Stabilisasi Rupiah, Ekonom Perkirakan BI-Rate Januari Tetap 6%</p>
<p>Fokus Stabilisasi Rupiah, Ekonom Perkirakan BI-Rate Januari Tetap 6%</p>

Anggota Dewan Gubernur Bank Indonesia (BI) dalam Pengumuman Hasil Rapat Dewan Gubernur (RDG-BI) Bulanan Desember 2024, Jakarta, Rabu (18/12). ValidNewsID/Fitriana Monica Sari

JAKARTA - Ekonom LPEM FEB-UI Teuku Riefky memproyeksi Bank Indonesia masih akan tetap mempertahankan suku bunga BI-Rate di level 6,25% pada RDG edisi Januari 2025. Sentimen rupiah yang terdepresiasi disinyalir bakal jadi pendorong level BI-Rate bertahan, kendati inflasi tanah air sudah mulai menjinak.

“Terlepas dari rekor inflasi yang rendah, kami melihat bahwa Bank Indonesia perlu mempertahankan suku bunga BI tidak berubah di level 6,00% pada pertemuan Dewan Gubernur pertama di tahun 2025 untuk mencegah Rupiah melemah lebih lanjut,” katanya dalam siaran pers yang diterima, Jakarta, Rabu (15/1). 

Dari sisi internal, lanjutnya, angka inflasi Indonesia pada akhir 2024 menandai tingkat inflasi tahunan terendah dalam sejarah Indonesia sejak perhitungan inflasi dimulai pada 1958. Meski inflasi mengalami sedikit peningkatan dari 1,55% (yoy) pada November 2024 menjadi 1,57% (yoy) pada Desember 2024.

Kenaikan tipis inflasi itu didorong oleh stabilisasi harga pangan, menyusul peningkatan hasil panen hortikultura, serta langkah pemerintah Indonesia dalam menjaga stabilitas harga yang diatur pemerintah. 

Baca Juga: Rupiah Melemah, Ekonom: BI-Rate Desember Bertahan Di Level 6%

Kelompok makanan, minuman, dan tembakau mulai pulih, meningkat dari 1,68% (yoy) pada November 2024 menjadi 1,90% (yoy) pada Desember 2024.

"Pertumbuhan ini dipicu oleh dampak kenaikan cukai tembakau, kenaikan harga minyak goreng akibat lonjakan harga minyak sawit mentah, dan harga beras yang terdampak kenaikan harga Gabah Kering Panen (GKP) serta Gabah Kering Giling (GKG)," urainya.

Faktor musiman akhir tahun berkontribusi pada peningkatan kelompok restoran, yang naik dari 2,40% (yoy) pada November 2024 menjadi 2,48% (yoy) pada Desember 2024. Namun, kelompok transportasi kembali mengalami deflasi. 

Tingkat deflasi kelompok transportasi sebesar 0,30% (yoy) pada Desember 2024, dari inflasi 0,03% (yoy) pada November 2024. 

"(Deflasi transportasi) dipengaruhi oleh langkah stabilisasi harga, termasuk penyesuaian harga bahan bakar yang didukung oleh penurunan harga minyak dunia serta penurunan tarif tiket pesawat selama musim liburan," ujarnya.

Lebih lanjut dari sisi eksternal, Teuku menguraikan, revisi ekspektasi the Fed untuk menurunkan suku bunga hanya dua kali pada 2025 membuat rupiah masih berada di bawah tekanan sepanjang bulan lalu. Ekspektasi penurunan Fed Fund Rate ini lebih rendah dibandingkan dengan proyeksi sebelumnya yaitu empat kali penurunan suku bunga. 

Penyesuaian ekspektasi FFR itu disebabkan oleh inflasi yang masih tinggi, yang tetap berada di level 2,7% pada November 2024, menurut data terakhir. 

Selain itu, tekanan pada inflasi AS bertambah akibat rencana kebijakan pemerintahan Donald Trump mendatang, termasuk langkah-langkah tarif yang luas dan kebijakan imigrasi yang lebih ketat. 

"Faktor-faktor ini secara kolektif menyebabkan the Fed memberi sinyal pendekatan yang lebih hati-hati dalam beberapa bulan ke depan, seperti yang tercermin dalam notulen yang dirilis pada awal Januari," ucapnya. 

Baca Juga: Ambruk Lagi, Pekan Ini Asing Lepas Instrumen Investasi RI Rp1,08 T

Faktor-faktor ini, sambungnya, ikut berkontribusi pada penguatan dolar AS. Hal ini tecermin dalam kenaikan Indeks dolar AS (DXY) yang naik 2,6% hanya dalam satu bulan, dari 106,40 poin menjadi 109,17 pada 10 Januari 2025. 

Pergeseran arah kebijakan moneter AS tersebut mengakibatkan arus modal keluar dari Indonesia sebesar US$0,75 miliar antara pertengahan Desember 2024 dan pertengahan Januari 2025. Ini termasuk US$0,12 miliar yang keluar dari pasar obligasi dan US$0,63 miliar yang mengalir keluar dari pasar saham.

"Arus keluar dari pasar obligasi (RI) mendorong imbal hasil obligasi menjadi lebih tinggi, dengan imbal hasil obligasi tenor 1 tahun naik dari 6,65% menjadi 6,83% dan imbal hasil obligasi tenor 10 tahun naik dari 7,01% menjadi 7,14% pada periode yang sama," paparnya.

Sentimen Asing Buat BI Fokus Jaga Rupiah
Senada, Kepala Ekonomi Bank Permata Josua Pardede memperkirakan, BI dalam RDG edisi Januari 2025 akan kembali mempertahankan suku bunga di level 6%. Secara umum, keputusan kebijakan moneter ini akan mengantisipasi tekanan dari sisi asing ketimbang domestik. 

"BI akan mempertahankan suku bunga di level 6%, mempertimbangkan kondisi risk-off sentiment di pasar keuangan global yang berpotensi mempengaruhi pergerakan nilai tukar rupiah, dan kebijakan mempertahankan suku bunga BI-Rate juga mempertimbangkan terkendalinya imported inflation akibat pelemahan nilai tukar rupiah," urai Josua, Selasa (14/1).

Dalam jangka pendek, pergerakan nilai tukar rupiah masih akan dipengaruhi oleh sentimen pasar terhadap kebijakan luar negeri AS di bawah Donald Trump yang turut mendorong penguatan dolar AS terhadap mata uang global. 

Hal ini terindikasi oleh DXY keseluruhan 2024 sebesar 7% dan penguatan dolar AS masih berlanjut hingga awal 2025 ini, bahkan sudah menembus level 110 poin. 

"Penguatan dolar AS tersebut juga diikuti dengan kenaikan yield UST 10 tahun di sepanjang tahun 2024 sebesar 69 bps ke level 4,57%, dan kenaikan yield UST pun masih berlanjut hingga awal tahun 2025 ini sekitar 21 bps menjadi ke level 4,78%," urainya. 

Baca Juga: Rupiah Melemah Ditekan Rencana Trump Deklarasi Darurat Nasional

Rupiah yang masih bertengger di atas Rp16.000 per dolar AS mencerminkan tantangan ekonomi global dan domestik. Melemahnya rupiah terutama disebabkan oleh penguatan dolar AS akibat kebijakan moneter yang cenderung hawkish oleh The Fed, meskipun ada penurunan suku bunga. 

Pasar tetap memandang dolar AS sebagai aset aman di tengah ketidakpastian global. Rupiah juga terpengaruh oleh penurunan minat investor asing terhadap Surat Berharga Negara (SRBI) pada Desember 2024 dan faktor ketidakpastian politik global, seperti kebijakan baru AS. 

"Di awal 2025 ini, investor asing membukukan net sell di pasar saham sekitar US$181,3 juta, meskipun kepemilikan investor asing pada SBN cenderung meningkat sekitar US$248,8 juta dan kepemilikan investor asing pada SRBI juga meningkat US$95,22 juta," jelasnya. 

Cadangan devisa Indonesia meningkat menjadi US$155,7 miliar, memberikan ruang tambahan bagi Bank Indonesia untuk intervensi di pasar valas. Namun, intervensi yang terlalu agresif dapat menjadi mahal dan mengurangi fleksibilitas BI dalam menjaga stabilitas likuiditas domestik. 

Terlebih, spread suku bunga riil yang tinggi di Indonesia menunjukkan fokus untuk menjaga stabilitas nilai tukar. Dalam jangka pendek, penguatan dolar AS dan sentimen global dapat terus memberikan tekanan pada rupiah. 

"Namun, dengan cadangan devisa yang solid, BI memiliki kapasitas untuk menjaga volatilitas yang berlebihan. Prospek jangka panjang tergantung pada kondisi global, termasuk kebijakan moneter AS, perdagangan internasional, dan daya tarik investasi asing di Indonesia," ungkapnya. 


KOMENTAR

Silahkan login untuk memberikan komentarLoginatauDaftar