c

Selamat

Sabtu, 15 November 2025

EKONOMI

25 Februari 2025

20:20 WIB

ESDM Buka Suara Soal Kasus Korupsi Tata Kelola Minyak Mentah Oleh Pertamina

Kejagung mengamankan tujuh tersangka dugaan kasus korupsi terkait tata kelola minyak mentah.

Penulis: Yoseph Krishna

<p id="isPasted">ESDM Buka Suara Soal Kasus Korupsi Tata Kelola Minyak Mentah Oleh Pertamina</p>
<p id="isPasted">ESDM Buka Suara Soal Kasus Korupsi Tata Kelola Minyak Mentah Oleh Pertamina</p>

Petugas melintas di depan jaringan pipa minyak di kilang unit pengolahan (Refinery Unit) V, Balikpapan, Kalimantan Timur, Rabu (23/10/2019). Antara Foto/Yulius Satria Wijaya

JAKARTA - Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) bakal menghormati proses hukum yang menyeret sejumlah pejabat PT Pertamina dalam dugaan kasus korupsi tata kelola minyak mentah tahun 2018-2023.

Sekretaris Jenderal Kementerian ESDM Dadan Kusdiana menegaskan pihaknya masih memiliki komitmen yang sama pada saat Kantor Direktorat Jenderal Minyak dan Gas Bumi (Migas) digeledah beberapa waktu lalu.

"Kita sudah statement, sudah pada saat penggeledahan. Statement-nya masih sama, kita menghormati proses hukum," ucap Dadan saat ditemui di Kantor Kementerian ESDM, Selasa (25/2).

Sebagaimana diberitakan sebelumnya, beberapa pejabat anak usaha atau subholding PT Pertamina ditangkap oleh Kejaksaan Agung (Kejagung) pada Senin, (24/2) malam. Dua diantaranya, merupakan pimpinan langsung dari sub-holding, yakni Riva Siahaan sebagai Dirut Pertamina Patra Niaga, dan Yoki Firnandi sebagai CEO Pertamina International Shipping.

Tujuh tersangka yang diamankan Kejagung itu diduga melakukan pelanggaran atas Peraturan Menteri ESDM Nomor 42 Tahun 2018 tentang Prioritas Pemanfaatan Minyak Bumi Untuk Pemenuhan Kebutuhan Dalam Negeri.

Baca Juga: Kejagung Tahan Tersangka Korupsi Minyak Mentah Pertamina

Dadan mengatakan beleid itu sejatinya sudah diperbaharui dalam bentuk Peraturan Menteri ESDM Nomor 18 Tahun 2021. Pada Permen ESDM yang lama, PT Pertamina memang diwajibkan untuk mengutamakan pasokan minyak mentah dalam negeri sebelum merencanakan impor minyak mentah.

Tetapi pada Permen ESDM Nomor 18 Tahun 2021, tulisan 'wajib' sudah tak ada lagi, digantikan dengan memprioritaskan pasokan minyak bumi yang berasal dari dalam negeri untuk diolah di kilang.

"Sudah ada pembaharuan. Memang kata wajibnya tidak ada, tapi itu diartikannya bukan berarti tidak wajib, kan ada proses harus ditawarkan dan itu juga sudah ditawarkan, semua diikutin di situ," terang Dadan.

Meski sudah ada pembaharuan terhadap regulasi pemanfaatan minyak bumi dalam negeri, Dadan menegaskan pemerintah saat ini akan tetap memaksimalkan pengolahan minyak mentah dilakukan di dalam negeri, terlebih setelah Bahlil Lahadalia dilantik menjadi Menteri ESDM.

"Kasusnya kan baru kemarin, tapi saya waktu jadi Plt. Dirjen Migas kan ada yang urusan itu, kita coba maksimumkan untuk semua produksi dalam negeri dan arahan Pak Menteri semaksimal mungkin diolah di dalam negeri, diolah di kilang di dalam," tegas dia.

Penyelidikan Kejagung
Selain Riva dan Yoki, ada dua pejabat anak usaha Pertamina lain yang ditetapkan sebagai tersangka, yakni Sani Dinar Saifuddin sebagai Direktur Feedstock and Product Optimation PT Kilang Pertamina Internasional (KPI), dan Agus Purwono selaku VP Feedstock Management PT KPI.

Sementara dari pihak swasta, terdapat nama Muhammad Keery Andrianto Riza sebagai Beneficial Owner PT Navigator Khatulistiwa, Dimas Werhaspati selaku Komisaris PT Navigator Khatulistiwa dan PT Jenggala Maritim, hingga Gading Ramadan Joede sebaga Komisaris PT Jenggala Maritim dan Direktur Utama PT Orbit Terminal Merak.

Berdasarkan penyelidikan yang dilakukan Kejagung, terdapat pelanggaran dalam tata kelola minyak mentah oleh PT Pertamina selama 2018-2023. Selama periode tersebut, Riva Siahaan bersama Sani Dinar Saifuddin dan Agus Purwono telah melakukan pengkondisian dalam Rapat Optimasi Hilir untuk menurunkan readiness kilang.

Baca Juga: Jubir BUMN Angkat Bicara Setelah Pejabat Pertamina Ditetapkan Jadi Tersangka

Dengan demikian, produksi minyak bumi dalam negeri tak terserap sepenuhnya. Kemudian, pemenuhan minyak mentah maupun produk kilang diperoleh dari impor. Secara paralel, produksi minyak mentah dalam negeri oleh Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) ditolak PT Pertamina dengan berbagai alasan, sehingga terpaksa dijual ke luar negeri atau ekspor.

Padahal dalam Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Nomor 42 Tahun 2018, PT Pertamina diwajibkan mencari pasokan minyak bumi dari KKKS di dalam negeri sebelum merencanakan impor minyak bumi.

Dari pengkondisian yang berhasil dilakukan sejumlah tersangka, PT KPI pada akhirnya melakukan impor minyak mentah dan PT Pertamina Patra Niaga melakukan impor produk kilang.

Masalah tak usai disitu. PT Pertamina Patra Niaga kemudian diketahui melakukan pembayaran impor BBM untuk RON 92, padahal sebenarnya hanya membeli BBM berkualitas RON 90 atau lebih rendah dan kemudian diblending di depo untuk menjadi RON 92.

Pada saat impor minyak mentah dan produk kilang dilakukan, Kejagung kemudian menemui fakta adanya mark up kontrak pengiriman (shipping) yang dilakukan oleh Yoki Firnandi sebagai Direktur Utama PT Pertamina International Shipping.

Tak tanggung-tanggung, Kejagung memperkirakan potensi kerugian negara dari perbuatan melawan hukum itu secara keseluruhan mencapai sekitar Rp193,7 triliun.


KOMENTAR

Silahkan login untuk memberikan komentarLoginatauDaftar