15 Mei 2025
08:00 WIB
Ekspektasi Pertumbuhan Ekonomi Lesu Tekan Kurs Rupiah
Kurs rupiah yang masih berada di kisaran Rp16.500 per dolar AS menempatkan rupiah sebagai salah satu mata uang di Asia dengan kinerja kurang stabil terhadap dolar AS.
Penulis: Fitriana Monica Sari
Petugas menunjukan uang pecahan rupiah dan dolar AS di gerai penukaran mata uang asing, Jakarta, Selasa (8/4/2025). AntaraFoto/Fathul Habib Sholeh
JAKARTA – Pengamat Mata Uang dan Komoditas Ibrahim Assuaibi memproyeksikan kurs rupiah pada perdagangan Kamis (15/5), akan fluktuatif namun ditutup menguat.
"Untuk perdagangan Kamis (15/5), mata uang rupiah fluktuatif, namun ditutup menguat direntang Rp16.500-Rp16.570 per dolar AS," ujar Ibrahim kepada media, Rabu (14/5).
Nilai tukar atau kurs rupiah pada penutupan perdagangan Rabu (14/5) di Jakarta menguat sebesar 66 poin atau 0,39% menjadi Rp16.562 per dolar AS dari sebelumnya Rp16.627 per dolar AS.
Sepanjang hari, rupiah bahkan sempat menguat sebesar 70 poin. Sementara itu, indeks dolar AS justru melemah.
Namun, nilai tukar rupiah terhadap dolar AS menunjukkan tren pelemahan. Pada Jumat (9/5) lalu, rupiah masih berada di kisaran Rp16.500 per dolar AS.
Chief Economist Permata Bank Josua Pardede mengatakan kondisi tersebut menempatkan rupiah sebagai salah satu mata uang di Asia yang menunjukkan kinerja kurang stabil terhadap dolar AS.
Baca Juga: Inflasi AS Yang Melandai Picu Penguatan Rupiah
"Kalau kita bicara perkembangan rupiah saat ini... ini penutupan di tanggal 9 Mei 2025 kemarin, di sekitar masih Rp16.500-an, artinya memang kita bicara kondisinya, memang sejauh ini rupiah masih menjadi salah satu currency di Asia yang mengalami kelemahan terhadap dolar AS,” kata Josua di Jakarta, Rabu (14/5).
Menurutnya, salah satu faktor utama di balik tekanan terhadap rupiah adalah ekspektasi perlambatan pertumbuhan ekonomi Indonesia pada tahun ini.
Asal tahu saja, pertumbuhan PDB Indonesia pada Kuartal I/2025 tercatat sebesar 4,87% secara tahunan (year-on-year/yoy), lebih rendah dibandingkan 5,02% pada kuartal yang sama tahun lalu dan menjadi level terendah sejak Kuartal III/2021.
Perkiraan tersebut pun turut memicu aksi jual bersih oleh investor asing di pasar saham. Lantaran, prospek pertumbuhan ekonomi dinilai memiliki dampak langsung terhadap potensi keuntungan korporasi. Aksi jual ini berdampak pada kinerja nilai tukar.
“Karena biasanya kalau kita bicara selain sentimen, investor di pasar saham pun juga mempertimbangkan bagaimana prospek pertumbuhan ekonomi yang akan berimplikasi nantinya kepada corporate earnings, sehingga ini menjadi salah satu faktor yang juga mempengaruhi juga kinerja di nilai tukar rupiah,” jelas dia.
Baca Juga: Rupiah Melemah Di Tengah Merosotnya Pertumbuhan Ekonomi
Selain di pasar saham, kata Joshua, tekanan turut dirasakan di pasar obligasi. Adapun saat ini, imbal hasil obligasi pemerintah Indonesia masih berada di bawah level 6,8–6,9%.
“Obligasi pun juga kalau kita melihat saat ini, pasar obligasi yield-nya pun juga masih berkisar di bawah 6,8-6,9%,” ujarnya.
Sementara itu, Joshua mengungkapkan, di tengah berbagai tekanan tersebut, sektor teknologi menjadi sektor yang menunjukkan performa paling kuat secara tahunan, dengan kenaikan signifikan sebesar 84%.
“Kalau kita lihat secara spesifik misalkan di pasar saham, sampai dengan penutupan akhir minggu, saham-saham sektor teknologi masih berkinerja yang paling baik, 84%,” tutur dia.