22 November 2024
14:24 WIB
Ekonom: Tarif PPN Jadi 12% Bikin Harga Makanan Di Level Ritel Makin Mahal
Daya beli masyarakat bisa anjlok karena kenaikan PPN bakal mengerek harga barang di toko ritel, seperti susu formula bayi dan mi instan.
Penulis: Aurora K M Simanjuntak
Tangkapan layar Instagram DJP. Validnews/Aurora KM Simanjuntak
JAKARTA - Pemerintah gencar menyuarakan soal manfaat kenaikan pajak pertambahan nilai (PPN) 12% dan barang-barang yang tidak kena PPN, tidak disambut baik oleh rakyat.
Salah satu contohnya, postingan di media sosial Instagram Direktorat Jenderal Pajak (DJP) @ditjenpajakri. DJP mengunggah video nama-nama barang dan makanan minuman yang dikecualikan dari PPN.
"Jadi kenaikan PPN 1% (dari 11% menjadi 12%) tidak berdampak pada barang kebutuhan pokok yang dibebaskan dari PPN, sehingga bermanfaat bagi seluruh masyarakat Indonesia. Selain itu, penerimaan pajak yang meningkat akan memberikan manfaat jauh lebih besar bagi kita semua," ujar host dalam konten video @ditjenpajakri, dikutip Jumat (22/11).
Postingan tersebut justru membuat internet citizen (netizen) gusar dan banyak yang melontarkan sindiran. Beberapa juga menyoroti dampak kenaikan PPN bakal bikin harga air mineral kemasan, susu olahan, hingga transportasi akan naik.
Banyak juga yang mengeluh mengatakan, masyarakat itu banyak konsumsi makanan olahan, bukan hanya makan raw food saja. Sebab, konten DJP memang mencontohkan beberapa makanan pokok mentah yang tidak kena PPN, seperti sagu, jagung, beras, gabah, kedelai.
Baca Juga: PPN 12% Mulai 2025, DPR Khawatir Ada Efek Domino Ke Kesejahteraan Rakyat
Pengamat Ekonomi sekaligus Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira menilai, pemerintah terus-terusan ogah melihat dampak negatif yang ditimbulkan karena kenaikan PPN menjadi 12%.
Bhima menegaskan, PPN 12% akan langsung mengerek harga berbagai jenis barang di level ritel. Itu termasuk makanan minuman olahan yang notabene jadi konsumsi masyarakat luas.
"Betul (PPN 12% ini dampaknya) akan langsung naik harga jual makanan minuman di level ritel," ujarnya kepada Validnews, Jumat (22/11).
Jika demikian, masyarakat yang bakal tercekik harga tinggi. Bhima khawatir konsumsi dan daya beli masyarakat menurun, karena harga barang dan makanan minuman menjadi lebih mahal tahun depan.
Dia menjelaskan, bagi perekonomian Indonesia, kondisi masyarakat yang enggan belanja dan konsumsi ini tentunya akan mengakibatkan konsumsi rumah tangga anjlok.
Di Indonesia, konsumsi rumah tangga berkontribusi signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi. Pada kuartal III/2024, sumbangannya terhadap produk domestik bruto (PDB) mencapai sebesar 53,08%.
Pertumbuhan PDB RI berdasarkan pengeluaran itu paling besar dari konsumsi rumah tangga. Apabila komponen tersebut menciut, khawatirnya pertumbuhan ekonomi menjadi lebih rendah.
"Pemerintah mencoba mengelak dari tuduhan bahwa PPN 12% akan menurunkan pertumbuhan konsumsi rumah tangga, padahal efeknya sangat berisiko," tutur Bhima.
Memang, pemerintah telah mengatur ada beberapa barang serta makanan dan minuman pokok yang tidak kena PPN 12%. Namun, Bhima mengatakan, yang paling banyak dikonsumsi orang Indonesia adalah makanan dan minuman olahan.
Baca Juga: Pemerintah Bisa Lakukan 2 Upaya Ini Untuk Batalkan PPN 12%
Nah, makanan dan minuman olahan inilah yang kena PPN. Bhima mencontohkan, mi instan. Mi olahan tersebut konsumsi domestiknya bisa mencapai 14,5 miliar porsi per tahun.
"Artinya konsumsi masyarakat akan terdampak, apalagi kelompok masyarakat menengah bawah yang kebutuhan karbohidratnya juga diperoleh dari mi instan," kata Pengamat Ekonomi Celios.
Bhima juga menambahkan berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) 70/2022, ada 3 kriteria objek PPN dari makanan minuman. Pertama, pengusaha ritel yang menjual produk campuran, seperti minimarket dan supermarket.
Kedua, pengusaha pabrik makanan minuman. Ketiga, pengusaha jasa airport lounge. Itu berarti, makanan minuman olahan yang disediakan di tiga tempat ini semuanya kena PPN 12%.
"Untuk pengusaha ritel dan pengusaha pabrik makanan minuman imbasnya bisa ke susu formula bayi, biskuit, dan lain-lain," tandas Bhima.