10 November 2025
08:38 WIB
Ekonom Soal Redenominasi Rupiah: Ilusi Angka Yang Ganggu Fokus Ekonomi
Bukan wacana baru, redenominasi rupiah dinilai hanya akan mengeluarkan biaya besar untuk pencetakan ulang uang tanpa dampak berarti terhadap kondisi ekonomi saat ini.
Penulis: Siti Nur Arifa
Petugas Bank Indonesia Aceh memperlihatkan uang rupiah pecahan kecil saat peluncuran Semarak Rupiah Ramadhan dan Berkah Idul Fitri (Serambi) di Kantor Bank Indonesia Aceh, Banda Aceh, Aceh, Selasa (4/3/2025). AntaraFoto/Khalis Surry
JAKARTA - Ekonom Universitas Andalas Syafruddin Karimi menilai, wacana redenominasi rupiah yang diangkat oleh Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa sejatinya tidak akan memberikan dampak berarti bagi perekonomian, di tengah berbagai permasalahan ekonomi lain yang sejatinya lebih darurat untuk diselesaikan.
Sebagai catatan, rencana redenominasi akan dilakukan dengan menyederhanakan penulisan Rp1.000 menjadi Rp1. Syafruddin menilai, perubahan dengan menghapus nol pada rupiah tidak akan memberikan dampak berarti dalam memengaruhi daya beli.
"Redenominasi tidak mengubah daya beli. Tidak mengubah pendapatan riil. Tidak mengubah harga relatif. Tidak menciptakan lapangan kerja. Tidak memperkuat struktur industri. Hanya mengubah angka yang tercetak di uang kertas, label harga, sistem akuntansi, dan papan pajak," kata Syafruddin dalam pernyataan tertulis, dikutip Senin (10/11).
Baca Juga: Rp1.000 Jadi Rp1, Kemenkeu Target RUU Redenominasi Rampung 2026
Terkait fakta tersebut, Syafruddin mempertanyakan narasi pemerintah yang kerap mengatakan redenominasi sebagai penyederhanaan sistem mata uang yang akan mempermudah pencatatan, efisiensi pembukuan, dan persepsi stabilitas.
Menurutnya, alasan tersebut tidak pernah disertai bukti empiris bahwa perubahan angka nominal akan meningkatkan investasi, memperkuat industri, atau menaikkan pertumbuhan ekonomi.
Ditambah lagi keuntungan yang dijanjikan, kata Syafruddin, lebih bersifat psikologis dan simbolik.
"Stabilitas ekonomi sejati dibangun dari pondasi yang jauh lebih dalam; produktivitas, kredibilitas fiskal, dan kepercayaan publik terhadap kebijakan ekonomi," tambahnya.
Biaya Besar Tanpa Manfaat
Satu hal yang tidak kalah penting dari pelaksaan redenominasi menurut Syafruddin, adalah akan adanya biaya besar tanpa adanya manfaat, di mana negara harus mencetak ulang seluruh uang baik kertas maupun koin.
Belum lagi, sistem perbankan harus memperbarui software dan sistem pencatatan; dunia usaha yang harus mengganti jutaan label harga, kontrak, kuitansi, serta laporan keuangan.
Belum cukup, Pemerintah kuga harus menjalankan kampanye sosialisasi nasional agar masyarakat tidak bingung dan pelaku usaha tidak salah menghitung.
"Transaksi elektronik, kartu kredit, bahkan perangkat kasir harus diperbaharui. Semua itu butuh dana besar, waktu lama, dan tenaga kerja tambahan," jelas Syafruddin.
Di saat bersamaan, jika langkah redenominasi benar terjadi, saat masa transisi akan terjadi duplikasi mata uang lama dan baru yang berjalan berdampingan.
Kondisi tersebut, diyakini menimbulkan potensi kekacauan administratif, keraguan konsumen, bahkan peluang kecurangan, di mana pelaku usaha kecil akan kesulitan beradaptasi.
"Masyarakat rentan terhadap money illusion—persepsi keliru bahwa harga-harga turun karena melihat angka yang lebih kecil, padahal daya beli tetap. Akibatnya, kepercayaan terhadap harga bisa terganggu, dan stabilitas ekonomi justru terancam," kata Syafruddin.
Baca Juga: BI Siap Lakukan Redenominasi Rupiah, Tapi Tidak Sekarang
Perkuat Fundamental Ekonomi
Belajar dari yang lebih dulu melakukan hal serupa, Syafruddin mengatakan di banyak negara, redenominasi dilakukan karena kebutuhan mendesak seperti hiperinflasi.
Sedangkan menurutnya, Indonesia saat ini tidak berada dalam situasi tersebut, lantaran inflasi tahunan berada dalam kisaran terkendali dan tidak ada urgensi ekonomi yang menuntut penghapusan nol.
"Jika pemerintah bersikukuh melakukannya, artinya mereka justru mengalihkan perhatian dari prioritas utama: mendorong pertumbuhan ekonomi secara riil," tandas Syafruddin.
Lebih lanjut, Syafruddin menegaskan jika pemerintah benar-benar bertujuan ingin memperkuat rupiah, maka langkah yang harus lakukan adalah memperkuat berbagai kebijakan fundamental ekonomi, mulai dari menekan inflasi; memperkuat neraca perdagangan; mengelola utang secara hati-hati dan meningkatkan efisiensi belanja negara.
"Jangan tempuh jalan pintas yang tampak rapi di permukaan tetapi rapuh di dalam," katanya.
Lebih lanjut, dirinya menilai Pemerintah harus memastikan setiap kebijakan mendorong produktivitas, menciptakan nilai, dan memperbaiki kualitas hidup masyarakat, di mana wacana redenominasi rupiah tidak melakukan satupun dari hal di atas.
Syafruddin menegaskan, wacana redenominasi menjadi bentuk kegagalan memprioritaskan yang esensial.
Menurutnya, dibanding kebijakan mengubah tiga angka nol di mata uang, pemerintah perlu lebih fokus melakukan reformasi struktural dan melakukan berbagai kebijakan besar, mulai dari mengalihkan energi dan anggaran untuk pendidikan vokasi, digitalisasi sektor pertanian, penguatan rantai pasok industri dan pengentasan pengangguran.
"Indonesia tidak butuh ilusi stabilitas dalam bentuk nominal baru. Indonesia butuh realitas pertumbuhan yang bermakna bagi rakyat. Redenominasi bukan jawaban atas tantangan zaman. Redenominasi adalah pengalih perhatian dari kerja besar yang masih tertunda," tandas Syafruddin.