22 Juni 2023
20:23 WIB
JAKARTA - Gubernur Bank Indonesia (BI) Perry Warjiyo mengaku siap melakukan redenominasi rupiah. Hanya saja, hingga saat ini Bank Sentral belum menemukan waktu yang pas untuk melaksanakannya.
Menurut Gubernur BI Perry Warjiyo, isu yang sudah bergulir lebih dari satu dekade silam ini, masih terhambat tiga faktor yang menyebabkan pelaksanaannya belum dilakukan hingga saat ini.
"Redenominasi sudah kami siapkan dari dulu. Masalah desain, tahapannya, sudah kami siapkan semua secara operasional dan langkah-langkahnya," ucap Perry dalam konferensi pers Rapat Dewan Gubernur Bulan Juni 2023 di Jakarta, Kamis (22/6).
Perry membeberkan, faktor pertama yakni kondisi makroekonomi. Saat ini, kondisi makroekonomi Indonesia, kata Perry, memang sudah membaik dan pulih, tetapi masih terdapat potensi dampak rambatan (spillover) dari ekonomi global yang masih dirundung ketidakpastian.
Ketidakpastian perekonomian global kembali meningkat, dengan kecenderungan risiko pertumbuhan yang melambat dan kebijakan suku bunga moneter di negara maju yang lebih tinggi. Pertumbuhan ekonomi global diperkirakan sebesar 2,7% pada tahun ini, dengan risiko perlambatan terutama di Amerika Serikat (AS) dan Tiongkok.
Di AS, tekanan inflasi masih tinggi terutama karena keketatan pasar tenaga kerja, di tengah kondisi ekonomi yang cukup baik dan tekanan stabilitas sistem keuangan yang mereda. Sehingga mendorong kemungkinan kenaikan suku bunga acuan Bank Sentral AS, The Fed, ke depan.
Kebijakan moneter juga masih ketat di Eropa, sedangkan di Jepang masih longgar. Sementara itu, di CXhina pertumbuhan ekonomi juga tidak sekuat perkiraan di tengah inflasi yang rendah sehingga mendorong pelonggaran kebijakan moneter.
Kemudian faktor kedua, lanjut Perry, yakni kondisi moneter dan stabilitas sistem keuangan. Di Tanah Air, kondisi moneter dan stabilitas sistem keuangan sudah stabil, namun Indonesia masih dihantui oleh ketidakpastian global.
Faktor ketiga yakni kondisi sosial dan politik, dimana untuk melakukan redenominasi diperlukan kondisi sosial dan politik yang kondusif, mendukung, positif, serta kuat. "Untuk kondisi sosial dan politik ini pemerintah yang lebih mengetahui," tuturnya.

Warga menunjukan uang baru usai ditukarkan di mobil kas keliling Bank Indonesia (BI) di Pasar Induk Kramat Jati, Jakarta, Selasa (19/4/2022). Antara Foto/Galih Pradipta
Terus Bergulir
Untuk diketahui, redenominasi didefinisikan sebagai penyederhanaan nilai mata uang rupiah tanpa mengubah nilai tukarnya. Redenominasi bertujuan untuk menyederhanakan jumlah digit pada pecahan rupiah tanpa mengurangi daya beli, harga atau nilai rupiah terhadap harga barang dan/atau jasa.
Isu soal Redenominasi sendiri sudah sekian lama bergulir. Setidaknya BI sendiri sudah menghembuskan wacana ini sejak tahun 2010 lalu, Gubernur BI saat itu, Darmin Nasution menjelaskan, redenominasi bukanlah sanering atau pemotongan daya beli masyarakat melalui pemotongan nilai uang.
Redenominasi biasanya dilakukan dalam kondisi ekonomi yang stabil dan menuju kearah yang lebih sehat. Sedangkan sanering adalah pemotongan uang dalam kondisi perekonomian yang tidak sehat, dimana yang dipotong hanya nilai uangnya.
Dalam redenominasi, baik nilai uang maupun barang, hanya dihilangkan beberapa angka nolnya saja. Dengan demikian, redenominasi akan menyederhanakan penulisan nilai barang dan jasa yang diikuti pula penyederhanaan penulisan alat pembayaran (uang). Selanjutnya, hal ini akan menyederhanakan sistem akuntansi dalam sistem pembayaran tanpa menimbulkan dampak negatif bagi perekonomian.
"Redenominasi sama sekali tidak merugikan masyarakat karena berbeda dengan sanering atau pemotongan uang. Dalam redenominasi nilai uang terhadap barang (daya beli) tidak akan berubah, yang terjadi hanya penyederhanaan dalam nilai nominalnya berupa penghilangan beberapa digit angka nol", demikian tegas Pjs. Gubernur BI, Darmin Nasution kala itu.
Seiring berjalannya waktu, wacana ini terus mengendap. Terakhir, Kementerian Keuangan dan Bank Indonesia telah mewacanakan redenominasi terhadap rupiah. Rencana tersebut tertuang dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 77/PMK.01/2020 tentang Rencana Strategi Kementerian Keuangan Tahun 2020-2024. Namun, rencana itu masih juga belum final dan masih dalam pembahasan di DPR.
Mengutip laman resmi Kementerian Keuangan, uang yang sudah diredenominasi jumlah angkanya akan mengecil, tapi nilainya tetap sama. Misalnya redenominasi uang Rp 10.000, setelah dilakukan redenominasi, maka tiga angka di belakang akan hilang, penulisannya berubah menjadi Rp 10 saja. Namun nilai uang masih sama dengan sepuluh ribu rupiah.
"Jika kita biasanya membeli susu seharga Rp 10.000 per kaleng, setelah redenominasi rupiah, maka harga susu tersebut berubah Rp 10 per kaleng," tulis keterangan tersebut.
Isu Redenomiasi selanjutnya kembali mencuat seiring dengan diterbitkannya uang Rupiah atau rupiah kertas tahun emisi 2022. Saat diterawang, tiga angka nol paling belakang di uang emisi tahun 2022 tersebut hilang. Misalnya saja, saat uang pecahan Rp100.000 diterawang, hanya menyisakan Presiden Soekarno, Mohammad Hatta, dan angka Rp100.
Namun, BI buru-buru mengklarifikasi isu tersebut. Menurut Bank Sentral, hilangnya tiga angka nol paling belakang, karena sistem pengamanan uang rupiah kertas tahun emisi 2022 sudah tak lagi sama. Tiga angka nol tidak dicantumkan dengan pertimbangan teknis dan untuk kemudahan identifikasi.