c

Selamat

Sabtu, 15 November 2025

EKONOMI

09 April 2025

15:09 WIB

Ekonom: Relaksasi Impor Harus Dilakukan Secara Hati-Hati

Ekonom menilai ada dua alasan relaksasi impor sebagai respons pada tarif resiprokal AS harus dilakukan dengan hati-hati.

Penulis: Fin Harini

<p id="isPasted">Ekonom: Relaksasi Impor Harus Dilakukan Secara Hati-Hati</p>
<p id="isPasted">Ekonom: Relaksasi Impor Harus Dilakukan Secara Hati-Hati</p>

Direktur Eksekutif Celios Bhima Yudhistira Adhinegara di Jakarta, Kamis (23/1/2025). ANTARA/Uyu Septiyati Liman

JAKARTA - Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira Adhinegara menilai wacana pemerintah Indonesia untuk melakukan relaksasi impor harus dilakukan dengan hati-hati.

Hal ini menyusul Presiden RI Prabowo Subianto pada Selasa (8/4) yang secara tegas meminta jajaran Kabinet Merah Putih (KMP) untuk menghapus kuota produk-produk impor sehingga mempermudah kelancaran para pengusaha Indonesia dalam berusaha, terutama yang bermitra dengan pihak global.

“Soal relaksasi impor harus dilakukan ekstra hati-hati. Setidaknya ada dua pertimbangan jika (regulasi terkait kuota) impor direvisi,” kata Bhima di Jakarta, Rabu (9/4), dilansir dari Antara.

Menurut Bhima, pertimbangan pertama adalah terkait perang dagang yang membuat produsen dari berbagai negara mencari pasar alternatif.

Contohnya pakaian jadi dari Vietnam, Kamboja dan China akan membanjiri pasar Indonesia.

“Pelaku usaha domestik banyak yang meminta Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) No. 8 Tahun 2024 segera direvisi, tapi ini malah tidak dilakukan. Kalau impor dilonggarkan bukankah ini sama dengan bunuh diri?” imbuhnya.

Pertimbangan kedua adalah pentingnya menelaah kembali program-program pemerintah yang relevan demi mendukung tujuan terkait relaksasi impor secara umum.

“Program Prabowo yang berkaitan dengan swasembada pangan jadi tidak relevan. Impor pangan yang angkanya sudah jumbo, bakal makin melonjak drastis,” kata Bhima.

Baca Juga: Langkah Prabowo Hadapi Tarif Trump: Relaksasi Aturan TKDN Hingga Hapus Kuota Impor

Sebelumnya, Presiden Prabowo mengatakan langkah menghapus kuota impor perlu diterapkan sebagai bagian dari deregulasi yang ingin dijalankannya untuk menjaga kesehatan persaingan usaha di Indonesia.

Selain itu, Prabowo memerintahkan jajaran menteri terkait untuk mengubah aturan terkait tingkat komponen dalam negeri (TKDN) agar lebih fleksibel sehingga mampu menjaga daya saing perindustrian Indonesia dengan negara-negara lain.

"Kita harus realistis, TKDN dipaksakan kita akhirnya kalah kompetitif. TKDN fleksibel saja lah," kata Prabowo menanggapi saran dari ekonom kepada Pemerintah untuk menjaga posisi Indonesia dalam industrialisasi global di dalam acara Sarasehan Ekonomi Nasional yang diselenggarakan di Jakarta, Selasa (8/4).

Menurutnya, TKDN yang berlaku saat ini terkesan terlalu dipaksakan sehingga pada akhirnya investor tidak melirik Indonesia dan cenderung tertarik berinvestasi di negara lain.

Dia berpendapat terkait dengan implementasi TKDN ini agar bisa diubah mekanismenya, salah satunya dengan kemungkinan pemberian insentif.

"Mungkin diganti dengan insentif ya. Tolong ya para pembantu saya, para menteri saya, sudahlah realistis, TKDN dibikin yang realistis saja," kata Prabowo.

Terkait dengan kekhawatiran pengembangan produk di dalam negeri, menurut Prabowo, hal itu masih bisa dilakukan dengan berbagai cara yang lain.

Beberapa di antaranya bisa dilakukan dengan pengembangan sumber daya manusia khususnya pada sisi pendidikan termasuk ilmu pengetahuan dan teknologi.

Lemahkan Industri TI
Sebelumnya, Ekonom sekaligus Direktur Ekonomi Digital Celios Nailul Huda menilai dampak kebijakan tarif resiprokal Amerika Serikat berpotensi melemahkan sektor telekomunikasi dan teknologi informasi (TI) di Indonesia.

"Saya melihatnya kebijakan tarif impor AS akan melemahkan industri IT atau teknologi dalam negeri. Pasalnya, industri dalam negeri kita masih belum mampu untuk memproduksi lebih jauh," kata Nailul Huda, Senin (7/9).

Penurunan permintaan ekspor dari AS dinilai bisa membuat produk dalam negeri kesulitan mencari pasar alternatif.

Di sisi lain, pasar domestik justru berisiko dibanjiri produk TI dari negara lain yang juga terkena kebijakan tarif impor AS. Hal ini dikhawatirkan akan semakin menekan industri lokal yang menghadapi penurunan ekspor sekaligus persaingan dengan produk impor.

"Ini yang mengkhawatirkan bahwa industri kita tertekan dari ekspor yang turun, tapi produk dari negara lain bisa masuk ke dalam negeri," ucapnya.

Baca Juga: Pengusaha Alas Kaki dan Konveksi Khawatir Efek Rambatan Perang Dagang

Huda mengatakan, dampak lain yang perlu diwaspadai adalah pelemahan nilai tukar rupiah. Industri elektronik dan TI sangat bergantung pada impor komponen utama seperti cip, yang tidak diproduksi di dalam negeri.

Kenaikan harga impor akibat pelemahan rupiah berpotensi menghambat pertumbuhan sektor teknologi.

Huda menyarankan pemerintah untuk segera melakukan negosiasi dengan AS guna menurunkan tarif perdagangan Indonesia ke Negeri Paman Sam tersebut.

Pemerintah AS dinilai menerapkan kebijakan yang menghambat produk Indonesia masuk, sementara di sisi lain juga kerap memberlakukan non-tariff barriers untuk produk impor, termasuk dari Indonesia.

Menurut Huda, salah satu strategi yang bisa diambil Pemerintah adalah membangun koalisi dengan negara lain, seperti melalui BRICS untuk memperkuat posisi tawar.

"BRICS bisa menjadi salah pintu masuk. Selain itu, genjot industri TI atau teknologi dalam negeri kita dengan insentif dan sebagainya," ucap dia.


KOMENTAR

Silahkan login untuk memberikan komentarLoginatauDaftar