c

Selamat

Kamis, 6 November 2025

EKONOMI

09 Agustus 2023

11:56 WIB

Ekonom: Rangking IMD 2023 Belum Gambarkan Kondisi Riil Indonesia

Pasalnya, masih banyak persoalan yang masih dihadapi pelaku usaha hingga sektor industri berkaitan kegiatan berusaha.

Penulis: Khairul Kahfi

Ekonom: Rangking IMD 2023 Belum Gambarkan Kondisi Riil Indonesia
Ekonom: Rangking IMD 2023 Belum Gambarkan Kondisi Riil Indonesia
Suasana gedung perkantoran di Jakarta, Senin (25/4/2022). Antara Foto/Muhammad Adimaja

JAKARTA - Direktur Eksekutif Celios Bhima Yudhistira menegaskan, kenaikan rangking daya saing perekonomian dalam laporan IMD 2023 belum menggambarkan situasi riil Indonesia. Pasalnya, masih banyak persoalan yang masih dihadapi pelaku usaha hingga sektor industri berkaitan kegiatan berusaha.  

“Di saat yang bersamaan pelaku industri mengeluhkan masih tingginya biaya logistik, indeks logistik yang turun 17 peringkat versi Bank Dunia, serta porsi industri pengolahan yang menurun menjadi kisaran 18%,” terangnya kepada Validnews, Jakarta, Rabu (9/8). 

Dirinya mensinyalir, persoalan ini punya kaitan erat dengan ICOR Indonesia yang masih bermasalah. Adapun ICOR Indonesia di 2023 mendapat nilai sebesar 7,6 poin yang menggambarkan efisiensi Indonesia terkait modal masih belum optimal.

Jika dibandingkan dengan negara lain, rata-rata ICOR Indonesia tersebut lebih tinggi daripada ICOR Filipina, Malaysia dan India yang masing-masingnya bisa menyentuh 3,7 poin, 4,4 poin dan 4,5 poin selama 2021-2022. Meski ICOR Indonesia masih lebih efisien ketimbang Vietnam (9,5 poin) maupun Thailand (13,2 poin).

“Kalau (ICOR) dibedah, ada faktor penegakan hukum dan pencegahan praktik korupsi yang lemah, infrastruktur juga belum ideal karena kualitas perencanaan rendah, hingga birokrasi yang masih panjang meski ada omnibus law (Cipta Kerja),” bebernya. 

Baca Juga: Ketidakefisienan Investasi Redam Pertumbuhan Ekonomi Indonesia

Adapun, Ekonom CORE Indonesia Yusuf Rendy Manilet menyampaikan, tantangan di lapangan juga dapat terlihat efisiensi kepemerintahan di sisi pelaksanaan keuangan publik berupa rasio perpajakan yang masih punya ruang perbaikan kebijakannya.

“Kalau kita lihat, salah satu indikator yang digunakan untuk mengukur government efficiency adalah tax ratio. Seperti yang kita tahu, bahwa dalam 5-10 tahun terakhir, rasio pajak Indonesia terutama dibandingkan dengan PDB relatif rendah,” kata Rendy kepada Validnews, Rabu (8/8). 

Kemudian, masifnya pembangunan infrastruktur yang pemerintah lakukan sedekade terakhir nyatanya masih belum optimal. Buktinya, nilai performa logistik Indonesia yang dikeluarkan Bank Dunia masih perlu perbaikan, sehingga bisa berkorelasi positif terhadap ongkos logistik yang lebih murah.

Pemerintah pun wajib memastikan pembangunan infrastruktur yang dilakukan bisa memberikan efek positif. Jika tidak, yang terjadi malah sebaliknya. 

“Artinya diperlukan investasi yang lebih besar, untuk mendorong perekonomian atau pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi,” ujarnya. 

Karenanya, untuk mendorong efisiensi pada investasi perlu upaya regulasi sekaligus insentif yang tepat. Bagaimana aturan turunan dari UU Cipta Kerja juga akan ikut menentukan ICOR di Indonesia secara lebih efisien.

“Tidak dipungkiri, bahwa substansi dari undang-undang Cipta Kerja seperti tidak diperhatikannya sisi lingkungan dari suatu proses investasi, masih menjadi perdebatan. Saya kira, ini yang kemudian akan menjadi tantangan, terutama di sisi implementasi nanti,” sebutnya.

Fokus Perbaiki Logistik dan Efisiensi Birokrasi
Untuk memperbaiki tantangan yang ada, Bhima berpendapat, pemerintah dapat menurunkan biaya logistik saat ini dan bisa mengkoneksikannya langsung dengan kawasan industri, pelabuhan, sampai kereta logistik. Karena itu, fokus perbaikan infrastruktur mesti terukur dengan saksama. 

“Bukan (membangun infrastruktur) mega proyek yang tidak ada kaitan dengan daya saing, seperti pemindahan IKN,” tegasnya. 

Berikutnya, pemerintah juga meningkatkan penegakan hukum, terutama dengan menindak kasus korupsi di Tanah Air dengan lebih serius. Daya saing juga berkaitan dengan reformasi birokrasi dengan mulai mengganti sebagian ASN dengan otomasi pelayanan, karena potensial menghemat belanja pegawai sekaligus mempercepat layanan usaha.

Bhima optimistis, upaya perbaikan yang terukur seperti yang disampaikan di atas dapat signifikan mendongkrak pertumbuhan ekonomi Indonesia dalam lima tahun ke depan. 

“Jika ICOR bisa ditekan di bawah 4 (poin), maka ekonomi Indonesia bisa melaju 7%,” ucapnya. 

Baca Juga: Ekonom Cermati Kenaikan Daya Saing Ekonomi IMD 2023

Sebelumnya, Menko Airlangga Hartarto menyampaikan, peringkat daya saing perekonomian Indonesia meningkat tajam, dari rangking ke-44 di 2022 menjadi rangking ke-34 di 2023. Hal ini mengacu laporan Institute for Management Development (IMD) yang memberikan penilaian kepada 64 negara di dunia.

Semua faktor penunjang daya saing perekonomian mengalami kenaikan dibandingkan tahun lalu. Seperti di antaranya, Business Efficiency duduk di peringkat ke-20 (naik 11 peringkat); dan Infrastructure duduk di peringkat ke-51 (naik 1 peringkat).

“Memang kalau kita lihat business efficiency bisa (naik) dengan cepat dan infrastruktur membaik. Namun pemanfaatannya, kalau infrastruktur biasanya ada lagging atau belakangan baru bisa menjadi faktor pengungkit logistik,” ungkap Airlangga, Senin (7/8).

Kendati Airlangga juga mengakui, efektivitas investasi di Indonesia masih belum kompetitif dengan ditandai nilai ICOR yang tinggi. Untuk itu, pemerintah menargetkan, UU Cipta Kerja (UUCK) dapat memberikan kepastian hukum dan kemudahan dengan adanya standar, khususnya terkait dengan persyaratan dan proses perizinan berusaha. 

“Terbitnya UUCK diharapkan dapat berkontribusi dalam peningkatan ekosistem (bisnis) untuk mendorong efisiensi investasi, mengingat angka ICOR Indonesia yang mash bisa terus diefisiensikan,” jelasnya.


KOMENTAR

Silahkan login untuk memberikan komentarLoginatauDaftar