c

Selamat

Sabtu, 15 November 2025

EKONOMI

19 Agustus 2024

13:29 WIB

Ekonom Ragu Bahlil Bisa Selesaikan Masalah Migas Kurun 2 Bulan

Ekonom ragu pergantian Menteri ESDM dari Arifin Tasrif menjadi Bahlil Lahadalia bisa otomatis menyelesaikan permasalahan migas saat ini dalam kurun waktu dua bulan tersisa.

Penulis: Khairul Kahfi

<p id="isPasted">Ekonom Ragu Bahlil Bisa Selesaikan Masalah Migas Kurun 2 Bulan</p>
<p id="isPasted">Ekonom Ragu Bahlil Bisa Selesaikan Masalah Migas Kurun 2 Bulan</p>

Presiden Joko Widodo (kanan) berjabat tangan dengan Menteri ESDM Bahlil Lahadalia (kiri) usai pelant ikan di Istana Negara, Jakarta, Senin (19/8/2024). Antara Foto/Sigid Kurniawan

JAKARTA - Peneliti Senior Departemen Ekonomi CSIS Deni Friawan ragu pergantian Menteri ESDM dari Arifin Tasrif menjadi Bahlil Lahadalia bisa otomatis menyelesaikan permasalahan migas saat ini dalam kurun waktu dua bulan tersisa. Ia menilai reshuffle yang terjadi lebih dimaksudkan untuk mengakomodasi transisi antar pemerintahan saja.

“Menurut saya, ya enggak mungkinlah (menyelesaikan masalah lifting minyak dan lain-lain) karena itu kan bukan masalahnya (reshuffle) di situ. Ini kan tinggal dua bulan lagi dan lebih ke arah kepentingan Pak Jokowi saja,” jelasnya dalam Media Briefing RAPBN 2025: Antara Keberlanjutan dan Penyesuaian, Jakarta, Senin (19/8).

Deni pun menekankan, masalah lifting minyak Indonesia disebabkan lingkungan terutama regulasi di sektor migas, termasuk masalah pembagian profit investasi dan kewajiban divestasi. Sehingga membuat investor asing enggan untuk berinvestasi sektor migas di dalam negeri.

Karena itu, inti permasalahan lifting migas tidak bisa selesai hanya dengan mengganti menteri ESDM-nya semata. Balik lagi, kebijakan yang tidak berubah hanya akan menjadi permasalahan yang berulang antar orang.

“Jadi bukan tergantung dari menterinya. Kalau menterinya berubah tanpa mereformasi atau mengubah aturan, ya tidak akan berubah,” tegasnya.

Baca Juga: Sisa Dua Bulan, Bahlil Gantikan Arifin Tasrif Jadi Menteri ESDM

Terpisah, Direktur Eksekutif Celios Bhima Yudhistira menguraikan, ada sekitar lima pekerjaan rumah yang harus Bahlil laksanakan sebagai Menteri ESDM anyar. 

Pertama, Kementerian ESDM mesti mempercepat transisi energi ke energi terbarukan, baik melalui skema JETP maupun dukungan langsung dari kebijakan ketenagalistrikan ESDM dan APBN.

Kedua, Bahlil juga perlu menambah jumlah PLTU batu bara yang bisa dipensiunkan, termasuk PLTU captive di kawasan industri. Begitu pula, merevisi Perpres 112/2022 yang masih memperbolehkan pembangunan PLTU kawasan industri baru. 

“Diperkirakan terdapat 21 GW PLTU kawasan industri yang hendak dibangun dan menghambat upaya Indonesia mencapai target emisi karbon,” tekan Bhima. 

Baca Juga: Profil Rosan Roeslani, Menteri Investasi/Kepala BKPM Yang Gantikan Bahlil

Ketiga, Kementerian ESDM bersama dengan Kementerian Keuangan perlu membahas revisi kewajiban pemenuhan pasar domestik (DMO) batu bara yang menimbulkan risiko ketergantungan bahan bakar fosil khususnya di pembangkit listrik.

Keempat, Menteri Bahlil juga patut mempermudah energi berbasis komunitas untuk menggunakan transmisi milik PLN dan menjual surplus listrik energi bersih ke PLN.

“Kelima, mendorong pajak produksi batu bara, dan evaluasi insentif pajak bagi smelter nikel yang belum selaras dengan tanggung jawab lingkungan (ESG),” urainya.

Dampak Reshuffle Ke Sentimen Pasar
Deni melanjutkan, dirinya juga tidak melihat dampak reshuffle kabinet akan berdampak jauh bagi pasar. Karena dampak perubahan pergantian menteri tidak akan bisa dilihat dampaknya ke perekonomian secara langsung. 

Dia mensinyalir, manuver Jokowi lewat reshuffle adalah murni untuk mengamankan fungsi politisnya. Bisa juga, perombakan yang dijalani memang diniatkan memberi ruang bagi pemerintahan baru untuk bisa start bekerja lebih awal sehingga transisi yang berlangsung berjalan cepat.

“Kalau maksudnya seperti itu (membantu proses transisi), ya baik-baik saja,” jelas Deni. 

Sebaliknya, jika reshuffle yang diimplementasi saat ini merupakan bentuk taktik politis sehingga bisa menimbulkan ketidakstabilan politik, kemungkinan pasar dapat bereaksi secara negatif. Misal, proses reshuffle di Menkum-HAM ditujukan untuk mempercepat atau menekan lawan politik lewat proses pengadilan atau penyelidikan.

“Nah itu kan lain hal lagi dan itu akan menciptakan destabilitas politik, pastinya kalau pasar melihatnya worry, karena itu artinya ketidakpastian akan tinggi. Tapi kalau ini tujuannya mempermulus transisi, ya baik-baik saja,” bebernya.


KOMENTAR

Silahkan login untuk memberikan komentarLoginatauDaftar