15 Januari 2025
08:35 WIB
Ekonom: Perusahaan Otomotif Jangan Raup Margin Berlebihan Supaya Penjualan Naik
Masa depan sektor otomotif akan bergantung pada dua hal, keterjangkauan harga (affordability), serta regulasi dan persyaratan.
Penulis: Aurora K MÂ Simanjuntak
Editor: Fin Harini
Sejumlah orang mengunjungi pameran Gaikindo Indonesia International Auto Show (GIIAS) 2024 hari terakhir di Indonesia Convention Exhibition (ICE) BSD, Serpong, Kabupaten Tangerang, Banten, Minggu (28/7/2024). Antara Foto/Muhammad Iqbal
JAKARTA - Penjualan otomotif roda empat selama satu dekade ini stagnan di angka 1 juta unit per tahun. Bahkan, pada 2024, penjualan mobil hanya menyentuh 865.723 unit.
Ekonom Raden Pardede menilai, penjualan mobil di Indonesia menurun imbas melemahnya daya beli kelas ekonomi menengah. Menurutnya, kelompok tersebut merupakan target pasar utama industri mobil.
Melihat stagnasi pasar otomotif dan penurunan daya beli, Raden mengimbau agar perusahaan otomotif tidak mengambil keuntungan atau margin yang terlalu besar.
"Jangan pula pengusahaan ini dalam situasi sekarang mengambil margin terlalu banyak," ujarnya dalam diskusi Prospek Industri Otomotif 2025 dan Peluang Insentif dari Pemerintah" di Kantor Kemenperin, Jakarta, Selasa (14/1).
Raden mengutarakan, masa depan industri otomotif RI akan bergantung pada dua hal. Itu meliputi keterjangkauan harga (affordability), serta regulasi dan persyaratan (regulation and requirement).
Menurutnya, para pelaku industri otomotif harus bisa menjalankan kedua aspek tersebut secara seimbang. Dengan demikian, ia meyakini kinerja penjualan mobil bisa lebih tokcer ke depannya.
"Keseimbangan itu menurut saya yang harus diperhatikan kalau memang kita ingin menumbuhkan industri mobil ke depan," kata Raden.
Baca Juga: Gaikindo: Penjualan Mobil 2024 Turun 13,9%, Bidik 900.000 Unit Di 2025
Secara rinci, Ekonom itu memaparkan, sedikitnya ada 8 faktor yang menyebabkan penjualan mobil di Indonesia mengalami penurunan. Pertama, rendahnya daya beli akibat penurunan kelas menengah.
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, masyarakat kelas menengah mengalami penurunan cukup signifikan selama 5 tahun terakhir. Dari 57,33 juta orang pada 2019, lalu turun menjadi 47,85 juta orang pada 2024.
Raden pun menilai, sepanjang 2019-2024, masyarakat kelas menengah yang menjadi pembeli potensial kendaraan roda empat turun sebanyak 9,48 juta.
"Kelas menengah inilah sebetulnya menjadi engine motor daripada perekonomian itu, karena kemampuan mereka belanja sangat besar sekali, itulah yang turun, dan itulah yang berpengaruh pada penjualan mobil," tutur Ekonom.
Kedua, menurunnya produktivitas tenaga kerja (labor productivity). Ketiga, melambatnya pertumbuhan PDB per kapita. Keempat, inflasi tinggi.
Kelima, nilai tukar mata uang asing. Keenam, suku bunga. Ketujuh, keterbatasan pembiayaan. Kedelapan, regulasi pemerintah.
"Jadi bagaimana supaya kelas menengah kita banyak, pekerjaannya makin bagus dengan gaji bagus. Itulah sebetulnya sebagai inti daripada kenapa terjadi stagnasi dari penjualan mobil," ucap Raden.
Adopsi EV Fleksibel dan Bertahap
Selanjutnya, Raden juga memberikan tip mendongkrak kinerja penjualan mobil listrik atau electric vehicle (EV) di Indonesia. Salah satunya, dengan cara mengadopsi EV secara bertahap dan fleksibel.
Ia berpesan agar adopsi kendaraan listrik di masyarakat dilakukan secara perlahan. Jangan tiba-tiba langsung berpindah dari Internal Combustion Engine (ICE) ke EV.
"Strategi industrialisasi kita di dalam otomotif tidak nol langsung ke satu, tidak seperti ICE langsung menjadi EV. Menurut saya sebagai ekonom, ini harus lebih fleksibel, jadi ada pack-nya, ada stages-nya," tegas Raden.
Ia memaklumi, dunia sekarang menginginkan kendaraan ramah lingkungan seperti EV. Namun ia mengingatkan, tiap negara punya tahap perkembangan masing-masing.
Baca Juga: OJK: Pembiayaan Kendaraan Listrik Multifinance November 2024 Turun Jadi Rp16,69 T
Raden pun mencontohkan, China ingin seluruh kendaraan yang beroperasi di negara tersebut dari ICE berubah langsung ke EV. Namun, menurutnya itu tidak mungkin serta merta dilakukan, atau bahkan diterapkan di Indonesia.
"Kita harus mendesain skenario untuk Indonesia sendiri. Skenario industri mobil Indonesia ke depan itu sangat tergantung pada 2 hal, affordability serta regulasi dan requirement," tegasnya sekali lagi.
Ia beranggapan, harga mobil yang terjangkau oleh masyarakat, serta perpindahan bertahap ke ranah EV, dapat mendorong pasar otomotif RI makin berkembang. Kemudian, ditambah penekanan margin dari sisi pengusaha.
"Tetap yang paling menentukan industri mobil ini ke depan, apakah tahun ini atau tahun berikutnya, adalah apakah kelas menengah itu makin naik atau tidak, yang juga membuat affordability-nya naik," tutup Raden.