29 Oktober 2025
19:06 WIB
Ekonom Ingatkan Risiko Pemberian Pinjaman Ke Pemda Dari APBN
Mengingat dana pinjaman ke pemda berasal dari APBN, setiap risiko gagal bayar dari pemda atau BUMN pada akhirnya akan menambah beban fiskal pusat,
Penulis: Fin Harini
Pengamat ekonomi dari Center of Reform on Economics (Core) Yusuf Rendy Manilet. ANTARA/HO-Core/am.
JAKARTA - Ekonom Center of Reform on Economics (CORE) Yusuf Rendy Manilet mengingatkan risiko kebijakan yang memungkinkan pemerintah pusat memberikan pinjaman kepada pemerintah daerah (pemda), BUMN dan BUMD dengan menggunakan dana dari APBN.
Untuk diketahui, Presiden RI Prabowo Subianto resmi meneken Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 38 Tahun 2025 tentang Pemberian Pinjaman oleh Pemerintah Pusat pada 10 September 2025.
“Di atas kertas, kebijakan ini dapat menjadi salah satu cara untuk mempercepat pembangunan infrastruktur dan mendorong kegiatan ekonomi di daerah. Namun, di sisi lain, potensi dampaknya terhadap kesehatan fiskal nasional tidak bisa dianggap ringan,” kata Yusuf saat di Jakarta, Rabu (29/10), dikutip dari Antara.
Mengingat dana berasal dari APBN, Yusuf mengingatkan bahwa setiap risiko gagal bayar dari pemda atau BUMN pada akhirnya akan menambah beban fiskal pusat, terutama jika tidak ada mekanisme pengawasan yang kuat dan disiplin dalam pengelolaan pinjaman.
Baca Juga: Menkeu Purbaya Belum Tahu Tentang Aturan Pinjaman Pemerintah Pusat Untuk Daerah
Dalam konteks ini, catat Yusuf, pengalaman China bisa menjadi pelajaran penting. Skema pembiayaan daerah di negara tersebut memang sempat berhasil mempercepat pembangunan, tetapi kemudian menciptakan tumpukan utang lokal yang besar karena lemahnya pengendalian dan pengawasan fiskal.
“Indonesia perlu berhati-hati agar kebijakan serupa tidak menimbulkan risiko yang sama, yakni terjadinya liabilities tersembunyi yang membebani APBN di masa mendatang,” kata dia.
Untuk itu, pemerintah perlu memastikan bahwa implementasi PP 38/2025 dijalankan dengan prinsip kehati-hatian (prudential fiscal management).
Setiap permohonan pinjaman harus diseleksi berdasarkan kapasitas fiskal daerah, tingkat kemandirian keuangan dan kelayakan ekonomi proyek yang akan dibiayai.
Pengawasan independen dan transparansi laporan juga menjadi kunci untuk mencegah penyalahgunaan dana atau pembiayaan proyek yang tidak produktif.
“Tanpa disiplin fiskal dan akuntabilitas yang jelas, kebijakan ini justru berisiko menciptakan tekanan baru pada APBN, bukan memperkuatnya,” kata Yusuf.
Belanja APBN Menjadi Pinjaman
Dihubungi secara terpisah, Ekonom Universitas Paramadina Wijayanto Samirin juga menyampaikan hal senada.
Ia mengingatkan pemberian pinjaman kepada pemda dan BUMN harus dilakukan secara hati-hati, hanya untuk kebutuhan mendesak dan sesuai kapasitas pembayaran.
Pembayaran pokok pinjaman dapat dilakukan secara berkala melalui pemotongan Transfer ke Daerah (TKD), baik setiap semester maupun setiap tahun.
“Untuk menghindari kepala daerah yang melempar tanggung jawab utang kepada penggantinya, tenor utang harus tidak boleh lebih panjang dari masa jabatan kepala daerah yang menandatangani perjanjian pinjaman. Hal lain, DPRD harus menyetujui rencana pinjaman tersebut,” kata Wijayanto.
Baca Juga: DPR Dukung PP 38/2025 Pinjaman Pusat ke Daerah: Bunga Lebih Murah dari Bank
Ia menilai kebijakan ini dipicu oleh kekhawatiran pemerintah bahwa pemda tidak mampu membiayai pembangunan, bahkan kebutuhan operasional, akibat pemangkasan TKD.
Selain itu, menurutnya, kebijakan ini mengandung unsur financial engineering sebagai upaya pemerintah menyiasati ketentuan defisit maksimal 3% terhadap PDB.
Wijayanto memandang PP 38/2025 membuka peluang bagi pemerintah untuk mengalihkan TKD yang semula tercatat sebagai belanja APBN menjadi pinjaman dari pemerintah pusat yang dikategorikan sebagai pembiayaan APBN.
“Jika ini berlanjut maka kita akan memasuki era di mana defisit APBN di bawah 3% tetapi utang pemerintah terus melejit. Ujung-ujungnya adalah semakin buruknya keberlanjutan fiskal kita,” kata dia.
Menurut dia, langkah yang lebih terbuka dan sehat adalah dengan menerbitkan APBN Perubahan untuk menyesuaikan TKD, serta meninjau kembali batas defisit APBN sebesar 3%. Meskipun tidak populer, opsi ini dinilai lebih aman dan transparan.