16 September 2025
20:55 WIB
Ekonom Ingatkan Dana Rp200 T ke Himbara Rawan Disalahgunakan Debitur
Himbara harus memutar otak agar kredit yang dicairkan debitur tak jadi gagal bayar. Ekonom mengingatkan saat ini banyak proyek mangkrak akibat daya beli masyarakat yang terus menurun.
Penulis: Fitriana Monica Sari
Editor: Khairul Kahfi
JAKARTA - Menteri Keuangan (Menkeu) Purbaya Yudhi Sadewa optimistis guyuran dana pemerintah yang bernilai jumbo Rp200 triliun untuk Bank Himbara akan mulai terserap efektif ke sektor riil.
Ekonom sekaligus pengamat pasar uang Ibrahim Assuaibi mengatakan, kucuran dana Rp200 triliun yang mengendap di BI untuk disalurkan perbankan menjadi kredit memang awalnya cukup menggembirakan pasar.
Namun, dia menilai program tersebut berpotensi melanggar konstitusi, terutama terhadap tiga undang-undang (UU), sekaligus berbau politis untuk mencari simpati publik.
"Kredit yang akan digelontorkan oleh perbankan ke perusahaan yang memiliki proyek, apa nantinya tidak akan disalahgunakan? Melihat saat ini kondisi ekonomi global sedang tidak baik-baik saja yang berimbas pada ekonomi domestik, salah satunya Indonesia," kata Ibrahim kepada media, Jakarta, Selasa (16/9).
Baca Juga: Ekonom: Injeksi Rp200 T ke Perbankan Langgar Konstitusi dan 3 UU
Ibrahim menegaskan, saat ini perbankan harus memutar otak agar kredit yang dicairkan nanti tidak menjadi gagal bayar. Apalagi, saat ini banyak proyek yang mangkrak akibat daya beli masyarakat yang terus menurun.
"Apalagi, banyak nantinya yang akan menyalahgunakan dana proyek tersebut, misal kasus kredit fiktif Eddy Tansil sebesar Rp1,3 triliun di era 90-an, jangan sampai terulang lagi," terang dia mengingatkan.
Walaupun, Kemenkeu telah menyanggah dengan mengatakan bahwa kebijakan tersebut akan memperkuat peran Bendahara Umum Negara dalam mengelola kas secara aktif dan optimal, sesuai praktek treasury management di negara-negara modern, di mana dana yang ditempatkan tetap dicatat, diawasi, dan dapat ditarik kembali.
Dalam hal pengucuran dana, kata Ibrahim, seharusnya dimulai dari proses legislasi yang baik melalui APBN dan diajukan dengan sistematis berapa jumlah yang diperlukan, serta program apa saja yang akan dijalankan.
"Proses penyusunan, penetapan dan alokasi APBN diatur oleh UUD 1945 Pasal 23, UU No. 17/2003 tentang Keuangan Negara, dan UU APBN setiap tahun," imbuhnya.
Baca Juga: OJK: Guyuran Rp200 T Di Himbara Perkuat Likuiditas dan Kredit Bank
Menurut Ibrahim, prosedur resmi dan aturan main ketatanegaraan harus dijalankan karena anggaran negara tergolong ranah publik, bukan privat atau perusahaan.
Oleh karena itu, proses kebijakan yang benar harus dijalankan berdasarkan aturan main. Sebab, jika tidak hal itu akan menjadi preseden buruk bahwa anggaran publik bisa dipakai seenaknya di masa mendatang.
"Pejabat-pejabat negara harus menaati aturan dan menjalankan kebijakan sesuai rencana kerja pemerintah (RKP), yang datang dari Kementerian/Lembaga dan pemerintah daerah, sehingga tidak ada program yang datang di tengah-tengah semaunya," tegas Ibrahim.