28 Januari 2025
18:30 WIB
Ekonom Beberkan Alasan Ekspor Olahan Nikel Untuk EV Bakal Anjlok
Celios memprediksi, kinerja ekspor komoditas nikel olahan tahun ini bakal anjlok.
Penulis: Aurora K M Simanjuntak
Ilustrasi Donald Trump dan Mobil Listrik.Shutterstock/Summit Art Creations,Anna Moneymaker
JAKARTA - Center of Economic and Law Studies (Celios) memprediksi, kinerja ekspor komoditas nikel olahan tahun ini bakal anjlok. Padahal Indonesia salah satu negara yang sedang menggalakkan hilirisasi nikel, terutama sebagai bahan baku baterai kendaraan listrik (electric vehicle/EV).
Direktur Eksekutif Celios Bhima Yudhistira menyebut, itu merupakan satu dampak negatif akibat Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump mencabut mandat penggunaan EV di negaranya.
"Harga nikel terpantau anjlok -3,78% year on year, sementara lithium sebagai campuran baterai EV turun 18,5% year on year," ujarnya kepada Validnews, Selasa (28/1).
Bhima pun menjelaskan penyebab kinerja ekspor nikel bakal anjlok tahun ini, yakni salah satunya, kondisi perekonomian China yang sedang mengalami perlambatan.
Menurutnya, hal itu bakal berimbas ke Harga nikel olahan, terutama bahan baku stainless steel.
Bhima juga menyebut, ekspor turunan nikel Indonesia sangat bergantung ke China. Kemudian China menjadikan AS sebagai pasar ekspor EV.
Baca Juga: Trump Hentikan Target Kendaraan Listrik Biden Dan Bekukan Dana Infrastruktur EV
Sementara itu, AS menerapkan tarif tinggi terhadap barang-barang yang diimpor dari China. Buntutnya, itu akan melemahkan permintaan terhadap produk dari China, termasuk EV. Kemudian, berpotensi mengganggu penyerapan olahan nikel dari Indonesia.
"Ekspor nikel olahan karena bergantung ke China sementara AS kenakan tarif tinggi ke China sekaligus mandat EV dicabut Trump padahal sebagian rantai pasok EV China ke AS juga," tutur Ekonom Celios.
Bhima pun menyoroti, hilirisasi nikel di Indonesia makin didominasi oleh perusahaan asal China, pasca Trump menyetop pengembangan EV, dan malah condong mendukung penggunaan bahan bakar fosil.
Menurutnya, investasi perusahaan AS terutama untuk smelter nikel hingga pabrik baterai semakin kecil prospeknya. Padahal, ia menilai, sebelumnya kebijakan Inflation Reduction Act (IRA) memberi harapan masuknya investor asal AS yang membawa perubahan pada tata kelola hilirisasi tambang di Indonesia.
Untuk Ekonom Celios juga menyarankan, pemerintah RI perlu melakukan diversifikasi negara asal investasi dalam menjalankan hilirisasi nikel. Jangan hanya menggandeng perusahaan China saja, padahal pemainnya banyak, seperti Jepang dan Korea.
"Seharusnya, (Indonesia) gandeng perusahaan dari Eropa, Jepang dan Korea untuk investasi di smelter. Selain diversifikasi negara asal investasi, juga perkuat tata kelola hilirisasi nikel," tegas Bhima.
Dampak Kebijakan AS Belum Signifikan
Di sisi lain, Direktur Eksekutif CORE Mohammad Faisal menilai, pencabutan mandat menggunakan EV di AS belum berdampak signifikan terhadap perkembangan EV di Indonesia.
Namun, ia melihat, dalam jangka panjang kebijakan Trump tersebut akan mengganggu kinerja ekspor EV besutan Indonesia. Utamanya, produsen yang berorientasi mengekspor EV ke pasar AS, karena ada penurunan permintaan konsumen.
"Indonesia statusnya sekarang sebetulnya untuk EV, kaitannya masih relatif belum banyak pengembangan dari sisi ekosistemnya atau dampaknya. Karena kita sendiri ekspor untuk input ke baterai listrik baru sedikit, tidak sampai 20% yang kita ekspor dalam bentuk turunan dari nikel," terangnya kepada Validnews, Selasa (28/1).
Baca Juga: Celios: Ada 4 Dampak Dicabutnya Mandat Kendaraan Listrik AS Terhadap Indonesia
Faisal menerangkan, komoditas turunan nikel biasanya diolah oleh China. Kemudian, dipakai untuk mobil-mobil yang biasanya ada di pasar AS atau brand Amerika atau Eropa, bukan brand china justru.
Ekonom CORE mengatakan, permintaan olahan nikel akan bergantung pada seberapa besar produksi baterai EV yang berbahan baku nikel, terutama dari brand Amerika dan Eropa.
"Jadi kala AS menghambat atau tidak mendorong pengembangan produksi EV, berarti akan mengurangi input turunan dari nikel yang dipakai untuk bahan baku baterai brand AS tersebut. Dengan demikian, ekspor kita, ekspor nikel yang berorientasi pada EV juga berkurang," imbuhnya.
Namun, Faisal mengingatkan, baru 20% olahan nikel yang dimanfaatkan untuk EV, sedangkan 80% untuk kebutuhan non EV. Misalnya, untuk pembuatan sendok dan garpu berbahan besi tahan karat (stainless steel).
"Jadi ada dampak bagi ekspor kita terutama turunan nikel, tapi tidak terlalu besar menurut saya, masih relatif terbatas dampaknya atau penurunannya," ucapnya.