14 Agustus 2024
14:38 WIB
Ekonom: APBN Memungkinkan Sediakan Kuliah Gratis
Pemerintah diminta memprioritaskan pendidikan, bisa dengan cara memangkas anggaran yang tak signifikan lalu mengalokasikannya ke pos belanja pendidikan untuk menyelenggarakan kuliah gratis.
Penulis: Aurora K MÂ Simanjuntak
Sejumlah mahasiswa melakukan demonstrasi menolak kebijakan Uang Kuliah Tunggal (UKT), di Universitas Jendral Soedirman (Unsoed) Purwokerto, Banyumas, Jateng, Rabu (17/12). Antara Foto/Idhad Zakaria
JAKARTA - Anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) dinilai masih memiliki ruang untuk menyediakan pendidikan gratis. Masalahnya, pemerintah memiliki political will atau tidak untuk memangkas belanja non-darurat lalu mengalokasikannya untuk pos pendidikan.
Hal itu disampaikan Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (Celios), Bhima Yudhistira Adhinegara. Dia memproyeksikan, anggaran pendidikan gratis bagi mahasiswa perguruan tinggi negeri (PTN) yang dibutuhkan sebesar Rp46-50 triliun pada 2024-2025.
Bhima menuturkan, anggaran tersebut hanya setara 22,4% alokasi belanja fungsi pendidikan yang senilai Rp220,8 triliun di APBN. Proyeksi juga dapat disesuaikan dengan inflasi indeks harga produsen (IHP) dari komponen pendidikan.
"Dengan proyeksi anggaran pendidikan gratis bagi mahasiswa PTN yang dibutuhkan sebesar Rp46-50 triliun pada 2024-2025, maka kemampuan APBN melakukan fully funded sangat realistis," ujarnya dalam keterangan tertulis, Rabu (14/8).
Bhima memberikan ilustrasi sederhana, total anggaran untuk biaya pendidikan gratis bagi perguruan tinggi mencapai Rp42,9 triliun per tahun ajaran.
Baca Juga: Cita-cita Terganjal Biaya Pendidikan Tinggi
Angka itu didapatkan dari total Mahasiswa Perguruan Tinggi Negeri (PTN) yang mencapai 3,38 juta orang, lalu dikalikan dengan rata-rata total biaya kuliah Rp12,7 juta per tahun ajar untuk PTN.
Adapun rata-rata total biaya kuliah ini merupakan hasil Survei Badan Pusat Statistik (BPS) 2018-2021 yang melibatkan 75.000 sampel rumah tangga.
Bhima menyoroti, beban biaya kuliah lantaran kini menjadi tantangan yang banyak dialami masyarakat Indonesia, khususnya mahasiswa. Padahal, menurutnya, masalah itu datang dari sikap abai politik anggaran pemerintah.
Dia menilai, pemerintah tidak memprioritaskan pendidikan sebagai modal melakukan leap frogging atau lompatan reformasi struktural ekonomi yang berkualitas. Hal inilah yang menurutnya tercermin dari politik anggaran pemerintah sekarang. Dengan kata lain, medit untuk aspek pendidikan.
"Masalah utama dari beban biaya kuliah yang dihadapi mahasiswa berasal dari abainya politik anggaran pemerintah untuk memprioritaskan pendidikan," kata Pengamat Ekonomi Celios.
Memangkas dan Refocusing Belanja
Bhima pun memberikan beberapa saran yang bisa menjadi pertimbangan pemerintah supaya mampu menyelenggarakan pendidikan gratis yang bersumber dari APBN. Pertama, dia melihat banyak pos belanja pemerintah yang bisa dipangkas.
Contohnya, belanja pegawai, perjalanan dinas, belanja barang atau terkait belanja birokrasi yang ditotal mencapai Rp890 triliun pada tahun anggaran 2024. Ini porsinya setara 4 kali belanja fungsi pendidikan yang senilai Rp220,8 triliun pada 2024.
"Padahal dengan peningkatan teknologi dan informasi, belanja birokrasi dapat dipangkas dan direlokasi ke tambahan dukungan operasional perguruan tinggi negeri," kata Bhima.
Kedua, mengalihkan pagu infrastruktur untuk pendidikan. Pengamat Ekonomi itu menilai, anggaran infrastruktur yang mencapai Rp422,7 triliun dan terus meningkat di 2025 masih memiliki ruang untuk dilakukan efisiensi, hingga pembatalan proyek yang masih dalam tahap feasibility study (studi kelayakan).
Dia mengatakan, sebagian anggaran infrastruktur yang tidak memiliki dampak positif ke perekonomian masyarakat, tidak berkorelasi ke penurunan biaya logistik secara signifikan dapat dialihkan ke investasi pendidikan yang lebih mendesak.
Baca Juga: Megawati Soroti UKT Mahal: Harusnya Pendidikan Itu Gratis
Ketiga, menghemat belanja dengan mengurangi jumlah Nomenklatur Kementerian/Lembaga (K/L). Ini bertujuan untuk refocusing belanja pemerintah pusat guna menghindari duplikasi program, sebagai contoh duplikasi program pemberdayaan UMKM yang tidak fokus tersebar di berbagai Kementerian/Lembaga (K/L).
"Hasil penggabungan dan penghilangan Nomenklatur akan menjadi ruang fiskal yang lebih baik untuk mengurangi beban operasional PTN se-Indonesia," ujar Bhima.
Adapun per Juli 2024, Kementerian Keuangan mencatat, belanja pemerintah pusat untuk bidang pendidikan, kesehatan, infrastruktur, perlindungan sosial, energi, pertanian dan UMKM mencapai Rp872,8 triliun.
Khusus untuk pos pendidikan, realisasi belanjanya mencapai Rp26,9 triliun. Itu terdiri dari Program Indonesia Pintar Rp8,9 triliun untuk 11,2 juta siswa, program KIP Kuliah Rp7 triliun untuk 875.000 mahasiswa, BOS dari Kemenag Rp7,4 triliun untuk 6,4 juta siswa, dan BOPTN Rp3,6 triliun untuk 197 PTN. Sementara belanja pemerintah pusat untuk fungsi pendidikan mencapai Rp225,1 triliun.
Terakhir, Bhima menambahkan, beban biaya kuliah di Indonesia sekarang ini juga diperparah dengan terbitnya Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Permendikbud Ristek) Nomor 2 Tahun 2024 tentang Standar Satuan Biaya Operasional Pendidikan Tinggi pada Perguruan Tinggi Negeri di Lingkungan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi.
Sejalan dengan itu, dia mewakili Celios sekaligus Amicus Curiae (sahabat Pengadilan) meminta pemerintah dan Majelis Hakim yang tengah menangani kasus soal biaya kuliah untuk mencabut Permendikbud Ristek 2/2024; karena tidak sejalan dengan upaya menghadirkan kesempatan akses pendidikan yang terjangkau.