27 Maret 2025
18:30 WIB
Dirjen Pajak Jadi Komisaris Utama BTN, IWPI: Penghinaan Keadilan Pajak
Ditunjuknya Dirjen Pajak Suryo Utomo menjadi Komisaris Utama Bank BTN dinilai melanggar sejumlah Undang-Undang yang mengatur ketentuan pejabat publik.
Penulis: Siti Nur Arifa
Editor: Khairul Kahfi
Dirjen Pajak Suryo Utomo akan fokus melakukan pengawasan kepatuhan dan penegakan hukum terhadap wajib pajak, guna mengoptimalisasi penerimaan pajak sepanjang 2025, Jakarta, Kamis (13/3). Dok Tangkapan Layar
JAKARTA - Ketua Umum Ikatan Wajib Pajak Indonesia (IWPI) Rinto Setiyawan menegaskan, rangkap jabatan yang dilakukan Dirjen Pajak Suryo Utomo dengan turut menjadi Komisaris Utama Bank BTN yang juga menjadi objek pengawasan pajak, merupakan bentuk penghinaan terhadap keadilan pajak.
Bukan hanya masalah etik, Rinto menilai, kondisi tersebut merupakan bentuk pelanggaran terhadap prinsip dasar hukum, pemerintahan yang baik, dan keadilan konstitusional.
"Kami dari Ikatan Wajib Pajak Indonesia (IWPI) menyatakan keprihatinan dan penolakan keras terhadap praktik rangkap jabatan yang dilakukan oleh Dirjen Pajak saat ini," tegas Rinto dalam keterangan tertulis yang diterima, Jakarta, Kamis (27/3).
Baca Juga: Cegah Penerimaan Pajak Makin Anjlok, DJP Fokus Pengawasan Dan Penegakan Hukum
Perlu diketahui, Direktur Jenderal Pajak Kementerian Keuangan Suryo Utomo ditunjuk menjadi komisaris utama PT Bank Tabungan Negara (Persero) setelah diputuskan dalam Rapat Umum Pemegang Saham Tahunan (RUPST) yang berlangsung pada Rabu, 26 Maret 2025.
Penunjukkan Suryo menggantikan Chandra M. Hamzah, yang sebelumnya diangkat melalui RUPSLB pada November 2019.
Rinto menegaskan, Dirjen Pajak bertugas dalam pengawasan, pemeriksaan, dan penindakan terhadap wajib pajak, yang sejatinya dari APBN, dibiayai oleh rakyat, dan diberi mandat untuk bersikap adil dan netral terhadap seluruh wajib pajak, baik rakyat kecil, pelaku UMKM, perusahaan swasta, maupun BUMN seperti BTN.
Sebab itu, Rinto mempertanyakan sikap objektif Suryo Utomo dalam menjalankan tugas nantinya, bila menjalani rangkap jabatan sebagai Komisaris Utama bank BTN.
"Bagaimana mungkin seorang Dirjen (Pajak) dapat bersikap objektif terhadap BTN, jika pada saat yang sama ia menerima gaji dan fasilitas sebagai Komisaris Utama BTN? Ini adalah konflik kepentingan struktural, dan merupakan bentuk potensi penyalahgunaan kekuasaan yang terang benderang," ujarnya.
Pelanggaran Undang-Undang
Rinto memaparkan, penunjukkan Suryo Utomo sebagai Komisaris Utama BTN setidaknya menandai pelanggaran terhadap sejumlah Undang-Undang. Utamanya, UU No. 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik Pasal 17 huruf a, yang secara eksplisit melarang ASN merangkap jabatan sebagai komisaris perusahaan.
Kedua, UU No. 5 Tahun 2014 tentang ASN yang menyebut bahwa ASN harus bebas dari konflik kepentingan dan menjunjung profesionalisme. Ketiga, UU No. 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan Konflik kepentingan diartikan sebagai penggunaan wewenang untuk kepentingan pribadi yang dapat memengaruhi netralitas keputusan.
Keempat, penunjukkan Suryo Utomo sebagai Komisaris juga dinilai mencederai UU No. 19 Tahun 2003 tentang BUMN yang menyatakan Komisaris harus bertindak independen, tidak boleh memiliki kepentingan yang mengganggu pelaksanaan tugas secara mandiri.
Di sisi lain, penunjukkan Suryo sebagai Komisaris BTN juga mencederai Putusan MK No. 80/PUU-XVII/2019 yang menegaskan larangan rangkap jabatan bagi pejabat negara, termasuk yang diangkat langsung oleh Presiden.
"Bayangkan betapa tidak adilnya ini bagi jutaan wajib pajak yang diperiksa, didenda, bahkan dipidana karena kesalahan administrasi atau keterlambatan pelaporan. Sementara seorang pejabat yang seharusnya menjadi simbol ketegasan dan integritas fiskal, justru berada dalam jebakan konflik kepentingan dengan objek yang seharusnya diawasi," tekan Rinto.
Rinto menyatakan, pihaknya mendesak pemerintah terutama presiden untuk segera mencopot jabatan komisaris utama BTN dari Dirjen Pajak demi menjaga integritas sistem perpajakan nasional.
Rinto juga menekankan, agar dilakukan audit menyeluruh terhadap seluruh praktik rangkap jabatan di Kementerian dan BUMN, serta merevisi Peraturan Menteri BUMN yang bertentangan dengan hukum yang lebih tinggi.
Sebab menurutnya, rangkap jabatan pejabat negara bukan hanya terkait masalah etika, melainkan indikasi sistemik rusaknya batas antara pengawas dan yang diawasi.
"Bila ini dibiarkan, maka kepercayaan publik terhadap institusi pajak akan runtuh, dan kewajiban membayar pajak tak lagi dipandang sebagai kontribusi mulia, melainkan pemaksaan sepihak dari negara yang tak adil," pungkasnya.