c

Selamat

Sabtu, 15 November 2025

EKONOMI

09 September 2024

20:18 WIB

Dirjen EBTKE Ungkap Keluhan Kepala Daerah: Listrik Mereka Hanya 4 Jam

Dirjen EBTKE  menilai Pemanfaatan Bersama Jaringan Transmisi (PBJT) jadi salah satu solusi pemerataan listrik hingga wilayah 3T dan mengatasi keluhan kepala daerah soal listrik.

Penulis: Yoseph Krishna

Editor: Fin Harini

<p id="isPasted">Dirjen EBTKE Ungkap Keluhan Kepala Daerah: Listrik Mereka Hanya 4 Jam</p>
<p id="isPasted">Dirjen EBTKE Ungkap Keluhan Kepala Daerah: Listrik Mereka Hanya 4 Jam</p>

Ilustrasi pemadaman listrik di Kota. Shutterstock/Menna

JAKARTA - Direktur Jenderal Energi Baru, Terbarukan, dan Konservasi Energi (EBTKE) Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Eniya Listiani Dewi menyebut ada banyak keluhan dari kepala daerah mengenai listrik yang terbatas.

"Saya menerima surat dari gubernur, bupati, ini listrik saya hanya 4 jam, mbok ya dibikin jadi 12 jam," ungkapnya di Kantor Ditjen EBTKE, Senin (9/9).

Di lain sisi, listrik di kota-kota besar, utamanya Jakarta disebutkannya saat ini menyala tanpa kedip selama 24 jam penuh.

Menurut Eniya, kondisi itu jadi gambaran nyata sektor kelistrikan masih menjadi pekerjaan rumah (PR) besar bagi Indonesia.

Ia menilai, salah satu solusi permasalahan ini ialah dengan Pemanfaatan Bersama Jaringan Transmisi (PBJT) yang sejatinya sudah termaktub dalam UU Ketenagalistrikan.

Baca Juga: Potensi Kapasitas PLTS RI Capai 3,3 TW

"Dalam UU, kita sudah membuka kesempatan pemanfaatan jaringan. Kenapa selama ini ada di UU Ketenagalistrikan tapi kok tidak jalan? Inilah yang menjadi PR besar. Bayangkan di sana cuman 4 jam, kita 24 jam. Mereka hanya minta 12 jam aja, dipanjangin," imbuh Eniya.

Adapun PBJT yang termaktub dalam Rancangan Undang-Undang Energi Baru dan Energi Terbarukan (RUU EBET) diwajibkan hanya untuk listrik bersih, yakni yang bersumber dari EBT.

Meski begitu, implementasi PBJT memakan investasi yang tidak sedikit. Untuk jaringan transmisi dan distribusinya saja, perusahaan pelat merah, yakni PT PLN membutuhkan sekitar US$30 miliar.

Di samping kebutuhan investasi dan distribusi sebesar US$30 miliar, proyek pembangkit EBT juga memakan biaya hingga kisaran US$80 miliar.

"Jadi total ada sekitar Rp1.600 triliun. Lalu, kapan tercapainya kalau tidak dibantu pihak internasional, swasta, dan sebagainya? Dengan skenario seperti ini, transmisi akan menjadi backbone dan distribusi sebagai fishbone," jelas dia.

Implementasi PBJT, sambungnya, bertujuan meratakan aliran listrik hingga ke daerah tertinggal, terdepan, dan terluar (3T).

"Jadi isu liberalisasi itu tidak ada sama sekali, tidak ada," tegas Eniya.

Sekadar informasi, pemerintah melayangkan usulan skema baru terkait PBJT lewat RUU EBET. Skema ini bertujuan untuk mempercepat pengembangan energi bersih dan meningkatkan efisiensi penggunaan jaringan transmisi.

Baca Juga: IESR: Power Wheeling Tak Akan Rugikan PLN

Salah satu skema yang diusulkan adalah mengatur beberapa batasan terkait pemanfaatan jaringan transmisi. Eniya menegaskan skema itu bukanlah lampu hijau bagi pemilik pembangkit EBT untuk menyalurkan listriknya secara langsung ke konsumen, baik di dalam maupun di luar wilayah usaha (wilus) PLN.

Tetapi, skema PBJT dalam RUU EBET itu memungkinkan pembangkit yang berstatus Izin Usaha Pembangkit Tenaga Listrik Umum (IUPTLU) di wilus PLN untuk menyalurkan listrik ke kawasan industri melalui wilus di luar milik PLN dengan menyewa jaringan milik PT PLN.

Selain itu, pembangkit status Izin Usaha Pembangkit Tenaga Listrik Surya (IUPTLS) dan konsumen PLN memiliki sendiri Pembangkit EBET yang menyalurkan listrik ke beban perusahaan tertentu dengan menyewa jaringan PLN.

"Jadi selama masih di wilus PLN dan ada sumber EBET, kita boleh melakukan pemakaian transmisi listrik bersama PLN dan bisa disuplai ke konsumen PLN di wilus usaha tertentu," pungkas Eniya Listiani Dewi.


KOMENTAR

Silahkan login untuk memberikan komentarLoginatauDaftar