27 Februari 2023
17:04 WIB
Penulis: Yoseph Krishna
Editor: Fin Harini
JAKARTA - Institute for Essential Services Refom (IESR) menganggap penolakan Kementerian Keuangan untuk memasukkan skema power wheeling dalam RUU Energi Baru dan Energi Terbarukan (EBET) tidak masuk akal.
Apalagi, Kemenkeu beralasan skema tersebut akan menyebabkan kerugian bagi PT PLN karena jaringan yang dimiliki akan digunakan juga oleh pihak lain. PLN sendiri yang diketahui tengah mengalami kondisi oversupply ketenagalistrikan.
Direktur Eksekutif IESR Fabby Tumiwa dalam sesi diskusi daring menyebut bahwa PLN justru akan memiliki sumber revenue baru dari mentransmisikan listrik jika membuka skema power wheeling.
Pasalnya, skema ini tidak diberikan secara gratis melainkan ada tarif yang ditetapkan untuk memperoleh jaringan transmisi PLN.
"Jadi kalau ada yang bilang PLN akan dirugikan, menurut saya tidak tepat. Dalam jangka panjang, justru PLN bisa mendapat penghasilan tambahan dan bahkan punya pemasukan yang bisa dipakai untuk berinvestasi lagi menguatkan transmisi listrik," jabarnya di Jakarta, Senin (27/2).
Menurut Fabby, skema power wheeling merupakan sebuah konsekuensi dari struktur industri ketenagalistrikan, di mana saat ini Indonesia menganut sistem vertical integrated, yakni seluruh pembangkit, transmisi, hingga ke distribusi dikuasai oleh PT PLN.
Praktis untuk menjual tenaga listrik, harus dilakukan oleh pemegang wilayah usaha yang mana di seluruh Indonesia dipegang oleh PT PLN. Artinya, pihak-pihak lain tidak bisa membangun transmisi listrik sendiri karena tidak punya wilayah usaha.
"Karena hanya PLN yang boleh membangun, jaringannya harusnya boleh dong dimanfaatkan bersama-sama. Ini sama halnya dengan open access untuk jaringan gas," tutur Fabby.
Asal tahu saja, skema power wheeling sebetulnya masuk dalam draf daftar inventarisasi masalah (DIM) RUU EBET yang diusulkan pemerintah. Uniknya ketika pembahasan RUU EBET tiba di tingkat kabinet yang melibatkan banyak kementerian, muncul penolakan dari Kementerian Keuangan dengan alasan akan merugikan PT PLN.
"Ini tentu menarik kenapa Kemenkeu kemudian menolak power wheeling sehingga Kementerian ESDM sebagai penanggung jawab DIM RUU EBET harus menghapus ketentuan tersebut," kata dia.
Padahal, ketentuan power wheeling bukanlah hal asing di Indonesia. Skema tersebut sebelumnya sudah ada di UU Ketenagalistrikan dan berlanjut masuk di Peraturan Menteri ESDM Nomor 1 Tahun 2015, UU Cipta Kerja, hingga Peraturan Menteri ESDM Nomor 11 Tahun 2021.
Dari sederet latar belakang mengenai pentingnya pemerintah mengaktifkan power wheeling dalam RUU EBET, Fabby menegaskan bahwa Kemenkeu tak punya alasan konyol lagi untuk menolak ketentuan tersebut.
Dia bahkan mengatakan, untuk bagian energi terbarukan, harusnya ada renewable power wheeling di dalamnya.
"Khusus bagian energi terbarukan, harusnya yang masuk itu renewable power wheeling, jadi yang dikhususkan untuk mengevakuasi daya pembangkit energi terbarukan, bukan energi lain-lain. Itu bisa juga dilihat sebagai instrumen pendukung energi terbarukan," tandas Fabby Tumiwa.
Tambah Beban
Terpisah, pengamat energi dari UGM Fahmi Radhi, dilansir dari laman resmi UGM, menilai penerapan power wheeling memang akan lebih menguntungkan bagi produsen listrik swasta karena mereka akan dapat menjual langsung listrik yang dihasilkan kepada konsumen rumah tangga dan industri.
Tanpa harus membangun jaringan transmisi dan distribusi sendiri dengan mekanisme power wheeling, maka produsen listrik swasta dapat menggunakan jaringan milik PLN secara open sources dengan membayar sejumlah fee yang ditetapkan oleh Menteri Energi Sumberdaya Mineral (ESDM).
Penerapan power wheeling ini, menurutnya, berpotensi merugikan PLN karena menggerus permintaan pelanggan organik PLN hingga 30% dan pelanggan non-organik hingga 50%. Kerugian PLN itu akan menambah beban APBN untuk membayar kompensasi kepada PLN.
“Power wheeling juga berpotensi merugikan rakyat sebagai konsumen, lantaran harga setrum ditetapkan berdasarkan mekanisme pasar, yang tergantung demand and supply. Pada saat demand listrik tinggi dan supply tetap, tarif listrik pasti akan dinaikkan, yang menambah beban rakyat sebagai konsumen listrik," terangnya.
Sementara itu, pernyataan beredar yang mengatakan, power wheeling akan menarik investasi listrik EBT belum terbukti benar. Data justru membuktikan bahwa meskipun tidak ada mekanisme power wheeling, investasi listrik EBT masih tetap tinggi, yang tersebar di berbagai daerah Luar Jawa.
Dia mencontohkan PLTS Kupang, Sidrap, Gorontalo, Likupang, PLTS Apung Cirata dan PLTB Kalsel. "Berdasarkan data itu, tidak perlu ada kekhawatiran dan kesangsian lagi bagi DPR untuk segera mengesahkan UU EBT, tanpa pasal power wheeling, dalam waktu dekat ini," sarannya.