06 Desember 2023
19:37 WIB
Penulis: Yoseph Krishna
JAKARTA - Manager Fuel Channel & Partnership PT Pertamina Patra Niaga Daniel Alhabsy menegaskan pihaknya mendukung penuh kehadiran Kampung Nelayan Modern di daerah-daerah pesisir.
Dukungan tersebut, salah satunya dituangkan lewat kemudahan pengurusan izin untuk membangun SPBU Nelayan, baik oleh koperasi maupun unit usaha berbadan hukum seperti PT.
Pembangunan SPBUN, sambung Daniel, dimulai dari pengajuan permohonan kepada Kantor Regional Pertamina setempat oleh calon mitra yang dilampirkan dengan surat rekomendasi berjenjang dari Dinas Kelautan dan Perikanan tingkat Kabupaten/Kota, Dinas Kelautan dan Perikanan tingkat Provinsi, hingga Kementerian Kelautan dan Perikanan.
"Dilampirkan juga dokumen kelengkapan badan usaha mulai dari akta pendirian perusahaan atau koperasi, dokumen terkait lahan yang akan didirikan SPBUN apakah itu SHM, HGB, atau kalau tidak dimiliki bisa dengan surat keterangan sewa-menyewa," jabarnya dalam diskusi Bincang Bahari di Kantor KKP, Rabu (6/12).
Baca Juga: Teten: Tahun Ini Akan ada 7 Piloting SPBUN
Setelah permohonan diajukan dengan kelengkapan dokumen, Pertamina akan melakukan evaluasi lapangan guna memastikan lokasi yang diajukan cocok untuk didirikan SPBUN, khususnya terkait aksesibilitas.
"Apakah itu bisa dilalui mobil tangki atau tidak, jangan sampai tidak bisa dilalui. Karena, ada jembatan yang kapasitasnya tidak bisa dilalui mobil tangki 5 ton," sebut Daniel.
Selain itu, evaluasi lapangan juga dijalankan untuk memastikan dan memverifikasi kebutuhan nelayan setempat. Tujuannya, supaya investasi yang dikeluarkan calon mitra tidak terbuang begitu saja.
"Jangan sampai kita bikin SPBUN, sudah keluar investasi, tapi volume tidak cukup secara keekonomian hingga biaya investasi tadi tidak kembali," tutur dia.
Permohonan dan verifikasi lapangan itu merupakan proses persetujuan pembangunan SPBUN dari Pertamina.
Selanjutnya, calon mitra wajib mengantungi izin dari pemerintah dalam bentuk Nomor Induk Berusaha (NIB), Sertifikat Standar (SS), Pernyataan Kesanggupan Pengelolaan Lingkungan Hidup (PKPLH), hingga Persetujuan Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang (PKKPR).
Khusus untuk PKPLH, calon mitra hanya perlu memberikan pernyataan mandiri atau self declare jika SPBUN yang akan dibangun berkapasitas di bawah 20 KL. Sedangkan untuk SPBUN dengan volume lebih dari 20 KL, diwajibkan mengantungi verifikasi dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.
Sementara itu, pada PKKPR, menjadi wewenang pemerintah daerah untuk melihat kelayakan lokasi yang akan dibangun SPBUN dari sisi tata ruang wilayah supaya tidak masuk dalam jalur hijau.
Kemudian, diperlukan juga perizinan terkait bangunan gedung (PBG) dan Sertifikat Laik Fungsi (SLF) yang harus disiapkan mulai dari tahap awal hingga proses pembangunan SPBUN.
"Dengan adanya UU Cipta Kerja, perizinan dipermudah dengan sistem OSS sehingga sebagian besar perizinan diurus secara online," kata Daniel.
Setelah semua dokumen perizinan dikantungi, Pertamina akan mengeluarkan persetujuan untuk pembangunan SPBUN dengan desain dan standar tertentu. Setelah rampung dibangun dan dipastikan sesuai standar, barulah SPBUN dapat menyalurkan bahan bakar minyak (BBM).
Tapi sebelum itu, SPBUN yang ingin menyalurkan JBT Solar dan JBKP Pertalite harus mendapat kuota tertentu yang ditetapkan Badan Pengatur Hilir Minyak dan Gas Bumi (BPH Migas). Pendaftaran akan dilakukan oleh Pertamina kepada BPH Migas supaya SPBUN bisa mengantungi kuota penyaluran BBM subsidi.
"Setelah kuota terbit, baru bisa menyalurkan Solar atau Pertalite. Di luar dua bahan bakar tersebut, bisa dilengkapi dengan bahan bakar non subsidi yang tidak memerlukan persetujuan dari BPH Migas," ujar Daniel Alhabsy.
Sudah Ada 404 SPBUN
PT Pertamina (Persero) mengungkapkan saat ini telah terdapat 404 SPBU Nelayan (SPBUN) yang tersebar dari Sabang hingga Merauke dalam rangka mendukung sektor kelautan dan perikanan nasional.
Daniel menyebut tersebarnya 404 unit SPBUN jadi bentuk dukungan perusahaan dalam menyediakan bahan bakar bagi nelayan.
Keberadaan SPBUN, sambung Daniel, diharapkan bisa memotong ongkos nelayan yang biasa membeli BBM solar secara eceran untuk berlayar dan mencari ikan.
"Di luar itu terdapat 64 yang terus bertambah sesuai kebutuhan. Di mana ada sentra nelayan, kita juga bangun SPBUN di situ," ungkapnya.
Dalam mendirikan SPBUN, Pertamina Patra Niaga tidak hanya berkomunikasi dengan calon mitra, dalam hal ini koperasi, melainkan juga bersinergi lintas kementerian, yakni dengan Kementerian Koperasi dan UKM serta Kementerian Kelautan dan Perikanan.
"Saat ini kita sudah kerja sama juga dengan KemenkopUKM untuk identifikasi koperasi-koperasi nelayan seluruh Indonesia untuk mendirikan SPBUN," kata Daniel.
Teranyar, Pertamina Patra Niaga telah mendirikan SPBUN di Biak dalam rangka mendukung Kampung Nelayan Modern (Kalamo) Samber Binyeri, Biak, Papua. SPBUN di Kalamo tersebut berada persis di depan pintu masuk.
Ke depan, SPBUN akan dibangun lebih dekat dengan kapal nelayan supaya para pencari ikan tak perlu lagi mengangkut bahan bakar menggunakan jerigen seperti yang selama ini dilakukan.
"Syukur kalau titik SPBUN bisa persis di pinggir pantai, itu bisa mengisi langsung ke tangki penyimpanan bahan bakar di kapal. Jadi, bisa mengurangi biaya pengangkutan oleh nelayan," sebutnya.
Pertamina sendiri mengkategorikan SPBUN dalam tiga golongan, pertama ialah Modular Underground Tank dengan kapasitas 20 KL. Untuk mendirikan SPBUN ini, calon mitra hanya membutuhkan self declare sebagai persyaratan mengantungi PKPLH.
Baca Juga: Kaimana Segera Miliki SPBU Nelayan
Namun demikian, Pertamina Patra Niaga tak menutup kemungkinan untuk menambah kapasitas jika SPBUN berada di Kampung Nelayan Modern yang cukup besar dengan kebutuhan BBM yang tinggi, dengan konsekuensi pengurusan PKPLH lebih advance dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.
"Luas lahan minimal 300 m2, model tangki underground tank, dan kapasitasnya disesuaikan dengan kebutuhan," tambahnya.
Jenis kedua, ialah SPBUN Dengan 1 Pulau Pompa. Pada kategori ini, dibutuhkan luas lahan minimum 400 m2 dengan kapasitas 20 KL atau lebih.
Terakhir, ialah Modular 3 KL. Jenis ini ia sebut yang paling sederhana, yakni ketentuan minimum lahan seluas 210 m2 dan luas muka depan 15 meter untuk mengakomodir manuver mobil tangki pengangkut BBM.
Pada jenis terakhir itu, hanya bisa diterapkan pada sentra-sentra nelayan kecil dengan kebutuhan BBM yang tidak begitu besar mengingat kapasitasnya hanya 3 KL.
"Jika melayani nelayan menengah, itu ketahanan stok akan sangat terbatas. Baru diisi 1-2 hari lalu sudah habis lagi. Sehingga, kita peruntukkan Modular 3 KL ini pada lokasi tertentu yang bukan sentra nelayan besar," pungkas Daniel.