15 Maret 2025
17:28 WIB
Danantara; Harapan Mesin Pertumbuhan Ekonomi Dan Masa Depan Hilirisasi
Danantara digadang-gadang menjadi mesin pertumbuhan ekonomi baru di era Presiden Prabowo Subianto. Pun proyek hilirisasi disebut akan didanai Danantara.
Penulis: Fitriana Monica Sari, Gemma Fitri Purbaya, Nuzulia Nur Rahma, Siti Nur Arifa, Aurora K MÂ Simanjuntak
Editor: Rikando Somba
Tamu undangan memegang katalog badan pengelola investasi Daya Anagata Nusantara (Danantara) di Istana Negara, Jakarta, Senin (24/2/2025). Antara Foto/Muhammad Adimaja.
JAKARTA - Danantara jadi badan pengelola investasi (BPI) baru di Indonesia yang belakangan jadi bahan perbincangan banyak kalangan. Diluncurkan dalam kurang dari satu bulan, Danantara menimbulkan pro dan kontra.
Kehadiran Danantara menjadi sensitif lantaran potensi dana dan aset yang dikelola diproyeksi mencapai lebih dari US$900 miliar atau setara Rp14.000 triliun. Nilai ini mewakili sekitar 63% dari PDB Indonesia pada tahun 2024 yang mencapai Rp22.139 triliun.
Presiden Prabowo Subianto menegaskan, Danantara akan menjadi lembaga yang mengelola dana dan aset negara secara terpusat, guna mendukung pertumbuhan ekonomi nasional, dengan fokus pada proyek-proyek berkelanjutan dan berdampak tinggi.
Lebih dari itu, Prabowo juga menegaskan Danantara berperan sebagai instrumen atau alat pembangunan nasional.
"Apa yang kami luncurkan hari ini bukan sekadar dana investasi, melainkan instrumen alat pembangunan nasional yang harus bisa mengubah cara mengelola kekayaan bangsa demi kesejahteraan seluruh rakyat Indonesia,” ujarnya saat peluncuran Danantara di Istana Kepresidenan Jakarta, Senin (24/2).
Merujuk Pasal 3F ayat 2 UU BUMN yang baru, Danantara bertugas melakukan pengelolaan atas dividen seluruh BUMN. Saat ini, Danantara disebut telah mengantongi US$600 miliar sebagai modal awal. Sementara itu, sekitar US$300 miliar dana dan aset sisanya yang berasal dari BUMN lain, akan menyusul dikonsolidasi ke dalam portofolio Danantara secara bertahap.
Biayai Hilirisasi dan Sektor Strategis
Pada pernyataan awal, Prabowo mengatakan Danantara akan menggelontorkan dana sebesar US$20 miliar atau setara Rp326 triliun melalui 20 proyek strategis nasional.
Adapun proyek-proyek tersebut difokuskan ke sektor hilirisasi nikel, bauksit, tembaga, pembangunan pusat data kecerdasan buatan, kilang minyak, pabrik petrokimia, produksi pangan, dan energi baru dan terbarukan. Namun, dalam pernyataan terbaru Rosan Roeslani, Danantara memastikan terbuka pada semua proyek dan program yang diajukan pemerintah.
"Kami terbuka untuk semua kementerian, badan ataupun siapapun yang memiliki program, proyek yang diberikan kepada kami, tentunya akan kami analisa secara baik, secara benar," ujar Rosan dalam keterangan resmi, Sabtu (15/3).
Ia menambahkan, Danantara akan melakukan analisis setiap proyek terlebih dahulu, yang dilakukan dengan kehati-hatian dan secara transparan.
"Kita di Danantara memiliki kriteria-kriteria dan parameter-parameter, kita terbuka atas semua masukan, tetapi kita akan tentu sesuai arahan Bapak Presiden RI harus dilakukan dengan kehati-hatian, secara transparan, tata kelola yang benar dan juga dilakukan analisa, due diligence, dan sebagainya. Kami terbuka," tuturnya.
Soal hilirisasi, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Bahlil Lahadalia mengungkap, ada 21 proyek hilirisasi senilai US$618 miliar pada tahun 2025 yang akan mendapat pembiayaan dari Danantara.
“Kami telah memutuskan tahap pertama hilirisasi yang ditargetkan kurang lebih sekitar US$618 miliar untuk 2025, yang tadi kami paparkan kurang lebih sekitar 21 proyek pada tahap pertama dengan total investasinya kurang lebih sekitar US$45 miliar," ujar Bahlil di Kompleks Istana Kepresidenan, Senin (3/3).
Adapun beberapa proyek utama yang dimaksud terdiri dari pembangunan storage proyek minyak di Pulau Nipah guna meningkatkan ketahanan energi nasional, yang dapat memenuhi kebutuhan nasional selama 30 hari.
Kemudian, ada pula pembangunan refinery atau kilang yang awalnya direncanakan berkapasitas 500 ribu barel per hari namun meningkat menjadi 1 juta barel per hari, sehingga diproyeksi menjadi salah satu fasilitas pengolahan minyak terbesar di Indonesia.
Baca Juga: Mencegah Nila Di Belanga Danantara
Selain itu, di sektor gasifikasi batu bara, pemerintah menargetkan pengembangan produksi Dimethyl Ether (DME) sebagai substitusi LPG. Menurut Bahlil, proyek DME kali ini akan dijalankan dengan pendekatan berbeda karena mengandalkan sumber daya dalam negeri, dalam hal ini investasi dari Danantara, tanpa ketergantungan pada investor asing.
“Sekarang kita tidak butuh investor negara semua lewat kebijakan Bapak Presiden dengan memanfaatkan resource dalam negeri. Yang kita butuh mereka adalah teknologinya, yang kita butuh uangnya capex-nya semua dari pemerintah dan dari swasta nasional, kemudian bahan bakunya dari kita, dan off taker-nya pun dari kita,” tambah Bahlil.
Rosan menambahkan, pembiayaan hilirisasi Danantara tidak hanya terbatas pada mineral atau sumber daya alam saja, tapi juga hilirisasi ini diharapkan menyentuh sektor agriculture, aquaculture, fishery, perkebunan, pertanian, dan energi terbarukan.
Menurutnya, deretan sektor yang disebutkan memenuhi standar untuk bisa mendapat pembiayaan dari Danantara berdasarkan kemampuan penyerapan tenaga kerja serta pertumbuhan sumber daya manusia.
“Mungkin kita paling seneng dengar dengan nikel, yang dimana produk turunannya baik itu stainless steel dan produk turunan industrialisasi harus dilakukan. Tapi memang kita harus terus meningkatkan agar ini menjadi industrialisasi yang memberikan dampak positif terhadap penciptaan lapangan pekerjaan,” ujarnya, dalam agenda Economic Insight 2025 di Bursa Efek Indonesia, Jumat (14/3).
Tantangan Pengelolaan dan Kelangsungan BUMN
Digadang-gadang menjadi game changer bagi perekonomian dengan memaksimalkan pengelolaan aset negara yang mayoritas berasal dari BUMN, skema pembiayaan Danantara nyatanya dipandang sebagai kondisi yang terbilang kompleks dan cukup riskan.
Ekonom Universitas Andalas, Syafruddin Karimi secara spesifik menyorot tiga Bank Himbara yakni BNI, BRI, dan Mandiri yang masuk dalam tujuh BUMN gemuk penyumbang aset dan dana awal terbesar bagi Danantara.
Penunjukan tiga Bank Himbara ini dapat memberikan pengaruh terhadap stabilitas perbankan lantaran tiga bank tersebut selama ini berperan sebagai tulang punggung sistem keuangan nasional.
Apalagi, ketiga bank yang dimaksud selama ini memiliki peran besar dalam penyaluran kredit, pembiayaan UMKM, serta pengelolaan dana pihak ketiga (DPK).
“Jika pengelolaan Danantara tidak berjalan optimal atau mengalami tekanan keuangan, maka dampaknya bisa sangat luas. Meskipun hanya berupa dividen dari ketiga bank tersebut, dana perbankan yang dialokasikan ke Danantara berisiko mengurangi kapasitas bank dalam menyalurkan kredit ke sektor produktif. Dalam jangka panjang, hal ini dapat melemahkan daya dorong perbankan terhadap pertumbuhan ekonomi,” papar Syafruddin dalam pernyataan yang diterima Validnews, Selasa (11/3).
Syafruddin menyebut dana yang ditarik dari laba bank BUMN untuk Danantara berarti mengurangi penerimaan negara dari dividen bank-bank tersebut. Lantaran sebelumnya, dividen dari bank BUMN masuk ke APBN dan digunakan untuk belanja negara, termasuk infrastruktur dan subsidi.
Oleh karena itu, jika sebagian besar dana dialihkan ke Danantara, maka pemerintah harus mencari sumber pendapatan baru atau mengurangi belanja publik. Ia menambahkan, dalam kondisi fiskal yang ketat, kebijakan ini dapat memberikan tekanan lebih besar terhadap APBN.
Validnews telah mencoba bertanya lebih lanjut mengenai aset bank yang akan dikelola Danantara kepada Bank Himbara baik BRI, BNI, dan Bank Mandiri. Namun, hingga berita ini ditayangkan, masih belum ada tanggapan lebih lanjut.
Di sisi lain, bukan hanya pengaruh terhadap sektor perbankan, kekhawatiran mengenai pengelolaan aset BUMN di bawah naungan Danantara juga disebabkan lantaran tidak semua perusahaan berpelat merah memiliki performa yang bagus, bahkan cenderung mencatatkan riwayat pengelolaan dana yang buruk hingga berakhir dengan kasus korupsi.
Syafruddin kembali mengingatkan, Indonesia memiliki rekam jejak buruk dalam tata kelola investasi negara, terutama dalam pengelolaan BUMN, seperti kasus Jiwasraya, Asabri, hingga dugaan korupsi dalam pengelolaan dana ketahanan energi yang dapat menjadi contoh bagaimana investasi negara sering kali gagal akibat buruknya tata kelola dan lemahnya pengawasan.
“Danantara berisiko menghadapi permasalahan serupa jika tidak memiliki mekanisme transparansi yang kuat dan independensi dalam pengelolaannya. Tanpa mekanisme pengawasan yang ketat, potensi penyelewengan dana sangat besar,” ujar Syafruddin.
Apa yang disampaikan Syafruddin juga sejalan dengan pandangan yang disuarakan Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Esther Sri Astuti. Esther mengingatkan, alih-alih dikelola oleh Danantara dari segi aset dan pengembangan, masih ada sejumlah BUMN yang lebih membutuhkan pembenahan dari segi manajemen.
“Sebelum pembentukan Danantara, yang harus dilakukan oleh pemerintah adalah merapikan dan membersihkan. Saya mau pakai istilah merapikan karena nyatanya ada BUMN yang masih korupsi. Kemudian, yang harusnya profit tapi ternyata buntung. Jadi, BUMN yang sakit maupun tidak untung itu harus dirapikan lebih dulu,” terangnya melalui sambungan telepon kepada Validnews, Rabu (12/3).
Berkaca Dari SWF Terdahulu
Sejak pertama kali diumumkan, konsep yang dibawa Danantara adalah Sovereign Wealth Fund (SWF) yang juga dijalani oleh berbagai negara, termasuk negara tetangga dengan lembaga SWF yang dikenal memiliki performa baik, yakni GIC Private Limited dan Temasek Holdings di Singapura atau Khazanah Nasional Bhd. di Malaysia.
Di saat bersamaan jika melihat proyeksi total dana yang dikelola Danantara, lembaga investasi baru ini juga diperkirakan akan masuk daftar 5 besar lembaga SWF dunia. Mengikuti jajaran lembaga SWF yang dimiliki negara Norwegia, China, Uni Emirat Arab, Kuwait, dan Arab Saudi.
Menurut Esther, keberhasilan sejumlah lembaga SWF di atas dapat berjalan lantaran diterapkan prinsip good governance dan pengelolaan yang transparan. Adapun transparansi yang dimaksud dapat dilihat secara bebas oleh publik melalui laman resmi yang dapat diakses kapan saja dan oleh siapa saja.
“Kita bisa cek di website Temasek itu goal-nya seperti apa, uangnya diinvestasi kemana saja, kira-kira prospeknya seperti apa, itu lengkap. Kalau Danantara pengen berkontribusi pada pertumbuhan ekonomi, dia seharusnya seperti Temasek, good governance, auditable, jadi laporan keuangannya terpublikasi. Jadi target-targetnya juga jelas,” imbuhnya.
Baca Juga: Berharap Manfaat Investasi Pusat Data AI Lewat Danantara
Sebelumnya, CEO Danantara, Rosan memang kerap menegaskan bahwa Danantara akan menerapkan prinsip good governance. Dirinya menegaskan, sejak awal Danantara sudah dijalankan secara transparan dan terbuka di mana publik bisa melihat.
“Kami sudah bertekad untuk menjalankan Danantara setransparan mungkin tanpa ada benturan kepentingan, tanpa ada membawa kepentingan lain selain kepentingan Danantara dan masyarakat,” ujar Rosan, dalam pernyataan melalui akun media sosial resminya dikutip Sabtu (15/3).
Namun kenyataannya, di tengah konfirmasi dan berbagai pernyataan pihak pemerintah mengenai target atau gelombang investasi pertama di tahun 2025 ini, tidak ada penjabaran detail mengenai besaran masing-masing aliran dana terhadap 21 proyek hilirisasi yang sebelumnya disebutkan.
Pun jika ingin berkaca layaknya Temasek yang mempublikasi proyek investasi secara jelas melalui laman resmi lembaga, hingga detik ini, laman resmi Danantara masih belum memuat informasi lebih lanjut mengenai proyek yang dimaksud.
Begitu pula dengan jajaran pelaksana di lembaga, yang sejauh ini masih belum memiliki struktur lengkap, selain Rosan Perkasa Roeslani (CEO), Pandu Patria Sjahrir (CIO), serta Dony Oskaria (COO). Padahal, sebelumnya Rosan menjanjikan jika di kisaran minggu ini Danantara akan segera mengumumkan susunan lengkap pengurus dan manajemen Danantara.
“Mungkin minggu depan saya rasa kami akan umumkan nama-nama tersebut sehingga dari publik, dari masyarakat bisa melihat, dan bisa menilai bahwa nama-nama yang duduk sebagai pengelola dan juga manajemen di Danantara ini adalah nama-nama yang reputable,” ujar Rosan di Komplek Istana Kepresidenan, Rabu (5/3).
Masa Depan Danantara
Dikaitkan dengan peran Danantara sebagai lembaga investasi yang digadang akan menjadi mesin pertumbuhan ekonomi, Rosan mengungkap bahwa klaim tersebut cukup beralasan mengingat investasi telah menjadi kontributor kedua setelah konsumsi domestik dalam hal pertumbuhan ekonomi.
“Kurang lebih sekarang kontribusi investasi itu 28-29% dari pertumbuhan ekonomi kita, selain tentunya dari government spending, ekspor kita, dan lain-lain. Oleh sebab itu, kalau dilihat structure-nya seperti ini, investasi tentunya akan memainkan peranan yang sangat penting,” ujarnya.
Lebih detail, Rosan menjabarkan, dalam 10 tahun terakhir atau selama tahun 2014-2024, nilai investasi yang masuk ke Indonesia telah mencapai Rp9.100 triliun. Ke depan, sejalan dengan target pertumbuhan ekonomi 8% dan didorong dengan kehadiran Danantara, dalam lima tahun ke depan hingga 2029, total investasi dicatatkan Indonesia akan bertumbuh menjadi Rp13.000 triliun.
“Lima tahun ke depan pertumbuhannya diharapkan menjadi Rp13.000 triliun dalam rangka kita mencapai ketemuan 8%. Ini porsi dari investasi yang diharapkan dalam 5 tahun ke depan,” tegasnya.
Namun, Syafruddin kembali mengingatkan agar pemerintah menangani dengan serius kelangsungan Danantara. Pasalnya, jika Danantara mengalami kegagalan, merugi, atau mengalami masalah keuangan, pemerintah hampir pasti akan menggunakan dana publik untuk menalangi kerugiannya.
“Tanpa pengawasan yang ketat dan kebijakan yang hati-hati, Danantara bukan hanya bisa gagal menjadi mesin pertumbuhan ekonomi, tetapi bisa menjadi skandal keuangan terbesar dalam sejarah Indonesia,” tutup Syafruddin.