11 Maret 2025
18:59 WIB
Mencegah Nila Di Belanga Danantara
Menguatkan pengawasan lembaga super Danantara perlu perhatian serius, agar hasil untuk APBN jadi maksimal.
Penulis: Ananda Putri Upi Mawardi
Editor: Rikando Somba
Tamu undangan memegang katalog badan pengelola investasi Daya Anagata Nusantara (Danantara) di Istana Negara, Jakarta, Senin (24/2/2025). Antara Foto/Muhammad Adimaja.
JAKARTA – Senin, 24 Februari 2025, bertambahlah badan milik pemerintah Indonesia dengan terbentuknya Badan Pengelola Investasi Daya Anagata Nusantara (Danantara). Presiden Prabowo Subianto melansir badan baru itu sesuai amanat dari Undang-Undang (UU) Nomor 1 Tahun 2025 tentang Perubahan Ketiga UU Nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara (BUMN).
Danantara punya beberapa tugas, yakni mengelola BUMN. Lalu, meningkatkan serta mengoptimalkan investasi dan operasional BUMN sekaligus sumber dana lain.
Untuk tugas itu, Danantara bersama menteri yang membidangi BUMN membentuk Holding Operasional dan Holding Investasi.
UU 1 Tahun 2025 menjelaskan Holding Investasi adalah BUMN sebagai perusahaan yang seluruh modalnya dimiliki oleh negara dan badan. Tugasnya untuk mengelola dividen dan/atau pemberdayaan aset BUMN serta tugas lain, guna mendorong pertumbuhan ekonomi.
Lalu, Holding Operasional adalah BUMN yang mempunyai tugas untuk melakukan pengawasan terhadap kegiatan operasional BUMN serta kegiatan usaha lain.
Pada perubahan ketiga UU BUMN itu tertulis, Danantara mendapat modal minimum dari pemerintah Rp1.000 triliun. Namun, pada tahap awal, Danantara akan mengelola lebih dari Rp300 triliun. Jumlah itu merupakan hasil dari efisiensi anggaran kementerian/lembaga.
Dana ini akan diinvestasikan ke dalam 20 atau lebih proyek nasional yang berdampak nyata, misalnya penciptaan lapangan kerja. Investasi gelombang pertama ini akan fokus pada hilirisasi nikel, bauksit, tembaga, pembangunan pusat data kecerdasan buatan, kilang minyak, pabrik petrokimia, produksi pangan dan protein, akuakultur, serta energi terbarukan.
“Dengan total aset lebih dari US$900 miliar, Danantara Indonesia akan menjadi salah satu dana kekayaan atau sovereign wealth fund negara terbesar di dunia,” ujar Prabowo saat melansir Danantara.
Presiden juga memahami, ada banyak pertanyaan dan keraguan dari berbagai pihak terkait keberhasilan Danantara. Dia menilai hal ini wajar karena inisiatif seperti ini belum pernah ada sebelumnya. Dia pun menegaskan Danantara dikelola dengan sebaik mungkin, menggunakan prinsip kehati-hatian, dan transparan.
“Harus bisa diaudit setiap saat oleh siapa pun,” imbuh Prabowo.
Pada saat yang sama, Ketua Umum Partai Gerindra itu menandatangani tiga regulasi terkait Danantara. Ini mencakup Undang-Undang (UU) Nomor 1 Tahun 2025, Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 10 Tahun 2025 tentang Organisasi dan Tata Kelola BPI Danantara, dan Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 30 Tahun 2025 tentang Pengangkatan Dewan Pengawas dan Badan Pelaksana Danantara.
Melalui Keppres Nomor 30 Tahun 2025 itulah Prabowo menunjuk Rosan Roeslani sebagai Chief Executive Officer (CEO) Danantara, Dony Oskaria sebagai Chief Operating Officer (COO) Danantara, dan Pandu Patria Sjahrir sebagai Chief Investment Officer (CIO) Danantara.
Selain itu, Menteri BUMN Erick Thohir ditunjuk sebagai Ketua Dewan Pengawas Danantara. Dia bekerja bersama Komisaris Utama PT BSI Muliaman Hadad selaku Wakil Ketua Dewan Pengawas, Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati selaku Anggota Dewan Pengawas, dan eks Perdana Menteri Inggris, Tony Blair, selaku Anggota Dewan Pengawas. Tak ketinggalan, Presiden keenam Susilo Bambang Yudhoyono dan presiden ketujuh Joko Widodo ditetapkan sebagai Dewan Penasihat Danantara.

Politisasi Pengawasan
Menjadi badan hukum besar, Indonesian Corruption Watch (ICW) mengingatkan, besarnya aset yang akan dikelola oleh Danantara patut diiringi dengan pengawasan yang memadai. Akan tetapi, mereka menilai yang terjadi justru pemangkasan fungsi-fungsi pengawasan yang sebelumnya melekat pada BUMN.
Dalam kertas posisi yang diterbitkan ICW pada 26 Februari lalu dijelaskan, pada Pasal 71 UU BUMN yang lama, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) berwenang memeriksa atau melakukan audit terhadap BUMN dalam bentuk pemeriksaan keuangan, pemeriksaan kinerja, dan pemeriksaan dengan tujuan tertentu (PDTT). Namun, dalam UU BUMN terbaru, BPK hanya dapat melakukan audit terhadap BUMN dalam bentuk PDTT jika ada permintaan dari DPR.
“Jelas ini berpotensi untuk menghadirkan politisasi terhadap fungsi pengawasan keuangan yang idealnya bersifat profesional, akuntabel, dan lepas dari segala anasir politik,” terang ICW dalam kertas posisi tersebut.
Mereka melanjutkan, aturan itu membuat PDTT BPK yang selama ini dilakukan untuk mengungkap indikasi kerugian negara atau unsur pidana korupsi, kini harus mendapat restu terlebih dulu dari DPR yang sarat konflik kepentingan dan menghalangi fungsi pengawasan yang optimal.
Selain itu, ICW memaparkan, aturan terkait BUMN maupun Danantara dalam UU BUMN terbaru berpotensi kuat memperburuk tren korupsi. Tak hanya itu, korupsi akan sulit bahkan tidak dapat dideteksi lagi oleh penegak hukum. Hal itu terlihat dalam Pasal 3H UU Nomor 1 Tahun 2025 tentang BUMN menyatakan, kerugian yang dialami Danantara dianggap sebagai kerugian Danantara, bukan kerugian negara.
Padahal, dari 212 kasus korupsi di lingkungan BUMN yang terjadi sepanjang 2016-2023 yang didata oleh ICW, hampir seluruhnya dapat terungkap berkat Pasal 2 ayat 1 dan Pasal 3 UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor). Dalam aturan itu, salah satu unsur pembuktian korupsi adalah kalkulasi kerugian keuangan negara.
“Akan semakin sulit nanti, karena aparat penegak hukum untuk dapat menindaklanjuti dugaan-dugaan korupsi yang terjadi di Danantara maupun BUMN akibat kehilangan salah satu acuan hukum untuk membuktikan salah satu unsur tindak pidana korupsi,” urai ICW.
Pengamat BUMN sekaligus peneliti NEXT Indonesia, Herry Gunawan mengungkapkan, kekhawatiran serupa. Dia menyebut, Pasal 71 UU BUMN menjelaskan BUMN tidak dapat diaudit oleh BPK.
Sementara itu, Pasal 4 UU yang sama telah jelas menyatakan modal BUMN berasal dari APBN dan BUMN dapat meminta Penyertaan Modal Negara (PMN). Artinya, UU tersebut memberikan imunitas sehingga BUMN tidak bisa menjadi objek pemeriksaan tindak pidana korupsi.
“Kebijakan ini berbahaya, karena membuka ruang terjadinya moral hazard atau penyelewengan keuangan negara,” ujar Herry kepada Validnews, Sabtu (8/3).
Dia melanjutkan, potensi moral hazard itu kian besar mengingat pengangkatan pengurus Danantara melanggar UU dan etik. Contohnya, CEO Danantara, Rosan Roeslani, merangkap jabatan sebagai Menteri Investasi dan Hilirisasi/Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM). Hal ini melanggar Pasal 23 UU Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara yang melarang menteri rangkap jabatan sebagai pimpinan organisasi yang dibiayai APBN, termasuk Danantara.
Di samping itu, terjadi pelanggaran etik pada pengangkatan Erick Thohir sebagai Ketua Dewan Pengawas Danantara. Pasalnya, Erick saat ini masih merangkap sebagai Dewan Pengawas Indonesia Investment Authority (INA), sebuah lembaga pengelola investasi yang akan dilebur ke dalam Danantara.
Pelanggaran etik juga terjadi pada pengangkatan Dony Oskaria sebagai COO Danantara. Saat ini dia masih menjadi Wakil Komisaris Utama Pertamina, salah satu BUMN yang akan dikelola Danantara.
“Bagaimana mungkin keduanya bisa mengawasi atau mengelola BUMN tersebut dengan objektif, kalau keduanya juga ada di dalam perusahaan yang diawasi,” ujar Herry.
Dengan besarnya potensi moral hazard di Danantara, dia menilai Danantara bisa saja bernasib sama dengan 1Malaysia Development Berhad (1MDB). Ini adalah lembaga investasi dana pemerintah Malaysia yang didirikan pada tahun 2009.
Pada tahun 2015, 1MDB menjadi pusat skandal megakorupsi dengan dugaan penyalahgunaan dana lebih dari Rp70 triliun. Perdana Menteri Malaysia saat itu, Najib Razak, diseret ke penjara karena hal ini.
Herry menyarankan Danantara memisahkan fungsi regulator dan operator agar sistem pengawasan yang ideal bisa berjalan. Secara sederhana, menteri tidak bisa rangkap jabatan sebagai pengurus Danantara. Jika hal ini tidak diselesaikan, dia menilai sulit untuk percaya bahwa Danantara akan dikelola dengan baik ke depan.
Perlu Transparansi
Manajer Riset Sekretariat Nasional Forum Indonesia Untuk Transparansi Anggaran (Seknas FITRA), Badiul Hadi mengatakan, transparansi dan akuntabilitas harus menjadi prinsip utama untuk mencegah korupsi di Danantara. Ini dilakukan dengan menerapkan mekanisme pengawasan yang kuat. Sebab, berkaca pada pengalaman lembaga serupa di negara lain, lembaga dengan kewenangan besar seperti Danantara rentan penyalahgunaan wewenang.
Menurut dia, sistem pengawasan Danantara harus mencakup elemen transparansi publik, informasi terkait kebijakan, tata kelola keuangan, keputusan strategis yang bisa diakses publik, lengkap dengan dashboard khusus Danantara. Selanjutnya, harus diterapkan mekanisme pengawasan berlapis, mulai dari internal oleh Dewan Pengawas dan Komite Pemantau dan Akuntabilitas (KPA), hingga pengawasan eksternal oleh KPK, BPK, PPATK, masyarakat, dan media.
Tak hanya itu, perlu ada audit independen secara berkala untuk memastikan tidak ada penyalahgunaan wewenang dan dana. Jika ditemukan pelanggaran, sanksi tegas harus dijatuhkan kepada pelaku agar Danantara tidak menjadi organisasi yang kebal hukum.
Badiul juga mengingatkan, tugas dan fungsi masing-masing pengawas harus jelas. Jika tidak, akan terjadi tumpang tindih kewenangan yang dapat menghambat efektivitas pengawasan dan menimbulkan konflik antar lembaga.
“Dalam BUMN ada penyertaan modal APBN, artinya serupiah uang rakyat (APBN) yang digunakan harus dipertanggungjawabkan kepada masyarakat,” ujar Badiul kepada Validnews, Senin (10/3).
Terpisah, CEO Danantara, Rosan Roslani berkata Presiden Prabowo Subianto telah meminta agar Danantara dikelola dengan prinsip good governance, kehati-hatian, dan transparan. Pihak yang terlibat mengawasi lembaga ini pun terbilang banyak, mencakup Dewan Pengawas, Dewan Penasihat, KPA, Komite Audit, Komite Investasi, Komite Etis, dan lainnya.
Dia juga membantah anggapan bahwa Danantara kebal hukum seperti pendapat yang beredar. Menurutnya, Danantara masih bisa diperiksa KPK terlebih ketika ditemukan hal-hal yang tidak patut atau kriminal.
“Semua itu ikut mengawasi kita dan ikut berperan aktif dalam memastikan bahwa kita berjalan dengan baik dan benar,” ujar Rosan saat memberikan keterangan pers di Jakarta, Senin (24/2).
Bagi publik, tak apa pembentukan Danantara meniru Temasek Holdings di Singapura atau Khazanah Nasional Berhard di Malaysia. Kedua entitas bisnis itu lebih dulu terbukti bisa meningkat efisiensi serta daya saing perusahaan negara.
Danantara juga diharapkan bisa melakukan hal serupa dengan mengintegrasikan bisnis, memperkuat modal, dan memperluas peluang ekspansi ke tingkat dunia.
Peluang serupa tak tertutup bagi Danantara, meski tak mudah mencapainya. Jika dikelola dengan baik, Danantara berpotensi menjadi holding BUMN terbesar yang mampu bersaing secara global.
Namun, tanpa transparansi tata kelola dan pengawasan ketat, badan baru itu bisa membuka celah bagi praktik penyelewengan wewenang.
Apa yang dikemukakan Ray Dalio, pengusaha besar AS yang diundang Presiden Prabowo ke Indonesia, layak dicermati. Ray menegaskan bahwa pengelola dana besar di Danantara harus berpegang pada prinsip anti korupsi dan birokrasi yang baik.
Bos Bridgewater Associates itu menegaskan, Indonesia mutlak membutuhkan transparansi, efisiensi, dan komitmen terhadap penanganan korupsi. Untuk mengelola dana besar itu, birokrasi yang berbelit perlu dipangkas agar investasi bisa berjalan lebih lancar.
"Ada tantangan yang harus diatasi dan langkah-langkah ini menunjukkan jenis hambatan tersebut. Contohnya hambatan birokrasi, kemudahan berbisnis dan berwirausaha, pembentukan modal, korupsi, dan banyak lagi," katanya saat bicara di samping Presiden Prabowo di Istana Kepresidenan, dikutip Senin (10/3/2025).