16 Oktober 2025
16:08 WIB
CNGR Sebut Harga Nikel RI Lebih Kompetitif Dibandingkan Australia
Teknologi yang digunakan membuat harga nikel Indonesia menjadi lebih kompetitif. Namun, hal ini berdampak pada harga nikel dunia.
Penulis: Yoseph Krishna
Ilustrasi aktivitas perusahaan tambang nikel di Kecamatan Morosi, Konawe, Sulawesi Tenggara. ANTARA FOTO/Jojon.
JAKARTA - Direktur Eksternal Relation CNGR Indonesia Magdalena Veronika menyebut penggunaan teknologi pengolahan membuat harga nikel Indonesia menjadi lebih kompetitif, mengalahkan Australia.
"Dibandingkan dengan Australia yang memiliki jenis tambang nikel sulfida, Indonesia yang punya nikel laterit itu jauh lebih kompetitif untuk harga produksinya," ucap Magdalena dalam sebuah sesi diskusi Minerba Convex 2025 di Jakarta, Kamis (16/10).
Tak hanya jenisnya, penggunaan teknologi turut membuat harga nikel Indonesia menjadi makin kompetitif. Dia menerangkan pada mulanya, teknologi yang digunakan untuk menghilirkan nikel ialah Rotary Kiln Electric Furnace (RKEF) untuk memproduksi nickel pig iron (NPI), Feronikel, hingga nickel matte yang notabene merupakan salah satu bahan baku dalam industri baterai lithium.
Baca Juga: Tambang Nikel Datangkan Kerusakan Berantai di Raja Ampat
Kemudian seiring berjalannya waktu, hadirlah teknologi High Pressure Acid Leach (HPAL) di Indonesia. Smelter dengan teknologi HPAL itu disebut Magdalena bisa mengolah nikel dengan kadar yang sangat rendah, mulai dari 1,5% hingga 1%.
"Nikel yang amat sangat rendah, yang tadinya kita pikir dalam produksi tambang itu sampah, bahkan jadi penalti. Tapi dengan teknologi HPAL, nikel kadar rendah itu bisa menjadi produk bernilai tinggi, bahkan untuk ekosistem baterai litium," kata dia.
Ketepatan dan efektivitas teknologi yang diterapkan dalam pengolahan nikel di Indonesia menjadi fondasi penting yang membawa Nusantara kini merajai rantai pasok nikel dunia.
"Otomatis itu menciptakan Indonesia dengan bahan yang bisa dibilang sangat murah, ternyata bisa menciptakan value yang sangat tinggi, bisa menjadi alloy nickel yang murni dan bisa juga menjadi bahan baku untuk EV," sambungnya.
Baca Juga: Hidupkan Mimpi, Mencoba Mengawal Hilirisasi Nikel RI
Baca Juga: Tapi di lain sisi, hal itu berakibat pada harga nikel yang relatif turun dalam kurun 5 tahun terakhir. Menurut Magdalena, penurunan harga nikel dikarenakan kemampuan Indonesia mengolah rantai pasok nikel secara sangat efisien mulai dari tanah, metal, hingga alloy murni.
Menurut Magdalena, Indonesia disebutnya punya kuasa untuk menjual harga nikel yang lebih besar dari yang dipatok saat ini sekitar US$15.500 per ton.
Seandainya alloy nickel yang dijual Australia berada di level US$19.000 per ton, Indonesia masih bisa untung jika mematok harga US$18.000 per ton. Tapi, hal itu tidak dilakukan karena nikel Indonesia saat ini juga sedang dalam kondisi oversupply.
"Saat ini harga nikelnya tetap di US$15.500 per ton. Jadi, sebenarnya kita ada opportunity untuk mendapatkan sisa sekitar US$2.000 tadi, itu sebenarnya ada di tangan Indonesia dan bagaimana Indonesia bisa meregulasi," jabar Magdalena.