14 Mei 2025
11:59 WIB
CIPS: Kebijakan Proteksionis Hambat Investasi Dan Ekspor RI
Kebijakan proteksi RI terhadap impor berpotensi menghambat laju perekonomian nasional. Padahal, Indonesia menargetkan peningkatan investasi dan ekspor sebagai pilar utama pertumbuhan ekonomi.
Editor: Khairul Kahfi
Sejumlah pekerja menyelesaikan pembuatan pakaian di salah satu pabrik garmen di Banjarnegara, Jawa Tengah, Senin (15/1/2023). Antara Foto/Yulius Satria Wijaya/nz
JAKARTA - Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) menekankan, kebijakan proteksi impor Indonesia berpotensi menghambat laju perekonomian nasional. Padahal, Pemerintah Indonesia menargetkan peningkatan investasi dan ekspor sebagai pilar utama pertumbuhan ekonomi.
Peneliti CIPS Hasran menjabarkan, birokrasi yang rumit, pembatasan kuota dan perizinan, penentuan waktu impor, serta hambatan non-tarif lain berdampak negatif pada iklim investasi dan nilai ekspor Indonesia.
Dirinya pun mendukung pemerintah yang hendak memangkas peraturan yang menghambat investasi dan ingin meningkatkan ekspor Indonesia.
“Tetapi keinginan ini bertolak belakang dengan kebijakan proteksi impor. Birokrasi yang panjang, pembatasan kuota dan perizinan, penentuan waktu impor dan hambatan non tarif lainnya akan membawa dampak negatif bagi investasi dan nilai ekspor,” jelasnya dalam keterangan tertulis, Jakarta, Rabu (14/5).
Baca Juga: AS Masukkan Indonesia Di Daftar Hambatan Perdagangan, Ini Alasannya
Untuk itu, dia mengingatkan, Indonesia harus menunjukkan komitmen dan keseriusannya dalam menjalankan perdagangan internasional, salah satunya melalui penghapusan hambatan non-tarif dan juga mengeliminasi kebijakan proteksionis.
Sektor Tekstil dan Produk Tekstil (TPT), misalnya, telah menghadapi 23 kebijakan safeguard sejak 2011. Sekitar delapan di antaranya diterbitkan sebelum pandemi covid-19. Sementara itu, 15 lainnya muncul setelah pandemi.
Hasran menegaskan, alih-alih menambah hambatan non-tarif dan kebijakan proteksionis, pemerintah perlu terus fokus pada kebijakan yang berorientasi pada peningkatan produktivitas industri dalam negeri.
"Hal ini bisa diwujudkan dengan membuka akses yang luas kepada mereka untuk mendapatkan bahan baku berkualitas dan membuka kesempatan investasi pada sektor industri supaya terjadi transfer teknologi dan modernisasi," urainya.
Perdagangan internasional perlu tetap dijalankan, sambungnya, sembari menjalankan kebijakan yang fokus pada peningkatan produktivitas industri dalam negeri.
Modernisasi dan transfer teknologi juga akan berdampak positif kepada para pekerja dan kesejahteraan industri domestik. CIPS berharap, keduanya faktor ini bisa membuat ongkos produksi lebih efisien dan meningkatkan daya saing produk industri yang dihasilkan.
Baca Juga: Bukan 47%, Kemendag Jelaskan Potensi Tarif Dagang AS Buat Indonesia
Lebih lanjut, Hasran menyebut pemerintah perlu memberikan ruang kepada pelaku industri dalam menentukan dan mendapatkan bahan baku berkualitas. Pada akhirnya, impor dapat menjadi alternatif yang realistis bagi pelaku industri.
“Banyak produk Indonesia membutuhkan bahan baku yang tidak tersedia di dalam negeri. Jika impor terlalu dibatasi, bukan hanya negara eksportir yang terdampak, tetapi juga pertumbuhan investasi di dalam negeri ikut terhambat. Belum lagi ada penurunan daya saing,” jelas Hasran.
Salah satu kebijakan yang dianggap menghambat peningkatan daya saing dan berdampak pada investasi adalah Kebijakan Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN). Kebijakan ini dapat mempersulit integrasi Indonesia ke dalam rantai nilai global.
CIPS menilai, kebijakan yang dapat ditemukan di hampir semua industri di Indonesia ini telah membatasi pelaku industri untuk memperoleh komponen-komponen produksi yang relatif lebih murah.
“Kebijakan ini mengharuskan pelaku industri untuk memprioritaskan komponen produksi dari dalam negeri. Namun, ini juga berarti harga bahan baku dalam negeri akan jadi lebih mahal dan menambah harga produk jadi di pasar. Hasil akhir seperti ini pada akhirnya tidak strategis untuk pelaku industri,” ungkapnya
Kebijakan TKDN Rugikan Industri Nasional
Hasran meyakini, kebijakan TKDN justru akan berpotensi merugikan industri dalam negeri, kendati kebijakan ini merupakan bentuk keberpihakan pemerintah kepada industri doemstik.
"Kebijakan ini berpotensi menurunkan semangat mereka untuk berkompetisi, melakukan inovasi dan juga membuka pasar baru," tekannya.
Pada akhirnya, produk yang rendah secara kualitas dengan dijual dengan harga yang kurang kompetitif akan berdampak pada konsumen.
"Mereka juga tidak akan termotivasi untuk melakukan ekspor karena harga yang kurang kompetitif di pasar global dan ada anggapan bahwa produknya akan selalu terserap di pasar domestik," jelasnya.
Baca Juga: Menperin Klaim Industri Sambut Baik Aturan TKDN Terbaru
Bahkan, dia menekankan, masalah proteksionisme ini menjadi sorotan Amerika Serikat dalam laporan tarif resiprokal terhadap Indonesia. Pada awalnya, AS mengenakan tarif sebesar 32%, yang kemudian meningkat menjadi 47% setelah negosiasi.
Hasran menegaskan, impor seharusnya dilihat sebagai instrumen strategis untuk menjaga daya saing industri dalam negeri dan mengintegrasikan Indonesia ke rantai nilai global. Indonesia perlu membenahi hambatan-hambatan yang merusak hubungan perdagangan internasional.
“Selain mengurangi hambatan non-tarif dan kebijakan proteksionis, pemerintah juga perlu mempermudah proses berusaha untuk mendorong investasi asing langsung (foreign direct investment/FDI) dalam menggerakkan ekonominya,” paparnya.