02 April 2025
18:31 WIB
AS Masukkan Indonesia Di Daftar Hambatan Perdagangan, Ini Alasannya
AS mulai mewaspadai kebijakan dagang Indonesia yang berpotensi menghambat perdagangan dan investasi AS.
Penulis: Erlinda Puspita
Editor: Fin Harini
Ilustrasi industri elektronik. Persyaratan komponen lokal pada produk elektronik dinilai menjadi penghambat perdagangan. Shutterstock/Teerapong mahawan
JAKARTA - Pemerintah Amerika Serikat (AS) baru-baru ini telah merilis 58 daftar negara mitra dagang dengan kebijakan yang berpotensi menghambat perdagangan AS, salah satunya Indonesia. Hambatan asing tersebut secara signifikan dinilai akan memengaruhi ekspor AS, investasi langsung asing AS, dan perdagangan elektronik AS.
Dokumen tersebut adalah Laporan Estimasi Perdagangan Nasional 2025 tentang Hambatan Perdagangan Luar Negeri (NTE) yang melengkapi Agenda Kebijakan Perdagangan Presiden 2025 dan diterbitkan oleh Kantor Perwakilan Dagang AS (USTR) sejak 28 Februari 2025 lalu. Secara umum, perdagangan dan investasi antara Indonesia dan AS telah diatur dalam Perjanjian Kerangka Kerja Perdagangan dan Investasi (TIFA) yang ditandatangani pada 16 Juli 1996.
AS mencatat potensi hambatan perdagangan dengan Indonesia terjadi baik dalam kebijakan tarif maupun non tarif. Pertama pada kebijakan tarif, negeri Paman Sam ini mengeluhkan tarif impor pada berbagai barang yag selama satu dekade terakhir naik signifikan, terutama pada produk yang bisa diproduksi secara lokal.
Baca Juga: Trump Akan Lanjut Terapkan Tarif Baru Di Tengah Kegelisan Perang Dagang Dunia
Ini termasuk produk elektronik, mesin penggilingan, bahan kimia, kosmetik, obat-obatan, anggur dan minuman keras, kawat besi dan paku kawat, dan berbagai produk pertanian. Sementara sebagian besar tarif untuk barang nonpertanian dibatasi pada 35,5%, sektor tertentu seperti mobil, besi, baja, dan produk kimia tertentu memiliki tarif yang melebihi 35,5% atau tetap tidak dibatasi.
“Di sektor pertanian, 99% produk dibatasi di atas 25%, yang mencerminkan pendekatan proteksionis Indonesia di bidang-bidang ini," tulis dokumen tersebut, dikutip Selasa (2/4).
Kemudian di sisi kebijakan perpajakan, AS juga mengaku khawatir tentang proses penilaian pajak yang dilakukan oleh Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan (Kemenkeu). Kekhawatiran tersebut muncul karena, mereka menilai proses audit yang tidak transparan dan rumit, denda yang besar untuk kesalahan administrasi, mekanisme sengketa yang panjang, dan kurangnya preseden hukum di Pengadilan Pajak.
Hambatan Non Tarif
Berikutnya pada hambatan kebijakan non tarif, AS menyatakan sistem perizinan impor di Indonesia terus menjadi hambatan non tarif yang signifikan bagi bisnis AS.
"Karena banyaknya persyaratan perizinan impor yang tumpang tindih yang menghambat akes pasar...AS tetap khawatir tentang kurangnya transparansi, pembatasan jumlah impor yang tidak mencerminkan permintaan pasar, dan penundaan berulang kali dalam menerima lisensi importir, terutama pada awal setiap tahun kalender," lanjutnya.
Selain itu, AS juga khawatir mengenai kebijakan impor produk halal, misalnya untuk mengidentifikasi dan mengakreditasi produk halal seperti apa yang bisa diimpor. Lagi-lagi AS khawatir peraturan akreditasi produk halal akan menciptakan permintaan dokumen yang berulang dan persyaratan yang semakin memberatkan auditor untuk memenuhi syarat.
"Semuanya meningkatkan biaya dan menunda prosedur akreditasi yang tidak perlu bagi BPJPH AS yang ingin mendapatkan akreditasi untuk menerbitkan sertifikat halal untuk ekspor AS ke Indonesia," imbuhnya.
Baca Juga: Gandeng Pemerintah Asing dan Perusahaan, AS Perketat Ekspor Chip ke China
Terakhir, AS menyoroti kebijakan Indonesia yang memberlakukan sejumlah persyaratan komponen lokal pada teknologi informasi dan komunikasi tertentu untuk menjual produk tersebut di Indonesia.
Perangkat yang mendukung 4G-LTE harus mengandung 35% komponen lokal dan stasiun pangkalan 4G-LTE harus mengandung 40% komponen lokal. Selanjutnya, peralatan yang digunakan dalam layanan pita lebar nirkabel tertentu harus mengandung komponen lokal minimal 30% untuk stasiun pelanggan dan minimal 40% untuk stasiun pangkalan. Semua peralatan nirkabel harus mengandung 50% komponen lokal; dan TV dan dekoder tertentu harus mengandung setidaknya 20% komponen lokal.
Selain itu, ada persyaratan komponen lokal untuk perangkat multiplexing pembagian panjang gelombang dan jaringan protokol internet.
"Persyaratan ini membatasi kemampuan perusahaan AS untuk menjual berbagai produk telekomunikasi dan elektronik di pasar Indonesia. Amerika Serikat terus menekan Indonesia untuk menghapus hambatan ini," tutup dokumen tersebut.